[ Hanya Sesaat ]
Bayangan seorang pria yang tengah berdiri dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuhnya, tampak sangar dan penuh wibawa.
Keano meneguk salivanya dengan tatapan penuh takut. Luka lebam telah memenuhi tubuhnya. Beberapa bagian bahkan ada yang mengeluarkan darah.
Bunyi tapak sepatu yang mendekat membuat tubuh sang remaja menegang. Di hadapannya, Ayah berdiri dengan pandangan angkuh disertai kilatan tajam.
"Sampai kapan kamu akan tutup mulut? Benar-benar cari mati, heum?" ujar pria itu dengan kekehan hambar di akhir kalimatnya.
Keano masih bungkam. Bahkan ketika Ayah mulai mengambil posisi jongkok untuk menyetarakan tingginya dengan Keano yang saat ini terduduk di bawah, dengan kedua tangan yang di ikat pada rantai — seolah menggantikan posisi Lula pada hari itu.
"Keano? Kamu jadi bisu, ya?" Rahang sang remaja di pegang erat, membuat Keano meringis kesakitan.
"Jangan munafik, Yah. Ayah bahkan setengah hati waktu mau nyerahin Lula ke Om Januar. Lula itu anak Ayah satu-satunya, anak kesayangan Ayah. Masa Ayah tega ngehancurin masa depannya?"
Rahang Ben mengeras dengan pandangan tak suka. Tangannya yang tengah mencekal rahang Keano ia lepaskan dengan kasar.
"Sok tau," ucap Ben yang terdengar seperti gumaman.
Selanjutnya, ia mulai berdiri dan meninggalkan Keano yang masih menatap punggungnya dengan tatapan datar.
"Perketat pencariannya. Habisi dia kalau masih bungkam. Ah, atau Sofia saja yang saya berikan pada Januar?"
Perkataan terakhir Ayah membuat Keano terbelalak. "Jangan, Yah!!" pekiknya dengan berontakan kasar.
Para bawahan yang ditugaskan untuk mengawasinya mulai ambil alih. Ben melirik sekilas dengan tatapan datar, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Keano yang kembali di hajar.
.
.
Suara tawa yang menggema membuat Arlan yang tengah memarkirkan motor milik Keano — yang sampai saat ini masih ia gunakan — jadi mengernyit bingung.
Melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ia termenung cukup lama ketika melihat Lula tertawa. Mereka sedang bermain dengan Sean — adik laki-laki Sena.
Bahkan Sagara yang biasanya hanya menampilkan raut jutek dan datar ikut tertawa. Arlan melangkahkan kakinya lebih dalam dan duduk di samping Lula, menatap gadis itu dengan penuh kebingungan.
"Lo ketawa, La?" tanyanya dengan ekspresi polos.
Lula mengalihkan perhatiannya sejenak. "Nangis," jawabnya acuh tak acuh. Bahkan Arlan dicuekin kembali setelah sang gadis menjawab pertanyaannya.
Arlan mengerucutkan bibirnya sedikit kesal. Ini pertama kalinya ia bisa melihat Lula tertawa sepuas ini, terlebih lagi di sini ada Sagara yang jelas-jelas Lula benci. Wajar saja ia bertanya.
Mendengar suara langkah yang mendekat, Arlan membalikkan badannya untuk sekedar melihat sang pelaku. Rupanya, Sena datang dengan nampan berisi minuman dan beberapa cemilan.
"Buset, ini kalo kita tinggal selamanya di sini bisa tekor lo, Sen. Udah ngasih makan gratis, cemilan, tempat tidur. Duh, berasa lagi liburan di hotel gue."
Sena melirik sekilas pada Arlan sebelum memberikan minuman pada mereka satu persatu. "Kalo gitu bayar! Emangnya lo tinggal di hotel gratis apa?"
Arlan menyengir lebar. "Hehe, becanda elah. Lo kalo mau nolong jangan setengah-setengah, dong!"
Sena memutarkan bola matanya malas. Sementara Lula tersenyum mendengar perdebatan keduanya. Selama ini, ia selalu tenggelam dalam kesendirian.
Terlalu asik dengan dunia yang ia buat dalam imajinasinya. Lula pernah menghindari orang-orang hanya karena ia takut ditinggalkan sendirian seperti yang sudah-sudah. Ia juga pernah menghindari orang agar tak perlu lagi di sakiti oleh mereka.
Nyatanya, tak semua orang sama. Ada orang-orang baik seperti mereka yang bisa ia ajak berbagi cerita dan tawa.
"La, kenapa?" tanya Arlan setelah mengibaskan tangannya di hadapan wajah sang gadis.
Lula menggeleng pelan, lalu menyeruput es yang Sena buatkan untuk mereka siang ini. Tak berselang lama, guru les Sean datang dan mengajak Sean untuk belajar di taman belakang seperti biasa.
"Kenapa kalian gak pulang bareng aja tadi?" tanya Sagara.
Sena mendongakkan pandangannya setelah mengutak-atik ponsel. "Arlan nemuin pelatihnya dulu tadi, katanya mau mengundurkan diri. Makanya gue mesen ojek."
Lula langsung melirik pada Arlan yang tengah mengunyah cemilan sembari memainkan ponsel. Remaja itu sadar akan tatapan Lula, tapi memilih cuek dan gak peduli.
"Kenapa mengundurkan diri? Gara-gara gue, ya?" tanya Lula.
Arlan mendengus, lalu menghadapkan tubuhnya pada sang gadis dan mematikan ponselnya sebelum menjawab. "Ini pilihan gue, gak ada sangkut pautnya sama lo, La."
"Lan, beasiswa lo bisa di cabut! Lo gila, ya?" ucap Lula dengan kernyitan di keningnya. Baginya, Arlan terlalu berpikir pendek untuk satu malam panjang yang kemarin mereka lewati. Keputusan Arlan kali ini pasti ada hubungannya dengan Lula meski Arlan berkata lain.
"Gue gak peduli. Saudara gue kaya, kok. Bisa gue porotin, gampang." jawabnya enteng.
"Hadeuh, orang gak waras lo suruh mikir, La. Udahlah biarin aja." Sena menengahi ketika melihat ekspresi Lula tak lagi bersahabat.
Merasakan atmosfer yang telah sepenuhnya berubah, Sagara menepuk pundak Arlan, memberinya kode agar segera keluar.
Sementara Sena dan Lula mulai membahas pelajaran yang tadi di bahas di sekolah. Sena bahkan rela merekam penjelasan guru demi Lula. Ini semua juga permintaan Lula karena gadis itu gak mau ketinggalan pelajaran sama sekali.
"Kapan lo mau nembak Lula?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Sagara membuat Arlan tersedak minumannya. "Maksud lo apaan, dah?! Kaget gue!"
Sagara tertawa renyah, ia kira ia masih memiliki perasaan pada Lula. Tapi nyatanya, semua itu hanya kepingan perasaan bersalah di masa lalu. Ia tak lagi mencintai Lula seperti dulu.
Melihat Arlan yang bahkan rela melakukan apapun untuk Lula, tampaknya Sagara memang harus melepaskan bayangan gadis itu sepenuhnya. Apa yang ia ingin lakukan telah sepenuhnya selesai.
Penjelasan yang ingin ia jelaskan pada Lula telah ia lakukan, kan?
"Karena waktu itu Lula ninggalin gue tanpa pamit, seharusnya gue sama Lula masih ada hubungan, kan?
"Tapi tebak, apa yang Lula bilang?"
Arlan mengernyitkan keningnya. Jantungnya berdegup lebih kencang karena rasa penasarannya.
"Apa?" tanyanya.
Sagara menatap lurus pada halaman rumah Sena yang dipenuhi tanaman. Bibirnya tersenyum ketika mengingat ucapan Lula tadi pagi perihal hubungan mereka.
"Maaf, Gar. Gue udah jatuh hati sama seseorang. Dia yang bikin gue berani percaya sama cinta lagi. Dia yang bikin gue linglung cuman karena gak ngirim foto random yang biasa dia lakuin."
Jawaban Lula pagi itu ia jabarkan pada Arlan, membuat wajah Arlan memerah karena malu.
"D-dia bilang gitu?" tanyanya tak percaya.
Sagara mengangguk. "Makanya gue tanya, kapan lo mau nembak dia?"
Senyum pada wajah Arlan sirna sepenuhnya. Bahunya meluruh dan bersandar sepenuhnya pada sandaran bangku.
"Situasinya gak memungkinkan, Gar. Ayah Lula gak mungkin berhenti sampai situ aja buat nyari Lula. Tadi, gue liat beberapa orang berpakaian hitam di depan sekolah. Mereka pasti bawahan Ayahnya Lula."
Perkataan terakhir Arlan membuat Sagara menegakkan tubuhnya. "Jangan datang sekolah besok, mereka pasti tau muka lo, Lan. Dan itu bahaya banget."
"Lah, terus gue harus putus sekolah? Udahlah, masalah itu bisa gue hadapin. Yang penting Lula aman."
Sagara berdecak tak suka. "Lo kira kita lagi main petak umpet?! Ini soal nyawa, Lan!"
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro