Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Kekacauan ]

Suara pantulan bola dari lapangan indoor begitu mendominasi. Seharusnya, Arlan tak berada di sini karena proses belajar mengajar masih di mulai. Dengan kata lain, kali ini Arlan bolos. Permainanya begitu brutal dan dipenuhi emosi. Karena Arlan datang kesini bukan untuk berlatih, tapi melampiaskan amarah yang tengah menguasai dirinya.

"Gak semua hal tentang gue harus lo ketahui," ucapan Lula beberapa saat yang lalu terus menerus mengisi kepalanya, membuat Arlan merasa sangat kacau. Percakapan mereka tadi tak menemui titik terang. Kalau dilihat dari ekspresi Lula, sepertinya gadis itu juga tengah menahan kesal karena dirinya.

Apa ia salah karena bertanya perihal pesan yang masuk ke ponsel Lula beberapa hari yang lalu itu? Memang sih, ia terkesan jadi ikut campur. Tapi percayalah, pesan yang gak ia ketahui pengirimnya itu berhasil membuat Arlan linglung sejak kemarin.

Satu tembakan terakhir ke arah ring berhasil Arlan lakukan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung terkapar di tengah lapangan dengan nafas yang memburu.

"Lo seharusnya gak mengenal gue lebih dalam dari ini, Lan."

Arlan berdecak, matanya terpejam. Lengan tangannya ia gunakan untuk menghalau sinar lampu yang menyorot. Tak lama setelah itu, pintu lapangan terbuka secara tiba-tiba dengan gebrakan keras. Arlan terkejut hingga terduduk. Ia kira, seseorang telah mengetahui keberadaannya disini.

Tapi ternyata, itu hanyalah seorang Yoga pradipta.

Decakan keluar dari bibir sang remaja. Arlan hendak kembali berbaring dan menikmati jam bolosnya, tapi Yoga langsung menahannya dengan wajah panik luar biasa.

"Gawat, Lan!" seru lelaki itu dengan nafas yang belum diatur.

"Gawat kenapa? Lo kalo mau nge-prank gue mending balik ke kelas aja sono. Prank lo pasaran, gue udah tau duluan."

"Prank apaan, sih?! Itu di mading utama rame banget, ada foto Lula kesebar!" ucapan Yoga membuat mata Arlan terbelalak. Ini tentang Lula, jadi ia langsung ngacir tanpa bertanya foto semacam apa yang tersebar. Baginya, segala hal tentang Lula itu penting. Bahkan Arlan melupakan satu hal, bahwa keduanya sedang dalam hubungan yang tak baik.

.
.

|Sofia kerja sama dengan seseorang yang ada di sekolah lo. Gue denger waktu mereka lagi telponan. Gue harap itu semua cuman akal-akalan dia aja, La. Tapi kalo lo mau buktiin itu bener apa gak, coba cek mading sekolah.

|Foto lo waktu 'kejadian itu' dia tempelin di sana.

Pesan yang Keano kirimkan membuat rasa tenang Lula hilang begitu saja. Nafasnya sudah terputus-putus ketika ia berlari sepanjang koridor menuju mading utama sekolahnya. Air mata bahkan telah membasahi pipinya.

Lula merasa kacau hanya dengan kalimat dengan tanda petik yang Keano kirimkan. Kerumunan yang telah ada di sana Lula terobos begitu saja. Foto-foto yang telah memperlihatkan bagian tubuhnya itu ia copot dan ia sobek secara brutal. Nafasnya memburu, antara karena lari dan emosinya yang bercampur.

"Liat apa lo semua?! Bubar!!" pekiknya keras. Netranya yang terus mengeluarkan air mata dan memerah, menatap para kerumunan manusia itu dengan nyalang. Di sana, ia menemukan tatapan mereka seolah melihatnya seperti serangga yang pantas dimusnahkan.

Lula takut, apa tidak ada seorang pun yang berniat menolongnya?

"Lan, Lula di depan sana!" Yoga menepuk bahu Arlan dengan keras, membuat Arlan sedikit meringis. Tapi untuk membalas perbuatan karibnya itu, Arlan tak punya waktu. Sekarang saja ia merasa menyesal karena harus datang terlambat.

Di depan sana, Lula berteriak keras menyuruh kerumunan itu bubar dan berhenti memandang dirinya. Tapi teriakannya sia-sia. Tak ada seorangpun yang mendengarkan suaranya. Mereka seolah tuli dan memandang dirinya dengan sebelah mata.

Prestasi yang telah ia capai dan nama baik yang selalu tersemat padanya seolah hilang begitu saja. Tak ada Lula Alkana si kebanggaan sekolah saat mereka mengetahui masa lalunya yang buruk.

Tanpa basa-basi, Arlan menarik lengan sang gadis dan menyeret Lula keluar dari kerumunan itu. Lula tak memberontak, tenaganya seolah habis terkuras ketika berteriak tadi.

Di taman belakang perpustakaan yang sepi, tubuh Lula langsung meluruh begitu saja. Tangannya menutup wajah, tangis nya terdengar keras dan pilu. Arlan menatap sendu, ada rasa penyesalan dalam hatinya.

Ketika melihat pesan itu, seharusnya ia sadar bahwa keluarga Lula bukanlah orang baik. Gadis rapuh seperti Lula hanyalah gadis yang di paksa kuat oleh keadaan. Seharusnya, Arlan mendukung Lula. Bukannya memasang dinding dan menghakimi gadis itu. Bahkan ia secara gak langsung memaksa lula untuk menceritakan tentang keluarganya.

Perlahan, Arlan mengambil posisi yang sama dengan Lula. Tanganya terbuka, kemudian membawa gadis itu dalam pelukannya. "Maaf," bisiknya tepat di telinga sang gadis. Tangannya mengusap punggung Lula seraya mengucapkan kata-kata penenang.

Arlan tak tau foto semacam apa yang tertempel di depan mading sana. Instingnya hanya mengatakan kalau ia harus segera membawa Lula pergi dari sana dan menenangkan perasaan gadisnya yang tengah kacau.

Lama gadis itu menangis, kini tak ada lagi suara yang terdengar. Tapi sikap diamnya Lula justru membuat Arlan merasa takut dan bertanya-tanya. Ia bisa tau bagaimana perasaan Lula ketika gadis itu tengah menangis.

Tapi sikapdiamnya seseorang tak ada yang tau apa yang tengah ia pikirkan.

"La, lo oke?" pertanyaan bodohnya itu langsung ia umpati dalam hati. Arlan meringis ketika tangan Lula mencengkram erat lengan seragamnya. Gadis itu terus bergumam dengan suara kecil.

"La?"

"Gue bakalan bunuh dia," Kata yang terus Lula ulangi itu membuat Arlan membeku. Seseorang pasti telah membuat mental Lula bermasalah. Ia pikir, hal ini berhubungan langsung dengan keluarga Lula.

"Sstt. Tenangin diri lo, La." Sang gadis mendongak, menatap sepasang iris cokelat milik Arlan. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. Tapi Arlan merasa takut, bukan senyuman seperti itu yang ia harapkan dari Lula.

"Tenang?" ucap Lula dengan suara bergetar, kemudian terkekeh.

"Gue mungkin mengharapkan itu, tapi semua orang gak mengharapkan hal yang sama, Lan. Mereka terus ganggu hidup gue, mereka gak pernah mau gue hidup dalam ketenangan!!" Suara Lula meninggi di akhir kalimat, membuat Arlan memejamkan matanya.

"Gue gak bakalan bisa tenang kalo dia belum mati. Gue harus bunuh dia,"

"Atau, gue aja yang mati?" lanjut Lula. Arlan menggeleng keras. Ia langsung memeluk Lula ketika gadis itu kembali menangis. Kekacauan dalam diri Lula membuat Arlan juga merasa kacau.

Seolah-olah Lula telah menyalurkan perasaannya pada Arlan agar sang remaja turut merasakan apa yang tengah ia rasakan.

"Jangan mati, nanti siapa yang bakalan gue jadiin alasan buat gue bertahan?" bisik Arlan di telinga sang gadis. Tanpa ia sadari, air matanya turut turun membasahi pipi.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro