Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Dia, Ada ]

Lobi utama hotel tampak ramai dipenuhi desas-desus manusia dan canda tawa bahagia. Namun, sang gadis memilih kesendirian dengan memeluk erat lututnya di dalam kamar. Tak ada air mata yang keluar, netranya terpejam dan bersender di samping ranjang.

"Lan, lo di mana?" monolognya dalam hati. Seolah tak memiliki semangat hidup, sepanjang acara Lula hanya menatap dengan sorot matanya yang kosong.

Ia sadar betul bahwa orang-orang yang melihatnya dengan rasa simpati. Hei, seorang gadis tujuh belas tahun di nikahkan dengan pria dewasa hanya karena Ayahnya butuh suntikan dana untuk perusahaannya yang di ambang kehancuran!  Lula di jadikan tumbal oleh Ayahnya sendiri. Dan apa yang lebih mengecewakan dari masa depannya yang di hancurkan begitu saja?

Mendengar bunyi gesekan di depan pintu sana, Lula menoleh ke arah sana dengan tatapan datar. Ben—Ayahnya, masuk dengan satu tangan yang di sembunyikan dalam saku jasnya.

Pria berkepala empat itu tampak bersinar di umurnya yang tak semuda dulu. "Lula," panggilnya dengan suara pelan.

Lula membuang wajahnya tanpa mau membalas. Hingga akhirnya, pria itu mengambil posisi duduk di samping putrinya.

"Ayah minta maaf," ujarnya pelan. Lula menoleh cepat, kemudian tersenyum jenaka.

"Minta maaf buat apa? Ayah, kan, gak pernah salah." Gadis itu terkekeh sumbang di akhir kalimatnya.

Ben mengambil napas sesaat. "Ayah kira semuanya bakal terjadi sesuai apa yang Ayah rencanakan. Tapi ternyata, Sofia punya sisi yang lebih jahat dari apa yang Ayah duga."

"Jahat? Kenapa tiba-tiba ngejelekin Sofia? Dia, kan, anak kesayangan Ayah?"

Ben menggeleng cepat. "Ayah ngelakuin apa yang dia mau karena Ayah tau, kalau keinginannya gak di kabulkan, dia bakalan nyakitin kamu."

"Bullshit," ujar Lula sarkas dengan lirikan tajam.

Pria itu tersenyum sedih. "Iya, Ayah gak masalah kalau kamu membenci Ayah setelah ini. Ayah belum pantas jadi Ayah yang baik buat kamu. Setelah Ayah lunasin semua hutang Ayah pada Januar, kamu bakalan bebas, nak."

"Ayah jadiin aku jaminan? Ayah tega, hah?! Ayah ngancurin semua yang udah aku rancang dengan kebahagiaan! Ayah ngancurin mimpiku! Masa depanku!! Ayah bahkan nyulik seseorang yang aku cintai," Tangis Lula tak lagi dapat di bendung. Gadis itu menumpahkan segala hal yang mengganjal dalam hatinya.

Gadis itu memukul bahu sang Ayah dan mendorongnya kasar. Ben berdiri dari duduknya, membenarkan jasnya sejenak, kemudian menatap sepasang iris cokelat milik putrinya.

"Ayah tau kamu benci banget sama Ayah. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, Ayah gak pernah main-main dengan apa yang Ayah janjikan. Mungkin akan memakan waktu yang sedikit lebih lama, tapi Ayah janji akan membebaskan kamu dari pria semacam Januar."

Rahang Lula mengeras. Ia gak habis pikir dengan Ben. Ia tau betul bahwa Januar bukanlah pria baik, tapi tetap menikahkan Lula dengan pria itu.

Air mata sang gadis kembali menetes tepat ketika pintu kamar kembali di tutup. Kepalnya kembali ia sembunyikan dalam lipatan tangan. "Lan, gue butuh lo," monolognya sendiri.

.
.

Keano menurunkan topi yang ia kenakan hingga menutupi wajah. Kepalanya sedikit menunduk ketika melewati sekelompok orang yang tampak mabuk. Bau alkohol menyeruak, membuat sang remaja menggelengkan kepalanya pelan.

Di dekat tiang listrik, Keano berhenti dan mendongakkan kepalanya. Ia sedikit celingukan karena orang yang tengah ia ikuti sejak tadi tiba-tiba saja hilang dalam sekejap mata.

Perlahan, tangannya terkepal. Ia sangat berharap bahwa yang ia lihat tadi bukanlah orang yang selama dua hari ini ia cari. Demi Lula, ia mencari Arlan sampai ke tempat terkecil sekalipun yang bahkan belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Tepukan di bahunya membuat sang remaja membalikkan badannya dengan cepat. "Minggir!" sarkas seorang pelayan berkumis tebal dengan alkohol di tangannya. Keano menunduk sesaat sebelum akhirnya menyingkirkan tubuhnya dari lalu lalang manusia di sana.

Tempat ini adalah tempat terpencil yang ada di kota. Tempat di mana banyaknya aksi perjudian dan jual beli barang haram di lakukan. Karena dekat dengan pelabuhan, aksi ilegal mereka jadi lebih gampang di lakukan.

"Woii!" teriakan itu membuat Keano menolehkan kepalanya. Matanya terbelalak ketika netranya bertemu dengan manik cokelat dari remaja yang ia cari tadi.

Arlan berlari cepat sembari melirik ke belakang karena mereka mengejarnya. Tak mau buang-buang waktu, Keano juga turut mengejar sang remaja.

Sayangnya, di perempatan depan, Arlan berhasil mengecoh mereka dan lari dengan beberapa makanan di dalam tas yang ia bawa. Orang-orang yang semula mengejarnya kini mulai ricuh sendiri dan mengumpat, kemudian bubar.

Sementara Keano berkacak pinggang di sana, ia berdecak keras seraya melepas topi yang ia gunakan. Tangannya mengacak-acak rambut dengan frustasi.

"Psst!" suara itu membuat Keano mencari sumbernya. Tangan yang melambai-lambai di dekat drum yang menumpuk membuat Keano segera berlari kecil ke arah sana.

"Ini beneran lo?" Satu alis Keano terangkat dengan tatapan tak percaya. Sementara remaja di depannya memberikan cengiran lebar yang terlihat menyebalkan.

"Keano, kan? Kenapa lo bisa ada di sin?" tanya Arlan tanpa rasa bersalah. Ia mulai membuka tasnya dan memakan roti yang ia ambil dari warung di depan sana.

Dengan kasar, Keano memberikan jitakan hingga Arlan mengaduh sakit. "Lo yang kenapa bisa di sini?! Lo gak tau Lula kayak orang gak waras karena mikirin lo?!"

Kunyahan sang remaja terhenti. Pandangannya mendadak kosong. Sejak malam itu, ia belum pernah bertemu dengan Lula, bagaimana kabar gadis itu?

"Kenapa penampilan lo jadi kayak gelandangan gini, sih?! Kesel gue liatnya!" lanjut Keano, lalu memutar bola matanya malas.

Arlan berdecak. "Emang udah jadi gelandangan, njirr!" katanya tanpa beban. Remaja itu mengunyah kembali roti yang tengah ia makan.

"Gue ngundurin diri dari turnamen basket, terus juga bolos lebih dari lima hari. Beasiswa gue langsung kecabut, njirr. Otomatis, gue gak bisa pulang ke apartemen karena gue dapet apartemen itu dari beasiswa," lanjut Arlan.

Keano melamun sejenak, mencerna apa yang tengah Arlan ceritakan padanya seolah itu bukanlah hal yang besar. "Saudara lo, gimana?"

Arlan tersenyum lebar. "Saudara yang mana? Mereka mana ada yang peduli sama anak haram ini, Ken."

Keano menghela napasnya seraya mencengkram rambutnya. "Kalo gitu kita lo gak sendirian. Waktu Ayah ngebebasin gue, otomatis gue jadi gelandangan juga karena artinya dia udah angkat tangan dan gak mau berhubungan lagi sama gue."

Arlan menyimak tanpa komentar. Perutnya keroncongan karena sejak semalam belum di isi. Ia tahu betul bahwa makanan ini bukanlah makanan baik karena hasil curian. Tapi ia tak memiliki pilihan lain karena di desak dengan keadaan.

"Tapi gue punya janji sama Lula. Janji terakhir yang gue kasih ke dia," ucap Keano dengan tubuh yang sepenuhnya menghadap pada Arlan.

Remaja di hadapannya itu tampak tak peduli dan terus melanjutkan makanannya.

"Ikut gue ke tempat Lula, Lan. Dia benar-benar butuh lo," ucap Keano dengan tatapan penuh harap. Arlan mendongakkan kepalanya, kemudian menunduk dan meremas roti yang ada dalam genggamannya.

Setelah kejadian malam itu, ia tak berharap bisa bertemu dengan Lula kembali. Ia merasa tidak pantas.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro