Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Best Of Me?]

Hembusan angin yang bertiup pelan membawa sang gadis pada ketenangan. Kelasnya ricuh, dan pekikan menyebalkan dari Sena membuatnya merasa frustasi.

Taman kecil di belakang perpustakaan ini memang menjadi pilihan terbaik yang Lula punya. Gosip perkara mahluk halus yang menjaga taman ini sudah dikisahkan secara turun temurun, tapi Lula tak pernah menggubrisnya.

Lagian, taman ini sama sekali tak mengerikan menurutnya. Pohon tabebuya yang tengah memasuki musim gugur itu menjadi salah satu daya tarik taman ini. Tapi tak ada yang menyadarinya sama sekali.

Pejamnya terganggu ketika mendapati sebuah bayangan berhenti tepat di depannya. Sinar matahari yang sejak tadi mengarah padanya di halangi oleh sesuatu hingga mau tak mau Lula membuka kelopak matanya.

"Gue kira lo pasti kepanasan, makanya matahari nya gue halangi." Menatap wajah itu, Lula berdecak kemudian.

"Ngapain lo?"

"Oh, baru aja dari perpus. Gue liat lo sendiri, makanya gue samperin." Demian membetulkan letak kacamatanya. Bangku kosong di sebelah Lula ia lirik sekilas. "Gue boleh duduk, kan?"

"Bayar!" ucap Lula dengan ketus. Tangannya terlipat di depan dada.

"Galak banget lo. Kalem dikit, dong!"

Ucapan Demian berlalu begitu saja tanpa Lula tanggapi. Tangannya terulur kemudian, membuat Lula mengernyit bingung.

"Kita sering banget di jadi rival waktu seleksi olimpiade. Gue kagum liat anak jurusan IPS ternyata ada aja yang ngambis. Tapi, kita belum saling kenal, kan?"

"Terus?"

"Ya kenalan, dong! Nama gue Demian, dan lo?"

"Lula," jawab sang gadis tanpa menyambut indah tangan Demian yang terulur. Mata Lula terpejam kemudian, mengabaikan kehadiran Demian disana.

Melihatnya, Demian tersenyum kecut.

"Oh, iya. Di kelas lo ada murid pindahan, kan? Eum, dia pacar gue. Katanya dia duduk sama lo."

"Terus?"

"Lo gak punya kata lain selain terus?" Demian mendesah kecewa kemudian. Lula tertawa sarkas.

"Pertama, gue gak kenal sama lo. Masa cuman gara-gara sering jadi rival lo tertarik ngajak gue kenalan? Kedua, kalo lo pacaran sama tuh anak gak ada hubungannya sama gue. Ketiga, pergi lo sebelum gue siram pake air kolam!"

Ucapan panjang lebar Lula berakhir dengan tawa keras Demian. Bagaimana cara gadis itu mengomel tadi baginya terlihat lucu.

"Lho, kalian ngapain?" Keduanya menoleh serentak. Sena menutup mulutnya terkejut, lantas berlari ke arah Demian dan memeluknya erat.

"Kangen ...," rengek Sena seolah keduanya sudah puluhan tahun tak bertemu. Demian mengusap surai gadisnya dengan lembut, ia terlampau paham dengan kepribadian Sena yang manja.

"Maaf, ya? Aku gak bisa jemput tadi. Delia agak demam, jadi Mama maksa aku berangkat bareng dia," jelas Demian seraya menangkup pipi gadisnya.

Di tempatnya, Lula memutar bola matanya malas.

"Pacaran di tempat lain sana! Ngerusak mata gue aja!" teriaknya sebal.

"Eh, kalian saling kenal?" Demian mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Sena. "Dia yang aku ceritain itu, sering jadi rival aku," jelasnya.

"Aku belum kenal deket sama Lula, sih. Lula, ayo kita nongkrong bareng pulang sekolah ini! Biar makin deket, masa temen sebangku tapi gak deket gimana, sih?"

"Ogah," jawab Lula tanpa pikir panjang. Selain buang-buang waktu, baginya nongkrong adalah definisi menghamburkan uang. Mereka mungkin orang berada, berbeda dengannya yang harus menafkahi diri sendiri dengan bekerja.

Sena mengerucutkan bibirnya tanda kecewa. Melihatnya, Demian tersenyum lebar. "Gak papa, kita bisa nongkrong berdua kok!" serunya penuh semangat.

Senyum dari gadisnya langsung mengembang begitu saja. "Boleh, deh! Kita juga udah lama banget gak ngedate."

Lula menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya beranjak pergi. Adegan romantis yang tercipta membuat Lula merasa kesal.

.
.

"La, lo dipanggil kek Juan. Dia di ruangan musik sekarang." Gerakan Lula yang tengah mengemasi barang-barangnya terhenti sebentar. Ia mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata. Terbiasa, Dewina tak lagi keberatan meski baginya Lula sama sekali tidak ramah.

"Kak Juan siapa? Pacar lo?" tanya Sena. Gadis itu sudah merangkul tasnya sejak tadi. Tapi katanya, ia mau jalan bareng sama Lula sampe depan gerbang. Makanya sejak tadi ia masih di kelas menunggu Lula.

"Pelatih gue."

"Pelatih apa?"

"Banyak tanya, lo. Berisik!" ucap Lula kesal. Sang gadis berjalan lebih dulu, mengabaikan rengekan Sena yang menjengkelkan.

"Lho, kok kesini?" tanyanya ketika Lula belok ke kanan di perempatan tadi.

Sampai di tempat tujuannya, Lula menghentikan langkah dan berbalik badan menghadap Sena. "Pulang lo sana. Gue masih ada urusan."

"Gue gak boleh ikut ke dalem?"

"Gak!"

Bibir Sena mengecurut. Terlihat semakin menyebalkan karena ia sering melihat Arlan melakukannya. Tangannya terulur membuka pintu berwarna putih itu. Dari kaca, ia dapat melihat Sena yang tengah melambaikan tangannya seperti anak kecil yang akan ditinggal kerja ibunya.

"Kak, Lula udah datang."

Lelaki berpakaian kaos oblong itu langsung berbalik. "Silahkan duduk, kita mulai aja ya pertemuannya?"

Semua anggota mengangguk tak terkecuali Lula.

"Saya tau ini mendadak banget, padahal kalian baru aja mulai masuk hari ini. Tapi karena gak bakalan ada waktu yang kesisa banyak, makanya saya kumpulkan kalian sekarang."

Dentingan tuts piano terdengar ketika kak Juan menekannya. "Langsung aja, oke? Saya bakalan pilih dua orang buat maju di perlombaan nanti. Tanpa seleksi, karena saya udah paham betul cara main kalian,"

"Lula, maju." Gadis yang yang semula tengah menunduk itu langsung mengangkat pandangannya dengan raut terkejut. Ia melirik pada seniornya-kak Nara yang juga tengah memandangnya. Ia pikir kak Nara yang akan maju di perlombaan ini.

Kak Nara sudah kelas dua belas, dan seharusnya ini menjadi lomba terakhirnya sebelum disibukkan dengan ujian.

"Delia, kamu bagian biola." Tunjuk kak Juan pada gadis berkulit pucat itu. Lula meneguk salivanya, sepertinya murid kelas sepuluh karena dirinya sama sekali tak mengenali gadis itu.

"Sudah? Saya akhiri pertemuan hari ini. Terimakasih atas waktunya, kalian boleh pulang. Ah iya... Kita latihannya mulai besok, ya? Jadi yang saya pilih tadi juga boleh pulang."

Usai kak Juan meninggalkan ruangan, Lula mendekati kak Nara yang masih setia duduk di bangkunya. Ada perasaan tak enak yang mengganjal hatinya. Meski Lula abai terhadap sekitar, bukan berarti ia sepenuhnya tak peduli.

"Kak?" panggilnya pelan.

Kak Nara mendongak setelah mengutak-atik ponselnya. "Iya, dek?"

"Gak papa kalau Lula maju di lomba nanti? Kakak gimana?"

"Lho, kak Juan kan milih kamu. Berarti dia lebih percaya ke kamu. Kok, nanya kakak?" Keningnya mengernyit bingung.

"Ya, aku ngerasa gak enak aja. Kayaknya aku ngerebut kesempatan terakhir kakak."

Gadis cantik itu terkekeh. "Gak apa-apa, La. Lagian emang kakak udah harus fokus sama ujian yang di depan mata. Semangat buat lomba nanti, ya? Kakak pasti bakalan datang buat nonton penampilan kalian, jadi lakuin yang terbaik oke?"

Bibir bawahnya Lula gigit. Gadis itu di serang gugup secara tiba-tiba. Ini bukan penampilan pertamanya, tapi karena kak Nara memintanya untuk memberikan yang terbaik, Lula jadi merasa terbebani. Bisakah ia memberikan yang terbaik dari apa yang ia punya?

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro