[ Kesempatan Untuk Gara ]
Beberapa saat yang lalu, Sena izin keluar saat pak Juned tengah mengajar. Tapi sudah lebih dari lima belas menit, gadis itu bahkan belum juga menunjukkan batang hidungnya di depan pintu.
Pak Juned kembali ke tempat duduknya setelah selesai menerangkan di depan papan tulis. Netranya melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sepuluh menit lagi bel bunyi, sampai sini ada yang mau ditanyakan?"
Satu kelas kompak menggeleng. Bukan karena tak ada yang mau mereka tanyakan, tapi bahkan mereka tak tau apa yang mau mereka tanyakan. Pak Juned geleng-geleng melihat tingkah muridnya.
Tak lama setelahnya, Sena masuk hingga mengundang perhatian seisi kelas. Matanya sembab, dan hidungnya memerah. Alis Lula terangkat ketika Sena bahkan mengabaikan kehadirannya di sana. Gadis itu langsung menelungkupkan kepalanya di atas meja, dan menangis sesenggukan tanpa suara.
"Sst!" bisikan itu membuat Lula menolehkan kepalanya. Dewina berucap tanpa suara, "Sena kenapa?" tanyanya.
Lula hanya mengangkat bahunya masa bodoh, lalu kembali mencatat materi yang pak Juned terangkan di depan papan tulis sana.
Tak lama setelahnya, bel tanda pulang berbunyi keras di setiap koridor kelas. Teman-temannya bersorak, lain hal dengan Lula yang masih sibuk mencatat.
"Lo gak pulang?" tanya Lula pada Sena, tapi di abaikan.
Setelah memberi salam, pak Juned lantas keluar dari kelasnya. Lula hendak mengemasi barang-barangnya setelah catatannya selesai. Namun sebuah genggaman yang menarik paksa lengannya membuat isi kotak pensilnya berhamburan keluar begitu saja.
"Apa-apaan, sih?!" kesalnya. Pegangan pada lengannya begitu erat hingga Lula gak bisa memberontak.
Di taman belakang perpustakaan, Demian menatap sinis seraya melepaskan genggamannya. "Lo yang ngasih tau Sena, kan?!" bentaknya pada Lula.
Gadis itu mengernyit heran sembari memegang lengannya yang memerah. Jejak tangan Demian terlihat jelas di sana. "Ngasih tau apa, brengsek?! Gue bahkan gak ngerti kenapa lo nyeret- nyeret gue kesini!"
"Sena minta putus!" Nada tinggi Demian membuat Lula sedikit takut. Tapi masa lalu yang membuatnya terbiasa, membuat Lula dengan berani membalas tatapan Demian.
"Terus hubungannya sama gue apa?" Lula terkekeh sinis di akhir kalimatnya.
"Sena tau kalo semalem gue jalan sama Helena! Dia minta putus gara-gara itu! jujur aja, lo kan yang ngasih tau—"
Ucapan Demian terputus seiring rasa panas yang menjalar di pipi kirinya. Lula menatap dengan geram ke arah remaja itu. "Lo yang selingkuh kenapa malah nyalahin gue?! Jangan pernah ngomong sama gue pake nada keras, atau lo bakalan ngerasain yang lebih sakit dari tamparan gue ini."
Lula berbalik hendak pergi, namun Demian kembali menahannya. Satu tangannya memegang pipinya yang memerah karena tamparan Lula. "Tolong bilangin ke Sena, gue sayang banget sama dia. Gue sama Helena gak ada hubungan apa-apa," Suaranya berubah lesu.
"Biar gue perjelas, gue gak ada hubungan apa-apa sama kalian! Mendingan lo jelasin ke Sena langsung kalo Helena atau siapapun cewek itu tuh bukan siapa-siapa lo kayak yang lo bilang. Bisa aja Sena yang liat langsung kemaren, karena gue sama sekali gak ngomong apa-apa ke dia."
Setelahnya, Lula pergi meninggalkan Demian yang masih terdiam di sana. Lelaki itu menunduk, pikirannya kosong. Ia terlalu emosi hingga menyalahkan seseorang yang bahkan sama sekali tak ada hubungannya dengan dirinya.
.
.
Sepanjang koridor, Lula menggembungkan pipinya. Bibirnya bahkan sedikit maju karena rasa kesalnya pada Demian tadi. Wajahnya tertekuk dan matanya melirik siapapun yang melintas di depannya dengan tajam.
"Neng Lula!" Arlan berhenti tepat di depannya. Melihat ekspresi gadis itu, sang remaja tertawa keras hingga memegang perutnya yang terasa kram.
"Jelek banget, kenapa lo?" tanyanya sembari mengelap air yang keluar di ekor matanya.
"Berisik!" ucap Lula dengan sinis.
"Eh, lo latihan, kan? Ntar tungguin gue, ya? Kita pulang bareng kayak kemaren!"
"Terserah!" Lula menerobos tubuh tinggi Arlan yang menghalangi jalannya. Ketika melewati dirinya, Arlan menyempatkan untuk mengusap kasar puncak kepala gadis itu. Lula sempat berteriak kesal hingga membuat Arlan tertawa. Lelaki itu melarikan diri kemudian, takut kalau Lula mengejarnya dan melampiaskan emosinya.
"Sialan, gue jadi deg degan." Gadis itu berdecak setelahnya.
Ponsel di sakunya berdering, membuat Lula segera merogoh sakunya. Nama Delia tertera jelas di sana, membuat Lula memutar bola matanya malas. Setelah berurusan dengan kakaknya, ia masih harus berurusan dengan adiknya. Menyebalkan.
"Ya?" Ucap Lula.
"Kak, kata kak Juan hari ini gak latihan. Kak Juan ada urusan, jadi hari ini libur dulu."
Keheningan sempat menyapa mereka sejenak, hingga akhirnya Lula berucap dengan wajah datar. "Oke," Katanya. Lalu panggilan ia putuskan secara sepihak.
Kelas telah kosong ketika Lula hendak mengambil barang-barangnya. Sena bahkan sudah tak terlihat. Namun jejak air mata gadis itu masih tertinggal di sana.
"Gue pulang duluan."
Pesan itu ia kirimkan pada Arlan. Entahlah, tapi Lula pikir Arlan pasti akan menunggunya sampai tengah malam kalau Lula gak mengabarinya sama sekali. Lula berdehem hingga suaranya menggema di kelas, ini gak berlebihan kan? Ia hanya mencoba memberi kabar pada Arlan, tak lebih dari itu.
Mengeluarkan earphone dari saku roknya, Lula memutar lagu dari playlist favoritnya. Hoodie yang terlipat rapi di laci mejanya ia ambil, lalu ia kenakan. Setelah dirasa barangnya tak ada yang tertinggal, gadis itu mulai meninggalkan kelas dan menutup pintu itu dengan rapat.
Dari lantai dua, ia dapat melihat sosok Arlan yang tengah hanyut dalam permainannya. Remaja itu tampak bahagia ketika berhasil mencetak skor untuk timnya. Lula tersenyum tanpa sadar, apa kini ia telah sepenuhnya jatuh pada seorang Arlan Sadewa?
Ah, Lula harap tidak.
Ia hanya, merasa belum pantas untuk kembali mencintai dan dicintai.
Syukurnya, Arlan tak menyadari ketika Lula melewati lapangan untuk sampai ke gerbang. Bahkan teman-temannya tak ada satupun yang memberi tahu remaja itu bahwa Lula sedang lewat di tepi lapangan sana.
Keadaan halte sepenuhnya sepi. Kebanyakan siswa menggunakan kendaraan pribadi dan selebihnya di jemput. Jarang sekali ada yang menggunakan kendaraan umum.
Di sana, Lula duduk sendiri sembari menunggu bus nya datang. Tangannya sibuk dengan ponselnya, tenggelam dalam dunia buatannya.
Motor yang berhenti tepat di depan halte sana bahkan gak Lula sadari. Sang remaja dengan cepat melepas helemnya, mendekati Lula yang tampaknya tak menyadari kehadirannya.
Tapak sepatu yang berhenti tepat di depannya membuat Lula mendongak.
"Lula." Wajah Sagara sendu ketika menatap manik cokelat milik sang gadis yang sangat ia rindukan.
Lula membeku untuk beberapa saat. Jantungnya berdegup kencang, kakinya hendak berlari. Namun, apa yang ia lakukan telah terbaca oleh Gara. Lelaki itu memegang erat tangannya hingga Lula tak bisa kemana-mana.
"Lepas!" pekik Lula keras. Wajahnya memerah karena ketakutan. Bayangan masa lalu muncul begitu saja, membuat Lula mengeluarkan air matanya tanpa ia pinta.
"Gue mohon, kita perlu bicara, La. Kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya," ucap Gara dengan nada lirih.
"Persetan sama penjelasan, lo! Gue gak butuh! Pergi!"
Sagara memejamkan matanya ketika Lula memukuli dada bidangnya dengan keras. Gadis itu menangis histeris, membuat Sagara merasa tak tega.
"Sebentar aja, gue gak akan macem-macem."
"Gak! Pergi!"
"Lula—"
Satu bogeman kasar membuat Sagara tersungkur ke atas aspal. Remaja itu memegangi rahangnya yang terasa kebas. Sementara Lula menutup wajahnya dengan tangan bergetar.
"Kalo dia bilang pergi, ya pergi! Lo budeg?!" Wajah Arlan memerah. Tubuhnya melindungi Lula dari Gara, tangannya mengelus lembut surai sang gadis.
"Jangan ganggu cewek gue lagi kalo lo gak mau gue wafatin hari ini juga," Desisnya dengan kesal.
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro