[ Bully? ]
Di depan cermin, sang gadis menatap lama pada pantulan dirinya. Bibirnya yang kering terlihat pucat dan pecah-pecah, matanya sembab karena terlalu banyak menangis.
Lula menghembuskan nafasnya, lantas menutup kepalanya dengan tudung hoodie. Lula akui, dirinya sedikit kacau sejak kemarin. Inginnya, hari ini ia tak masuk sekolah sebab tubuhnya benar-benar terasa lemas.
Tapi karena banyak pertimbangan, akhirnya Lula memutuskan masuk. Kak Juan juga sudah mengiriminya pesan pagi-pagi sekali tentang latihan mereka sepulang sekolah nanti. Lomba sudah di depan mata, tapi mereka terlalu sering bolos latihan hanya karena kak Juan tak ada.
Begitu Lula membuka pintu apartemennya, sosok Arlan sudah berdiri dengan tangan yang terlipat di depan dada. Remaja itu juga mengenakan hoodie pagi ini. Hal yang baru karena biasanya Arlan langsung menggunakan seragamnya tanpa luaran apapun.
Lula menatap manik Arlan dengan tatapan datar. Tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Arlan pun tak memberinya senyuman atau ucapan selamat pagi seperti yang biasa remaja itu lakukan. Apa Arlan sedang mencoba untuk memahami Lula hari ini? Karena atmosfer yang terasa sangat berbeda dari hari biasanya.
Ketika Lula berjalan begitu saja melewati tubuh Arlan, remaja itu langsung mengekor di belakang Lula tanpa banyak tanya. Di balik tudung hoodie yang menutupi sebagian wajahnya, Lula melirik dengan bingung.
Bersikap masa bodoh, keduanya mulai tiba di halte bus dengan kebisuan yang kentara.
"Sariawan kali?" monolog Lula dalam hati.
Ketika bus tiba, Lula lebih dulu masuk. Arlan mengikuti setelahnya. Remaja itu mengambil posisi duduk tepat di samping Lula.
Sang gadis langsung memasang earphone nya dan memejamkan mata. Biasanya, Lula akan heboh dengan mengusir Arlan yang suka duduk di sebelahnya. Biasanya pula, Arlan akan menjahili Lula dengan mencopot sebelah earphone gadis itu untuk menyumbat telinganya. Katanya, biar romantis.
Tapi kali ini, keheningan menyelimuti pagi kedua remaja itu. Cerita Sagara semalam masih teringat jelas dalam ingatan Arlan. Ia tau, diamnya adalah sebuah kesalahan. Tapi Arlan tengah dibuat gundah oleh cerita itu sendiri.
Cerita yang seharusnya tak pernah ia ketahui kecuali dari mulut Lula sendiri.
Lama, remaja itu mengamati wajah pucat Lula yang tampak damai dalam pejamnya. Sagara bilang, keluarga Lula memang tak pernah memperlakukan gadis itu dengan baik. Arlan jadi ragu, apa keputusannya ketika mengatakan akan melindungi Lula adalah benar?
Karena setelah ia pikir ulang, ia hanya orang asing yang tak memiliki hubungan apapun dengan sang gadis. Ia hanya seseorang yang mencintai Lula tanpa peduli bagaimana masa lalu gadis itu.
Toh, kejadian itu sebenarnya hanya rekayasa belaka. Lula tak benar-benar di sentuh. Status suci nya masih terjaga. Karena tepat setelah kejadian itu, Bunda tirinya langsung membawa Lula ke dokter — begitu yang Sagara ceritakan.
Lama menatap wajah sang gadis, ponsel di sakunya membuat Arlan tersadar. Benda pipih itu ia keluarkan dari saku hoodie-nya.
Pesan panjang yang Yoga kirimkan membuat Arlan sedikit terkejut. Ia tak mengira bahwa kejadian semalam masih terus berlanjut.
Apa memang masalahnya serumit itu?
|Tolong anterin Lula sampe kelas, Lo berangkat sama dia, kan?
|Meja Lula banyak sampah sama coretan. Gue bakalan ganti sama yang di gudang, Lo tenang aja.
|Orang-orang pada gosip kejadian semalam, Lan. Tolong jagain Lula kayak yang selama ini lo bacotin tiap hari.
Arlan mengepalkan tangannya geram. Kenapa diantara ratusan murid yang sekolah di sana harus Lula yang mendapatkan masalah?
.
.
Sepanjang koridor, kepala Lula terus menunduk dengan telinga yang tersumbat earphone. Mulutnya mengikuti lirik dari lagu yang terputar. Tapi meski begitu, ia tak bodoh untuk mengetahui situasi yang tengah ia hadapi.
Orang-orang menatap ke arahnya ketika ia lewat. Mereka berbisik sembari memandangnya seolah Lula adalah sampah dengan bau yang menyengat. Jijik dan kotor.
Arlan berjalan di belakang sang gadis, mengikuti Lula dengan diam-diam. Karena kalau Lula sampai tau, gadis itu pasti akan marah-marah.
Mereka yang menatap Lula dan mulai berbisik langsung Arlan hadiahi dengan pelototan tajam. Tangannya membentuk bogeman seolah mengisyaratkan mereka kalau berani macam-macam maka akan langsung ia hajar saat itu juga.
Arlan tak main-main. Apapun yang berhubungan dengan Lula akan selamanya penting baginya.
Teman sekelas Lula yang sedang nongkrong di luar kelas langsung berseru heboh ketika Lula datang. Kebanyakan mereka laki-laki. Seolah tengah bersiap-siap untuk melontarkan kalimat sampah, mereka langsung bertepuk tangan dengan ekspresi menjijikkan.
Tapi saat mereka melihat Arlan berada di belakang sang gadis, nyali mereka langsung menciut begitu saja. Selama ini mungkin Arlan hanya terlihat dekat dengan Yoga saja. Tapi percayalah, seluruh anak basket dan beberapa senior adalah kenalan Arlan karena sifat friendly remaja itu.
Seseorang keluar dari kelas tepat ketika Lula akan melangkahkan kakinya masuk. Langkah sang gadis jadi terhenti di ambang pintu, masih dengan kepalanya yang menunduk.
"Lula." Sang gadis mengangkat pandangannya. Sena menatap tepat pada iris cokelat itu seolah tengah menyelam di dalam sana. Lula berdiri di hadapannya, tapi raga sang gadis seolah tak ada. Pandangannya kosong ketika mengarah padanya.
Sena memeluk Lula erat, menyalurkan kehangatan dan kekuatan untuk seseorang yang bahkan tak sedekat itu dengannya.
Sena sudah tau semua ceritanya karena saat masuk ke dalam kelas, teman-temannya sudah bergosip tentang kejadian semalam.
"Gak usah takut, gue disini. Gak usah dengerin mereka, oke?" ucap Sena.
Arlan yang berdiri tak jauh dari keduanya hanya menatap sendu. Syukurlah, diantara banyak orang yang menggunjing gadis itu, masih ada seseorang yang memberi kehangatan pada Lula.
Sena menggiring Lula masuk ke dalam kelas. Semua pasang mata langsung mengarah pada kedua gadis itu. Arlan mengintip dari jendela, berharap bahwa apa yang Yoga kerjakan tadi telah sepenuhnya selesai.
Di bangkunya, Yoga mengacungkan jempol seraya tersenyum. "Aman!" seru Yoga tanpa suara.
Arlan tersenyum dan melakukan hal yang sama. Mulutnya juga berucap tanpa suara, "Makasih!" katanya.
Setelah memastikan Lula benar-benar aman, remaja itu memutuskan pergi ke kelasnya.
Sepanjang jalan, bibirnya mengulas senyum yang tampak aneh bagi siapapun yang melihatnya. Entahlah, Arlan hanya merasa bahwa Lula gak menyukai kalau dirinya hanya diam.
Apa Lula mulai terpesona karena senyuman manisnya?
Ia tahu betul gadis itu ingin bertanya padanya tadi. Namun antara gengsi dan malas bicara, Lula jadi mengabaikannya.
Arlan terkikik geli, rasanya ia bisa gila hanya dengan memikirkan Lula saja. Bagaimana bisa masa lalu gadis itu menggoyahkan hatinya? Yang ada, Arlan semakin gencar ingin menyembunyikan Lula di belakangnya dan menjadikan dirinya tameng perlindungan untuk sang gadis.
Arlan dibuat gila karena Lula.
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro