Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Confess ]

Sentuhan yang tiba-tiba membuat Arlan terkejut. Lula memegang tangannya dengan binar indah dalam maniknya yang mendapat pantulan dari lampu di bawah sana.

"Makasih ya, Lan. Gue bahagia banget. Ternyata gini rasanya naik bianglala?" ujar gadis itu dengan tawa yang terselip dalam kalimatnya.

Arlan membalas senyuman itu dan menggenggam tangan Lula. "Gue bahagia kalau lo bahagia, La."

Lula menggeleng dengan bibir mengerut. "Lo juga harus dapetin kebahagiaan lo, suatu saat pasti—"

"Gue udah dapetin itu sejak lama, La. Lo, sumber kebahagiaan gue," potong Arlan cepat sebelum Lula menyelesaikan kalimatnya.

Lula membisu. Tangannya perlahan ia lepaskan dari genggaman Arlan. "Sesuka itu lo sama gue?" tanyanya dengan raut yang mulai berubah.

"Maaf," ucap Arlan dengan suara lirih. Lula terkekeh pelan mendengarnya.

"Suka sama seseorang itu bukan kesalahan, Lan. Tapi kalau lo suka sama gue, kayaknya itu kesalahan, deh. Gue bukan cewek baik dan pernah hampir kotor karena perbuatan saudara tiri gue. Gue gak pantes buat lo".

Arlan mendongak, lalu tersenyum. "Cita-cita lo apa, La?"

Sang gadis memutar bola matanya malas, "Ngalihin pembicaraan?"

"Jawab aja pertanyaan gue, elah!"

Netra Lula menerawang pada langit yang gelap tanpa bintang. Hanya ada bulan yang menerangi bumi malam ini. "Gue pengen main piano lagi, dan nyelesein lomba gue bareng Delia. Karena gue rasa, itu bakalan jadi lomba terakhir gue."

"Intinya lo pengen main piano lagi, kan?"

Lula mengangguk dan tersenyum. "Gue juga pengen main piano sambil di temenin sama seseorang yang sekarang udah mendapatkan hati gue sepenuhnya."

"Gue?"

Sang gadis langsung tertawa keras hingga membuat orang-orang yang juga menaiki bianglala mencari sumber suara dari tawa yang keras itu. Arlan sampai berusaha menutupi mulut Lula agar berhenti tertawa karena ia merasa malu.

"Pede banget lo!" ucap Lula sembari mengelap air yang keluar di ekor matanya.

"Terus lo suka sapa siapa? Mustahil banget kalo lo suka sama Sagara. Dia masa lalu lo yang pahit, kan?"

"Iya," jawab Lula jujur.

Arlan menarik napasnya, kemudian berdiri dan beralih menjadi duduk di samping sang gadis. Kepalanya ia senderkan pada bahu Lula.

Seperti ada mantra yang baru saja Arlan ucapkan, Lula tak bisa memberontak tak tetap terdiam mendapati perilaku manja Arlan padanya. "Gapapa kalo lo gak suka gue. Gue suka banget sama lo, La. Lo cuma perlu tau, setelah Bunda, wanita kedua yang menduduki tahta di hati gue cuman lo seorang."

Jantung Lula berpacu cepat. Wajahnya bersemu merah kalau saja Arlan menyadarinya. Gadis itu berdehem untuk menetralkan rasa gugup yang tiba-tiba saja menyerangnya.

"Kalau lo gak suka gue ya gapapa. Seperti kata lo tadi, suka sama seseorang bukan kesalahan. Begitu juga kalo gue suka sama lo. Lula, lo sangat berharga melebihi apa yang lo perkirakan. Jangan tenggelam di masa lalu," Arlan berbisik di akhir kalimatnya.

Lula hanya terdiam mendengarkan. Seolah kehilangan kata-kata, malam ini, Lula hanya ingin mendengarkan setiap kata yang Arlan ucapkan.

"Kalo lo nanya, apa cita-cita gue? Gue pengen banget nonton lo main piano lagi. Gue pengen, suatu saat gue yang ada di dalam stadion konser sendirian, dan lo di atas panggung lagi mainin piano yang lo mainkan khusus buat gue seorang."

Sang gadis tersebut penuh arti. "Kalo gitu gue bakalan mainin piano buat lo. Karena satu-satunya cowok yang berhasil buat gue jatuh cuma lo seorang Arlan Sadewa."

Tubuh Arlan menegang. Ia menegakkan punggungnya dan menatap Lula tanpa menutupi ekspresi terkejutnya. "Serius? Lo gak lagi bercanda, kan?"

"Emangnya gue keliatan bercanda?"

"Engga, sih. Tapi kayak kena prank gue! Mana kameranya?! Kasih tau gue cepetan!"

Lula tersenyum, lalu menghadapkan tubuhnya pada Arlan dan memeluk remaja itu erat. "Cuman lo yang selalu ada dan berusaha ngehibur gue, Lan. Walaupun terlambat, gue pengen setidaknya lo tau perasan gue ke lo gimana."

Tangan Arlan perlahan menyentuh rambut sang gadis dan mengusapnya pelan. Arlan tak tau apa yang ia mimpikan semalam. Atau justru kini ia tengah bermimpi?

"Apa Tuhan ngizinin gue bahagia lagi, Lan? Gue pengen bahagia, sama lo."

"Iya, kayak putri yang ada di dalam dongeng. Lo pasti juga bahagia, La. Gue bakalan jadi pangeran berkuda putih yang nyelamatin lo dan bahagia bareng lo."

Masih dengan memeluk Arlan, Lula mendongak dengan kening mengkerut. "Prett!! Motor aja hasil minjem Keano, sok-sokan jadi pangeran berkuda putih!" Ejek Lula.

.
.

Turun dari bianglala, Arlan tak melepas
kan tangan Lula walau sebentar saja. Lula sampai kesusahan Ingin melakukan sesuatu.

Hal ini Arlan lakukan bukan karena ia sudah merasa bahwa Lula adalah miliknya. Tapi karena ia khawatir orang yang sejak tadi mengikuti keduanya bisa mengambil Lula kalau saja ia lengah sebentar saja.

"Lan, lapasin, dong! Gue mau makan permen kapasnya ini. Liat, tuh. Udah mulai kempes ketiup angin!"

"Makanya, tadi gue bilang juga apa? Mendingan beli yang pake plastik aja biar makan di rumah".

"Gamau. Kalo makan di rumah nanti di minta Sean!"

Arlan tertawa di buatnya. Sekarang ia paham kenapa Lula sangat keukeh ingin makan permen kapasnya di sini.

Sampai di parkiran, Arlan meminta Lula menunggunya di sana. "Gue beliin permen kapas lagi bentar, ya? Biar lo puas."

Lula mengangguk dan tersenyum senang. "Jangan lama-lama!" teriaknya.

Arlan hanya mengacungkan jempol sembari berlari. Perasaannya sangat khawatir kalau meninggalkan Lula sendirian. Makanya, ia berlari secepat mungkin ke parkiran di mana Lula tengah menunggunya.

Dari jauh, Arlan bisa melihat Lula yang tengah menikmati permen kapas miliknya. "Cepet banget lo?" tanya Lula tak habis pikir.

Arlan tak menjawab. Ia langsung menyerahkan kantong plastik berisi dua permen kapas dan menyalakan motornya untuk pulang. Sekarang sudah hampir tengah malam. Sagara bahkan bolak-balik menelpon dan bertanya apa mereka baik-baik saja.

"Peluk gue aja, La. Sekarang gue udah gak jomblo," ucap Arlan dengan kekehan.

"Iya, deh. Gue juga udah gak jomblo, tuh!"

"Kan gue pacar lo, geblek!" Keduanya tertawa jenaka kemudian.

Setelah naik ke atas motor, kendaraan melaju sedang menuju jalan raya. Arlan tak henti-hentinya melirik ke arah spion. Meski ia tersenyum, hatinya di penuhi kegelisahan.

Motor yang ia curigai tadi mulai terlihat kembali di belakang. Sialan, monolog Arlan dalam hati.

"Pelan-pelan, Lan!" teriak Lula ketika Arlan menerobos polisi tidur hingga membuatnya hampir terjungkal.

"Gak ada waktu, La," guman Arlan pelan yang tentunya tak Lula dengar.

Melewati perempatan, kendaraan yang mengikuti mereka justru semakin banyak. Jantung Arlan berdegup tak karuan. Ketika sedang melirik ke arah spion, motor yang ia kendarai menabrak seseorang yang sengaja menghalangi jalan mereka hingga keduanya terjatuh dari sana.

"Lari, La!!" teriak Arlan pada sang gadis yang kini tengah bergetar ketakutan.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro