Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4


Di Chile, ada sebuah gurun bernama Atacama. Daratan terkering dan tergersang di muka bumi. Hanya memiliki curah hujan sebanyak 0.01 cm dalam setahun. Dan, di beberapa penjuru gurun itu, ada yang tak pernah hujan selama 400 tahun. Sudah dipastikan, siapa pun yang hidup di sana mengerti seberapa berharganya hujan.

Persis seperti Ata, cowok paling kering di sekolah. Mungkin juga di muka bumi ini. Dia seperti gurun. Panas, gersang, dan terisolasi dari pemukiman (baca: dari kumpulan pertemanan). Dan, sekali lagi, dia benci hujan. Dan kelakuannya seperti kambing yang suka menjerit kalau kena hujan. Kadang-kadang kalau kumat, ia juga persis kucing yang suka berjingkat saat jalan di tanah yang basah. Dan, dia anti dengan tempat kotor. Dia punya alasan untuk itu. Tapi ia tak pernah ingin menjelaskan.

Hari ini, masih pagi. Bau tanah usai hujan masih tercium sangat enak. Seperti hari sebelumnya, Ata menelusuri koridor menuju kelasnya. Dan, satu pemandangan yang bagi Ata mainstream itu terjadi di depannya.

“Hai Justin!” sapa sekumpulan cewek yang berpapasan dengan Justin, cowok paling cool di sekolah.

Tubuhnya tegap, matanya tajam dengan tulang pipinya sedikit naik ke atas. Mendengar namanya saja sudah membuat cewek-cewek—yang punya obsesi punya pacar ala ala badboy—itu tersenyum-senyum senang. Tenggelam dalam fantasi mereka sendiri.

“Hai, Justin!”

Sekali lagi, sapaan itu terdengar. Justin hanya mengangguk singkat.

“Just! Pensi kemarin lo keren banget, sumpah!” seru Sela, anak IPA 1. Rambutnya yang keriting mengembang semakin terlihat mengembang saat dia melompat mendekati Justin.

“Thanks.” jawab Justin sekenanya. Dan itu sungguh cool.

“Justin! Lo mau nggak jadi talent di klub Poros?” kata seorang lagi. Poros itu klub film.

“Nanti ya.”

“Justin, my brooo! Tanding basket yuk! Berani?”

“Oke!”

“Justiiin! Gue kagum banget sama lo. Lo yang nyumbang banyak pas bakti sosial di Panti Asuhan kemarin kan?”

“Eh—ya gitu deh.”

“Just!”

“Ya?”

“Just!”

“Hei.”

Begitulah.

Ata sampai mau muntah. Jujur dia merasa dengki. Lebih baik dia tidur daripada harus menyaksikan pemandangan itu.
Karena tepat di belakang Justin, Ata juga berjalan. Tapi, seperti tidak melihat siapa pun selain Justin, cewek-cewek itu mengabaikan Ata; Cowok ketus dan tidak peka di seantero sekolah. Sebenarnya, Ata juga punya wajah yang tampan. Rambutnya halus, matanya coklat meski tertutupi oleh kacamata, tubuh dan langkahnya tegap. Tapi sayangnya, tubuhnya terlalu ceking seperti keripik. Bahkan, untuk beberapa musim—musim diet, musim kantong kering, musim demam—Ata kerap terlihat seperti tengkorak hidup.

Dan, tetap saja, bagi cewek-cewek itu, wajah ganteng Ata itu pas-pasan jika dibandingkan dengan Justin yang gantengnya se-benua Asia. Dan, meskipun Ata ganteng. Dia bukan sorotan.

Ata berjalan menyeberangi lapangan basket yang memisahkan kelasnya. Tetapi baru tiba di setengah jalan, bola basket yang kotor itu menghantam hidungnya dan menimbulkan suara keras.

Duak!

Ata tak sempat menghindar. Bola itu memberikan sensasi perih di hidungnya.

“Woi, Ata kacamata!” Sebuah suara terdengar tidak asing. Gerald pelakunya. Temannya Justin, dan sama menjengkelkannya. Dan dia sering tidak tahu diri. Gerald berperawakan seram dengan rambut jigrak-jigrak yang bisa diinvestasikan saat perlombaan memecahkan balon di festival 17 agustusan. Tapi bagi Gerald, rambutnya itu tidak ada bedanya dengan bulu bebek.

“Sorry Bro! Lempar sini bolanya!” teriaknya lagi dari kejahuan.

“Lo nggak papa bro?” Bima, teman basket Justin yang lain—sekaligus teman sekelas Ata—menghampiri. Daripada menunggu Ata yang tak melemparkan bola, dia memilih menjemputnya.

Ata mengusap-usap hidungnya yang berdarah. Lalu ia memasang ekspresi defensif. Terakhir kali berurusan dengan Justin dan kawan-kawannya, Ata harus merelakan kacamatanya patah. Dia tidak akan sudi berdekatan dengan orang-orang itu. Dengan cuek, Ata ngeloyor pergi. Bisa ia dengar suara dari belakang punggungnya memanggil-manggil namanya sambil tertawa. Dan seperti yang lainnya, Justin juga ikut tertawa.

Kecuali Bima, dia hanya diam. Meski diam saja tak pernah cukup bagi seorang teman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #hdjfj#raws