Pertemuan yang Tidak Sengaja
Makan malam kali ini tidak lagi sehangat makan malam sebelumnya akibat topik yang Leo bicarakan. Usai makan, Cia berpamitan untuk tidur lebih awal dengan alasan esok ia ada kuis penting.
"Pa, Ma, Cia ke kamar duluan ya? Mau tidur cepat besok harus bangun pagi-pagi karena ada kuis," ucap Cia tersenyum lembut.
Wira menganggukkan kepalanya. "Iya, Nak."
"Selamat malam." Cia beranjak dari tempat duduknya, melangkahkan kaki dengan cepat menaiki anak tangga.
"Malam," jawab Wira dan Dara serempak.
Dara berdeham, ia memberi kode kepada Leo untuk segera menyusul sang istri. "Leo! Kamu kenapa masih diam saja disini? Sana susul istrimu, bicarakan dari hati ke hati tentang rencana kamu itu! Awas saja jika kamu sampai hati membuat menantu Mama sedih!" tutur Dara geregetan.
"I-iya, Ma." Leo yang semula makan dengan tenang buru-buru meletakkan sendok dan garpunya di atas piring kemudian beranjak dari tempat duduknya dan segera menyusul sang istri. Ia berjalan setengah berlari agar dapat menyeimbangi langkah sang istri yang berada beberapa langkah di depannya.
Cia tau jika Leo berjalan di belakangnya, tetapi dia tak menggubrisnya. Ia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam begitu saja. Pun dengan Leo yang juga segera masuk ke dalam kamar.
"Kamu, sungguh setuju jika aku pergi ke Jerman 'kan?" tanya Leo memecah keheningan.
Cia yang semula sedang berdiri membelakangi Leo, menghadap lemari untuk mengambil piyama sontak membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sumber suara. Ia memasang wajah setenang mungkin lalu menganggukkan kepala santai seolah tak ada rasa yang membebani hatinya.
"Ya, tentu saja." Cia kembali membalikkan tubuhnya, mengambil piyama secara random dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sedangkan Leo, ia masih berdiri termenung di tempat. Tangan Leo bersidekap dada, mimik wajahnya terlihat bingung. "Aneh! Seharusnya dia sedih dan menahanku untuk tidak pergi. Kenapa dia malah sesantai itu? Apakah dia ...."
Leo menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Itu tidak boleh terjadi!"
Ceklek!
Leo buru-buru membaringkan tubuhnya di atas kasur begitu ia mendengar suara pintu terbuka. Sementara Cia yang memang berniat untuk segera tidur pun juga membaringkan tubuhnya di peraduan.
"Kamu ikhlas 'kan ngijinin aku?" tanya Leo tiba-tiba.
"Ikhlas kok, itu kan yang bikin kamu bahagia. Kenapa harus aku tidak dukung," jawab Cia dengan nada suara terdengar dingin.
Leo menganggukkan-anggukkan kepalanya seraya menghembuskan nafas panjang. "Baiklah! Itu bagus. Seharusnya kamu memang harus begitu."
Apa katanya? Bagus? Cia tersenyum kecut mendengar kata-kata itu. Ia memutuskan untuk menarik selimut, menutupi tubuhnya dan berpura memejamkan mata karena tak ingin hatinya semakin terluka mendengar perkataan Leo.
***
Keesokan harinya, Cia bangun pagi-pagi dan segera bersiap. Ia sengaja pergi pagi-pagi demi menghindari berhadapan dengan Leo. Ia berlari menuruni anak tangga hendak keluar rumah.
"Cia!" panggil Dara yang menghentikan langkah Cia.
Cia menghela nafas panjang, ia merutuki dirinya sendiri yang kurang cepat sehingga bisa bertemu sang ibu mertua pagi ini. "Tuh kan? Pasti aku kurang pagi nih berangkatnya," rutuk Cia dalam hati.
"Ya, Ma?" tanya Cia sembari melemparkan senyuman manis.
Dara bergerak mendekat dengan apron dan sarung tangan yang masih melekat di tubuhnya. "Mau kemana buru-buru sekali? Ini masih jam enam lho!" tegur Dara yang keheranan.
"Ini, Ma. Cia mau berangkat sekolah. Cia buru-buru. Maaf kalau Cia gak pamitan sama Mama. Cia gak lihat kalau Mama sudah turun." Tentu saja Cia berkata dengan memasang wajah semanis mungkin agar sang mertua tak menaruh curiga kepadanya.
"Apakah harus sepagi ini, Sayang? Paling tidak kamu tunggu sebentar lagi sampai nasi goreng Mama matang biar kamu bisa sarapan," sanggah Dara. Ia merasa khawatir jika sampai sang menantu berangkat sekolah sebelum sarapan.
"Aduh maaf ya, Ma. Cia benar-benar tidak bisa. Cia buru-buru, Ma. Maaf ya, Ma?" tolak Cia halus. Ia kekeh tidak mau sarapan dulu, ia takut Leo bangun dan mencarinya meski kecil kemungkinannya.
Dara menganggukkan kepalanya dan tersenyum lembut. "Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan, Sayang. Kamu berangkat diantar sama sopir kan?" tanya Dara memastikan.
Cia menggelengkan kepalanya. "Cia di jemput sama teman Cia, Ma. Gak apa-apa kan, Ma?"
"Oh gitu, yaudah gak apa-apa." Meski agak khawatir tetapi Dara tak bisa melarangnya.
"Jangan lupa sarapan ya di sekolah, jangan sampai telat makan. Kabari Mama atau suami kamu kalau sudah sampai sekolah," imbuh Dara memberi pesan kepada menantu kesayangannya.
Cia hanya mengangguk sebagai jawaban. "Bye, Ma. Cia berangkat dulu."
Cia melangkahkan kaki cepat keluar rumah, benar saja ojek online yang ia pesan sudah berada di sana. Cia buru-buru naik dan pergi ke sekolah.
"Astaga! Aku gak akan bisa hidup tenang sampai dia benar-benar berangkat ke Jerman."
Cia turun dari ojek online berjalan pelan menuju ke kedai makanan di depan sekolahan. Ia duduk di bangku kosong bagian pojok sembari menunggu gerbang sekolahnya dibuka. Maklum saja sekarang masih jam enam lewat lima belas menit.
"Pak, soto dan teh hangat satu ya?" ucap Cia memesan menu makanan kepada salah seorang pegawai kedai.
"Baik, Neng."
Cia duduk tercenung, ia berpikir sejenak mencari cara menghindari Leo untuk dua hari ini agar tak bertemu dengannya. Entah mengapa ia sungguh tak ingin bertemu Leo.
Drrrt drrrt drrrt
Ponsel Cia bergetar. Cia melirik ke arah layar ponselnya, nama Leo muncul disana. Cia menghembuskan nafas kasar. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, mengabaikan telepon Leo. Ia sengaja melakukannya karena masih enggan berbicara dengan suaminya itu.
"Ponsel kamu getar tuh!" Dari arah belakang seseorang datang dan duduk di bangku kosong depan Cia.
"A-aksa," ucap Cia lirih melihat Aksa berjalan mendekat. Ia buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Aksa mengangkat sebelah tangannya, memanggil seorang pelayan dan memesan menu yang sama dengan yang Cia pesan.
"Kamu kenapa?" tanya Aksa tiba-tiba.
Cia menggelengkan kepalanya. "T-tidak, aku baik-baik saja."
"Berangkat kepagian? Aku rasa kamu bukan tipe murid yang serajin itu deh, Ci."
Meski seragam yang mereka kenakan berbeda. Yap, Aksa adalah seorang siswa SMK sedangkan Cia adalah siswa SMA. Sekolah Aksa terletak tepat di sebelah sekolah Cia. Dan mereka adalah tetangga satu komplek serta pernah satu sekolah selama SMP. Jadi wajar jika mereka saling mengenal.
"Iya, lagi suntuk aja di rumah," jawab Cia cepat.
"Rumah? Oh iya ngomong-ngomong soal rumah, kamu pindah ya? Sudah lama aku gak pernah lihat kamu lewat depan rumah aku lagi, padahal aku mau nebeng kamu waktu itu," tutur Aksa dengan sebuah candaan.
Cia terperanjat mendengar pertanyaan Aksa. Ia buru-buru menyeruput teh dan berpikir sejenak alasan apa yang akan ia berikan kepada Aksa.
"Um itu, a-aku sekarang gak tinggal disana lagi, Sa."
Aksa nampak terkejut mendengar jawaban Cia, ia mengernyitkan dahinya dan menatap lekat mimik wajah Cia. "Selamanya?"
"Enggak kok, hanya sementara aja. Aku dititipkan di rumah kakak orang tuaku. Rumahnya gak jauh sih dari sekolah, biasalah orang tua aku kan lagi banyak pekerjaan dan harus bolak balik ke luar negeri."
Aksa menghembuskan nafas lega. "Ah syukurlah! Ku kira selamanya. Aku sedih kalau kamu pindah tau!"
"Kalau kamu pindah aku jadi gak ada semangat lagi. Ah ya, boleh kan kalau aku kapan-kapan mampir ke rumah kakak orang tuamu untuk ketemu kamu?"
Cia mendelik mendengar pertanyaan Aksa. Ia meneguk salivanya susah payah. "Apa katanya? Mau main ke rumah Papa Wira?" kata Cia dalam hati.
Cia menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan matanya sejenak. Bukan tidak boleh, tetapi ia masih belum siap jika teman-temannya tahu jika dirinya saat ini sudah menikah.
"Ketemu diluar saja yah, Sa? Bukan aku ini gak ngebolehin ke rumah om. Cuman, Om aku tuh orangnya galak gitu dan Tanteku agak cerewet, Sa. Malas kalau harus menghadapi mereka," kelit Cia yang diangguki oleh Aksa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro