7
Rasanya cuma Anda, yang mampu membuat semua orang di sekolah kewalahan. Di luar dari daftar anak-anak badung yang sering mampir ke ruang BK, Anda termasuk dalam siswa yang diperkirakan akan memberi masalah. Soalnya, Anda suka menangis tanpa sebab. Dan, hari ini, untuk yang kesekian kalinya. Anda menangis lagi.
Rasanya, satu-satunya siswa paling cari perhatian itu Anda. Terutama hari ini, sejak Ata mendapatkan masalah gara-gara Anda. Sejak pertemuan pertamanya—dan itu tidak benar-benar pertama, soalnya, teryata Ata pernah berpapasan di koridor sekolah— dengan gadis kemarin, Ata jadi sedikit bertaubat untuk tidak pura-pura sakit lagi di upacara atau sesi kelas yang membosankan. Ia merinding kalau harus bertemu dengan gadis itu lagi. cewek norak dan aneh. Dan menyebalkan.
Beberapa saat setelah cewek itu mengungkapkan jati dirinya—keturuanan Roro Jonggrang—Ata merasa dibodohi. Siapa sih yang mau percaya kalau Roro Jonggrang itu buyutnya? Lagian memangnya Roro Jonggran itu benar-benar ada? Itu kan cuma legenda. Dia itu mikir apa sih—Ata menghela napas. Rasanya, ia baru saja menghabis sisa hidupnya untuk hal tidak berguna.
Ata, yang saat ini ditugaskan membawa tumpukan buku ke kelas itu menelusuri koridor. Dari ujung koridor, terlihat rombongan Justin juga sedang menuju ke arahnya. Tapi Ata tak pernah mau jadi pengecut. Dan seperti yang ia duga, Justin tidak akan melewatkan hal ini begitu saja. Mata anak itu terlihat merencanakan sesuatu.
Melanjutkan langkah, Ata terlihat cuek. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Gerald sedang tersenyum-senyum. Sampai jarak mereka sangat dekat, Ata berhenti berjalan. Ia menatap ke bawah lalu ke atas bergantian. Gerald dan Justin tersenyum jail. Rupanya, kaki Gerald sudah menghadang, siap membuat Ata tersandung.
“Ups! Nyaris ya Ta?” Gerald mengedikkan bahu, berlagak tidak tahu.
Ata berdecak. “Dasar bayi.”
“Ngomong apa lo?!”
Bukannya menjawab, Ata terus melangkah dengan cuek.
“WOI! ATA!”
Dada justin naik turun. Sementara yang dipangiil terlihat cuek melanjutkan langkah.
“Woi! Pengkhianat! Berhenti lo!”
“Shit! Dasar nggak seru! Gue rasa nyokap lo pun bosen sama lo!”
Mendengar itu, Ata berbalik sambil dadanya naik turun menahan marah. Membuat Justin dan Gerald tersenyum puas. Tapi senyum puas itu jadi berubah ingin tahu saat melihat ekspresi Ata.
Ata seperti gurun yang menyimpan badai pasir suatu waktu. Matanya tajam dan cekung, mengundang orang untuk bergidik jika kedapatan ditatap Ata. Persis Imhotep dalam film Mummy Returns, Ata menghisap habis nyali setiap orang yang memandangnya.
Tapi, sekali lagi, seperti gurun yang punya aturan sendiri. Ata juga punya.
Ata meletakkan tumpukan buku itu di lantai, lalu menggulung lengan bajunya yang bertuliskan I live in Mars. Lalu menendang dua orang di depannya sekaligus. Mulai hari ini, bukan. Sejak pertengkaran kemarin. Ata bertekad tidak akan pernah mau lagi menerima perundungan yang sering dilakukan teman-temannya.
“Jangan karena gue diem aja selama ini, kalian jadi seenaknya!” hardik Ata sambil memiting Darius, salah satu cowok yang lima hari yang lalu pernah menumpahkan jus jeruk ke tubuh Ata. “Sekali lagi lo ganggu gue, abis lo!” katanya lagi, sambil mengayunkan tangannya.
“Kita nggak ada maksud ganggu,” jawab Gerald terpatah-patah.
Semua orang di koridor sekolah itu tercengang menyaksikan. Yang di depan mereka itu, Ata, cowok dingin, berkacamata dan anti-sosial. Cowok yang selama ini selalu diam saat dirundung. Bahkan dulu, saat Justin dan teman-temannya melempar tas Ata ke atap sekolah, Ata tak melawan.
Tapi hari ini Ata seolah menunjukkan taringnya. Ata hendak menendang lagi ketika jeritan Rian memberitahu kalau Pak Robin sudah keliling kelas mencari siswa-siswa yang malas upacara bendera.
Suasana yang tadi begitu panas, menjadi biasa kembali. Ribut dan bising.
Mendadak, Ata berhenti berpikir. Kakinya seperti tersandung sesuatu. Tubuh Ata terdorong ke depan beberapa meter lalu ia merasakan dirinya melayang jatuh ke koridor kelas. Ata tersungkur ke lantai dengan wajah terlebih dahulu mendarat. Membuat hidungnya mengeluarkan darah.
“Rasain lo!” Justin yang berteriak.
Ata mengelap darah di hidungnya. Ia mendongak. Dalam hitungan detik, Ata sudah berdiri.
“Apa? Berani lo?” Justin sudah menatap Ata nyalang.
“Orang bego kayak lo emang nggak bisa dikasih ampun ...” desis Ata.
Mendengar itu, Justin terbahak. “Lo bisanya bilang orang bego. Mana buktinya? HAH!” bentak Justin lagi, sambil mendorong tubuh Ata ke belakang.
Ata menghembuskan napas kasar. Tangannya sudah terkepal.
“Ata! Lo nggak apa?” Mei datang tergopoh-gopoh.
“Pergi.” Jawab Ata sekenanya.
“Ata?!”
“Ini bukan urusan cewek!”
Satu-satunya orang yang peduli pada Ata, cuma cewek bernama Merinai. Sekelas sejak SMP membuat Mei setidaknya paham seperti apa Ata. Cowok yang anti bergaul dengan siapa pun.
Suasana makin panas. Semua anak berkumpul, menonton apa yang akan dilakukan Ata dan Justin hari ini.
“Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro ...”
Tiba-tiba, sebuah suara halus khas nona-nona sinden terdengar. Suara itu menyanyikan lagu Lingsir Wengi—lagu yang mendadak ngetop karena dipakai di film Kuntilanak—dan terdengar sangat halus. Mendadak semua membeku. Bulu kuduk meremang. Mereka menoleh ke sana kemari, mencari sumber suara. Tapi, suara itu terus melantunkan lagu Lingsir Wengi. Begitu terus sampai beberapa anak mulai merasa ada yang tidak beres dan pergi meninggalkan Ata dan Justin. Sementara orang-orang yang tersisa mencoba mencari sumber suara itu. Suara yang kini seperti mencicit. Tapi cicitan yang semakin jelas.
“ANDA?!” seru seorang siswa. Ia mengarahkan telnjuknya ke belakang punggu Ata.
Tak menunggu lama, siswa-siswa itu berlari tunggang langgang.
Ata dan Justin menoleh ke arah Anda berdiri. Dan mereka bisa melihat Cicit Roro Jonggrang itu—yang ia belum tahu namanya sama sekali—sedang mengetuk-ngetuk dagunya sambil melihat ke atas koridor sekolah. Tak lupa bibir mungilnya terus menyenandungkan lagu Lingsir Wengi.
“Ngapain lo?” Justin melonggarkan cengkeraman tangannya dari kerah baju Ata. Dia tak tahan melihat Anda dan segala keanehannya.
“Kamu Justin ya?”
“Iya. Siapa lo?”
“Aku ... yang kesurupan kemarin. Jus to the Tin, Justin, rumah kamu yang dekat TK Madani itu ya?”
“Ke—kenapa lo bisa tahu rumah gue?”
Anda mengedikkan bahu. “Sixth sense. Bisa ngomong sebentar? Aku ada urusan penting.”
“Apa?”
“Ayo.” Anda mengangkat tangan dan melambai-lambai pelan. Membuat Justin dan lainnya memandang gadis itu dengan takjub. Menyadari kalau Justin belum juga menurut, Anda menghela napas. “Tebak, dua menit lagi kalau kamu nggak pergi dari sini, kamu akan kejatuhan cicak.”
Kaget karena Anda tahu ia benci cicak, Justin mundur beberapa langkah. Ia lalu memberi isyarat ke teman-temannya untuk membiarkannya pergi bersama Anda, menjauh dari koridor. Ata menyaksikan pemandangan itu dengan malas. Ia masih dikepung geng Justin. Agak lama, sampai Justin dan Anda kembali. Justin dengan tampang aneh dan Anda yang memasang wajah seperti habis makan mie Ayam lima porsi.
“Ayo guys!” Justin mengajak pergi.
“Ha ha ha.” tawa Anda. Lebih terkesan seperti kata ha yang diucapkan terpatah-patah.
Ata yang menyaksikan kejadian barusan menatap Anda heran. “What the ... siapa sih lo? Ngomong apa lo sama Justin?”
“Andarameda. Kelas XI IPS 4. Halo.” Ucap Anda datar. “Panggil Anda. Walau kenyataannya aku pengen dipanggil Rara Jonggrang.”
Ata mendesis. “Bukan itu maksud gue nanya ‘siapa sih lo?’” katanya sambil menggeram. “Lo beneran punya sixth sense?”
“Yup.”
“Bohong.”
“Aku bisa buktikan.”
Ata mengangkat alis. “Oh ya? Coba tebak, waktu kelas 4 SD, siapa nama teman sebangku gue?”
Anda terdiam. Ia memejamkan mata seolah sedang mencari ilham. Sementara Ata melihat Anda dengan tatapan meremehkan.
“Kamu nggak punya teman sebangku. Kamu home-schooling sampai jenjang SMP.”
Ata terhenyak. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu Anda sebelumnya, atau ia pernah punya guru yang memilik hubungan dengan seorang cewek bernama Andarameda. Dan kenyataannya, ia belum pernah bertemu dengan cewek alien di depannya ini.
“Gue masih nggak percaya.”
“Kamu selalu ingin mati.”
Ata menahan napas. “... Gue tetep nggak percaya,” ucap Ata sambil menahan tawa. “Gue yang tentukan apa gue harus percaya atau nggak. Lo liat? Ini batu. Dan itu jendela.” katanya lagi sambil menunjukkan batu sebesar bola kasti di tangannya.
“Kamu korban iklan ya?” Anda bertanya dengan wajah lempeng.
“Gue lempar batu ini ke jendela. Kalo lo emang punya kekuatan, hentikan gerak batu ini. Berani?”
Anda menatap Ata dengan ekspresi Charlie Chaplin. Akan tetapi, Ata tak ingin kehilangan kesempatan untuk membuktikan kebenaran gadis di depannya. Jadi, sambil memasang kuda-kuda, Ata melempar batu ke jendela di depannya. Lalu dalam gerak slow motion seperti dalam film Matrix, Ata dan Anda melihat laju gerak batu itu menuju jendela kaca.
Untuk sesaat, Ata berharap Anda benar-benar bisa menghentikan batu itu. Akan tetapi, Ata salah sangka. Sebab bagi Anda, ini justru akan jadi tontonan yang menarik.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro