Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Memori 6 - Gods Among The Gun (pencilpatron)

"Memangnya aku ini bukan dosa bagimu?" Aku meraih wajah kekasihku yang menunduk ketika aku berbaring di bawah tubuhnya di kasur. "Aku ini penari dan kau pendeta."

"Apa salahnya? Aku suka melihatmu menari." Atman memberikan ciuman di sepanjang tulang selangkaku yang telanjang.

"Kau tahu itu tidak benar. Dulu sulit sekali mengundangmu menonton tarianku padahal orang-orang rela berdesak-desakan untukku," tukasku. Masih jelas dalam ingatanku pendeta ini tidak menggubris tarianku di sanggar seni padahal khalayak berbondong-bondong mengikuti lambaian kipasku.

"Oh, ya, benar. Kau selalu punya cara untuk membuat orang tak berpaling darimu."

"Kecuali kau. Kau bahkan tak melihatku."

"Benar lagi." Tangan Atman membelai pinggangku. "Apa yang kau lakukan padaku? Apa ini karena aroma cempaka di rambutmu?"

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu." Lembut sekali belaiannya. Giliranku untuk mencubit hidungnya. "Kau dan bunyi genta itu."

"Kau menyukai itu lebih dari Genjer-Genjer. Katamu itu membuatmu menari lebih bagus."

Lagu itu sedang naik-naiknya sepanjang tahun '65 dan punya cerita sendiri tapi jadi membosankan karena terlalu sering digunakan. Genta Atman lebih menarik.

Aku mendesah karena ciuman Atman di pangkal paha. Dia sudah melihat tubuhku sebagai penari maupun sekedar perempuan dan mencintai keduanya.

"Tidak ada dosa. Aku mencintaimu, Ava." Dia merangkak naik, kecupannya berakhir dalam di mulutku. "Aku tidak mencintaimu karena aroma cempaka itu. Seluruh dunia sudah mendesakku untuk selalu mengabdi pada surgawi. Kau mengingatkanku bahwa dunia ini sama pentingnya untuk ditolong."

Kedua kakiku melingkari pinggangnya, jadilah dia membenamkan diri lebih jauh dan bergerak lembut. Penghujungnya tiba dan dia tersenyum manis di bibirku.

"Kalau bicara soal dosa, aku ini bukan pendeta seutuhnya. Jadi tidak suci-suci juga," bisiknya. Kedua tangan kami bertaut di bawah selimut.

Sekarang-sekarang ini Atman disibukkan oleh para warga yang datang ke Puri Agung untuk minta bahan pangan. Semua ini akibat pasokan bahan makanan terganggu karena sawah semakin jarang digarap, para petani menghilang bersama cangkulnya, juga palu dan arit mereka.

Nyaris sepanjang bulan September ini, warga mengandalkan belas kasih bangsawan seperti dia untuk hidup. Menurut opini, tindakan itu mengurangi kesuciannya.

"Mungkin seharusnya memang kau berhenti terlibat," bisikku.

Atman menggeleng. Sudah kuduga dia akan menolak. "Aku sudah lihat banyak nama masuk Daftar Kiri, Ava. Bahkan nama-nama itu tidak tahu apa itu Partai Kiri, mereka pikir partai itu isinya petani, buruh, ibu-ibu belajar masak dan menari."

Aku tahu daftar yang terkenal itu berisi nama para terduga anggota Partai Kiri. Sebuah partai yang berambisi mengganti ideologi Republik dan pengikutnya mendesak pergantian itu habis-habisan. Mereka mulai memburu para jenderal di ibukota sana sampai sudah ada tujuh yang hilang dan belum ditemukan. Sebagai upaya penyelamatan, ada Jenderal Besar yang melakukan pengamanan. Pengikut Kiri dibersihkan, ditangkap, ditumpas, dimanapun mereka berada.

"Apa menurutmu orang-orang itu benar-benar ingin mengganti ideologi?" tanyaku ragu.

Atman mengendikkan bahu. "Entahlah, tapi pembunuhan berantai tanpa pandang bulu di ibukota tidak benar. Itu bukan keadilan, Ava, itu cuma nafsu."

"Kalau orang yang salah mendengar kalimatmu ini, mereka akan memburumu." Aku meremas jemari Atman.

"Memangnya sekarang aku tidak diburu?"

Sekarangpun Atman sudah masuk dalam daftar pengawasan semata-mata karena dia Pendeta. Aparat di Pulau Surgawi mencurigai banyak pendeta karena mereka pernah melayani ibadah orang-orang dalam Daftar Kiri.

Atman bangkit dari ranjang, kembali membalut tubuhnya dengan kain dan atasan putih. Akulah yang memasang udeng di kepalanya, bahkan pantulan sosok Atman di cermin menyiratkan ketenangan.

Pria itu tahu dia tidak bisa menemukan sosok yang sama di cermin maka menolehlah dia padaku di sisinya. Dia mencium dahi, mata, hidung, pipi, dan terakhir bibirku. Menikmati setiap jengkal rupaku.

"Maukah kau membantuku jika waktunya tiba?" Atman bertanya.

"Melakukan apa?"

"Mengajak orang-orang pergi," sahut Atman. "Aparat sudah mulai memilah desa dan berburu. Bawa siapapun yang bisa kau bawa," tegas Atman.

"Kapan aku harus membawa mereka?"

"Begitu kau mendengar denting genta pertama."

Aku nyaris tertawa mendengar jawaban Atman. Masih saja dia bisa memikirkan untuk membunyikan genta dan berdoa. "Apa menurutmu orang-orang akan berdoa di tengah pembantaian?"

"Mereka akan mulai berdoa jika melihatmu."

"Ke mana aku harus pergi?" aku menatap penuh harap.

"Ikuti saja suara genta." Atman memberikan ciuman terakhir di puncak kepalaku sebelum berderap tak gentar membelah malam.

Sepeninggalnya, aku terlelap hanya sebentar. Seketika suara jeritan penuh amarah meledak dalam gelap malam. Semua terjadi begitu cepat, gerombolan pria datang seraya mengibarkan senjata tajam dan senapan api. Mereka ini dulunya adalah tetangga, teman, kerabat. Sekarang mereka menggunakan sarung untuk menutupi wajah, membakar kendaraan dan menebas kepala.

"GANYANG SEMUA! HABISKAN! PENGKHIANAT!"

Para wanita berlarian minta tolong, para pria mohon ampun supaya diberi kesempatan hidup. Padi di sawah mulai memerah, dilindas daging-daging yang dipotong paksa, air menjadi keruh, hilir tersumbat tulang belulang.

Samar-samar terdengar bunyi genta suci berkumandang, aku tahu salah satunya adalah milik Atman karena hanya aku yang bisa mendengar denting surgawi itu. Maka kuraih kipas tari lalu kuhentak terbuka.

Aku berjalan dan berjalan, terus berjalan. Dalam setiap langkah, kulit telapak kakiku menebal dan kebaslah permukaannya. Kerikil-kerikil dibelah kuku kakiku yang memanjang, hidungku telah tumbuh menjadi lebih lebar sampai bisa mencium bau darah nan jauh dan mataku menjadi begitu bulat dan merah sampai tak ada lagi sosok yang luput dariku dekat atau jauh.

Tangisan anak-anak terdengar di setiap sudut, memekakkan telinga, kebingungan mereka mengudara tanpa tujuan. Kebingungan itu sirna seiring langkahku mendekat, tidak sulit sebenarnya mengundang mereka, di mata mereka aku tidak sulit dikenali karena akulah yang menghibur mereka saban hari. Segera, mereka tertawa.

"Barong Bangkungggg!" seorang anak kecil berlari mengejarku. "Milu sikkk!"

Dia mau ikut. Aku menoleh padanya, menunduk dan membiarkannya meraih rambut-rambut hitam kusut di tubuhku. "Mai ne milu."

Anak-anak, orang dewasa, semua kujemput dan kujadikan penabuh tarianku. Semakin keras tabuhan maka semakin banyak yang tahu marabahaya datang dan di belakangku mereka bisa berlindung tanpa terlihat.

Pembantai ini tahu betul Barong Bangkung bukanlah lawan mereka. Senjata mereka jatuh ke tanah bersamaan dengan lututnya, bersujud mereka di depanku dan siapapun yang mencoba menghunus belati padaku akan hilang seketika tangannya. Mereka bisa bertingkah bagai dewa pencabut nyawa di luar sana, tapi tidak bisa mereka berpura-pura di depanku.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, berderap maju, meliuk ke samping dengan empat kaki untuk meraih seorang anak perempuan yang bersanding dengan mayat buntung ayahnya. Dia memanjat rambutku sampai punggung lalu tertawa di sana, telah lupa dia pada kematian keluarganya. Kami meninggalkan lautan api dan kuburan massal di belakang.

Pada sinar matahari pertama di hari berikutnya kami tiba di kaki Pura Agung dengan selamat. Orang-orang ini linglung, mereka hanya tahu dunia mereka menjadi senyap dan diselimuti kabut dingin. Udara dingin Gunung Agung melindungi mereka karena amukan belati, tembakan dan pembunuh-pembunuh itu tidak akan berani mendekat.

Kutemukan Atman di altar utama Pura Agung, genta tersemat di jemari kanannya. Aku menggerakkan kepala, memamerkan rambut kusutku. Pelan-pelan rambut kusut memudar, keempat kakiku kembali jadi dua dan kulitku yang berkerak telah menipis. Atman tetap tersenyum entah dalam wujud apapun tubuh ini.

Pelukan Atman melingkari tubuh wanitaku, tangannya menyelipkan bunga cempaka di telingaku. Aku berbisik. "Mereka aman di sini. Tidak ada yang boleh membunuh di dalam pura, Atman."

Hari-hari berikutnya dipenuhi tarianku. Atman menjaga dupa agar tak mati dan anak-anak kecil yang sekarang milikku ini menjaga gamelan tetap berdendang. Selama aroma dupa tidak putus maka upacara keagamaan akan terus berlangsung dan interupsi diharamkan, selama itu kami aman.

Pada suatu hari, hujan turun deras padahal bulan September masih jauh dari musim hujan. Atman membawa dupa ke altar supaya tetap menyala, menyalalah itu dalam binar redup. Tidak lama berselang, muncul empat orang berseragam di kaki pura.

"Kami mau berdoa," ucap pimpinannya pada Atman. Sebagaimana pendeta, Atman membiarkan mereka berdoa. Sementara itu kusembunyikan orang-orang dalam wujud abdi pura di berbagai fungsinya.

Tanganku memilin biji tasbih Japamala untuk menenangkan diri. Sebagaimana yang diajarkan Atman jaman dulu ketika aku belum bisa menerima kenyataan bahwa badanku ini dikuasai manusia dan Barong.

"Pendeta, kehadiranmu diperlukan di kota," kata Pimpinan pada Atman usai ibadah.

"Tempatku di sini. Aku harus menjaga pura ini," kilah Atman.

"Para korban kerusuhan perlu dimakamkan dengan layak lewat doa, Pendeta. Tidakkah kau setuju dengan itu?"

Itu adalah salah satu tugas Atman yang tak bisa dipungkiri. "Apa aku punya waktu untuk bersiap?"

Sebelum Pimpinan pergi, ia meninggalkan satu pesan. "Kau bisa tinggalkan genta itu."

Atman berpaling padaku. Tangannya menjejalkan tasbih dan genta di telapak tanganku. Kulitnya tak ingin kulepas, pikiranku merekam baik-baik rupanya, suaranya dan ciumannya di bibirku.

"K... kau akan perlu ini untuk upacara di ibu –"

Hidungnya menghidu rambut panjangku. "Aku mencintaimu. Dimanapun aku berada, aku selalu mencintaimu, Avattara."

Aku nyaris menarik jati diriku yang lain, bahkan api neraka bisa kumuntahkan namun Atman menahannya. Hanya dia yang mampu membuatku percaya dewa dan dewi masih ada di antara senapan senjata perang. Apa jadinya jika ia tidak ada?

"Pendeta!" teriakan garang Pimpinan terdengar.

"Tetaplah menari. Aku perlu tahu kau akan terus menari, Ava." Atman menangkup wajahku. Setelah aku mengangguk dan berjanji, suara Atman terdengar lebih tenang dan nafasnya melambat. "Aku mencintaimu."

Telah lama Atman tahu dirinya tak abadi namun tetap saja ia menggenggam waktu yang mulai habis di jemarinya, seperti hak-hak dan keadilan yang makin terkikis oleh keberadaan seragam di kaki Pura Agung

"Aku mencintaimu." Kuraih bunga cempaka dari rambutku, kuselipkan di saku bajunya.

Kini aku melihat bahunya menjauh bersama empat Aparat menuju kendaraan tanpa nomor.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro