Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tuan bermasker putih

"Ra, lihat itu," panggil Tia dengan suara pelan, namun masih dapat aku dengar. Tia menunjuk ke arah depan dengan dagunya. "Abang masker putih pujaan hati lo dateng lagi." Katanya sambil tersenyum kecil.

Aku ikut melihat ke arah pintu masuk cafe, seorang laki-laki ber kaos putih yang di padukan dengan kemeja kotak-kotak itu masuk ke dalam cafe, tidak lupa masker putih yang selalu dia pakai. Aku tidak tahu apakah dia selalu menggunakan maskernya kemanapun atau hanya ketika pergi keluar saja. Namun, aku belum pernah melihat wajah aslinya yang selalu ditutup dengan masker. Entah apa alasannya, tapi dia tidak pernah melepaskan maskernya setiap kali datang ke cafe—tempat kerja paruh waktuku.

"Kali ini kasir gue serahkan ke lo." Ucap Tia tiba-tiba.

Aku melotot tidak percaya sambil menghadap ke Tia. Apa katanya barusan? Tia menyerahkan kasir ke aku? Apa Tia mendadak pikun kalau aku belum siap berada di kasir.

"T-ttapi gue kan gak bisa ngasir, Ti."

"Sebelumnya kan gue pernah ngajarin lo."

"Iya, tapi itu pas sepi, kalau ini langsung ke konsumen gue belum berani. Apalagi dia yang harus gue layani." Kataku sambil memelas ke Tia. Ku mohon, semoga Tia dapat mengerti.

"Gak apa-apa coba aja dulu. Kalau bingung nanti gue kasih tau." Dan ternyata Tia tidak merubah keputusannya.

Aku tahu niatnya baik, ingin aku belajar kasir. Tapi... Ah sudahlah. Laki-laki ber masker putih itu hampir mendekat.

"Kak, matcha latte nya satu sama teh susunya satu. Di bungkus, ya." Ucap dia dengan matanya yang terfokus ke arahku.

Astaga. Mendadak aliran darahku terasa berhenti sejenak. Aku sempat terpaku kala mata kami bertemu. Baru pertama kalinya aku dapat melihat dia sedekat ini.

Aku kembali tersadar saat Tia menyenggol lenganku. Baiklah. Kali ini aku harus berkerja secara profesional. Karenabuntuk pertama kalinya aku melayani konsumen di kasir. Yaampun, aku deg-degan sekali. Selain bisa melihatnya secara dekat, aku juga pertama kali mengasir.

"I-iya, bang. Saya ulangi ya. Matcha latte satu dan teh susunya satu. Totalnya tiga puluh lima ribu." Dia memberiku dua lembar uang kertas. Aku mengambilnya dengan tangan yang sedikit begegar. Yaampun. Semoga dia tidak memperhatikannya.

Aku menekan pilihan menu dan beberapa langkah yang masih belum ku pahami, tapi untungnya Tia berada di sampingku. Jadi, aku di bantu olehnya. Jika tidak aku akan salah menekan dan terlihat bodoh di depan abang bermasker putih.

"Eh, bang Juna. Kebetulan sekali kita ketemu disini. Apa kabar, bang?"

Abang masker putih itu menoleh ke belakang. Aku sedikit terkejut saat orang yang barusan datang itu mengenal Abang masker putih.

"Rakha ya?"

"Iya, bang. Junior abang waktu SMP dulu."

"Oh, iya abang ingat. Gak nyangka ternyata kamu masih kenal abang."

"Ya, masih, lah. Siapa yang tidak kenal bang Arjuna, senior paling pintar dan teladan yang selalu menjadi panutan semua siswa."

Aku sedikit tertegun mendengar tawa abang masker putih yang baru ku ketahui namanya adalah Arjuna. Walau hanya mendengar dan melihat dari matanya yang menyipit, tapi jantungku tidak berhenti berpacu. Padahal aku belum kenal secara resmi dengannya, bahkan tahu sifat dan wajahnya saja belum. Tapi kenapa aku sejatuh cinta ini padanya? Apa ini hanya rasa kagum atau rasa suka yang sesaat, atau benar-benar jatuh cinta?

"Panutan apanya? Jangan berlebihan. Abang sama seperti kamu dan yang lain. Belum cocok di bilang panutan."

"Ck, bang Juna terlalu merendah deh."

"Kenyataan. Oh, iya, abang baik. Gimana kabarmu? Sekarang SMA dimana?"

"Aku baik juga, bang. Sekarang aku di SMA Negeri tujuh."

"Oh, berarti masih kelas dua, kan?"

"Iyaps. Eh btw abang sering datang ke cafe ini?"

"Iya, kamu sendiri?"

"Sama, tapi kali ini aku datang mau ngasih catatan matematika ke teman aku yang kerja disini."

Sontak saja aku langsung menunduk. Astaga. Mimpi apa semalam aku? Kenapa kejadian ini mendadak sekali.

"Teman kamu kerja disini? yang mana?" tanya bang Juna sambil melirik beberapa karyawan disini.

"Itu yang di kasir."

Rakha yaampun! Tau tidak jantung aku rasanya ingin copot.

"Oh, ternyata kakak ini temannya Rakha? disini kerja paruh waktu, kah?" tanya bang Juna dengan lembut.

Aku melirik Tia yang sudah mesem-mesem sendiri. Dengan ragu aku mengangkat kepalaku dan menampakkan senyum kecilku.

"Iya, betul bang."

"Wah, hebat. Masih sekolah tapi sudah bisa cari uang sendiri. Ternyata kamu cewek yang mandiri, ya." Pujinya yang malah membuat aku ingin terbang.

"Hehe, makasih, bang. Ini juga buat nambah-nambah uang jajan."

"Oh, memangnya orang tuanya gak ngasih uang jajan?"

"Ngasih sih bang. Tapi, kadang kala aku sama mama sering berselisih, jadi agak gengsi harus minta uang ke mama. Apalagi mamaku gak bakal ngasih uang jajan kalau aku masih keras kepala. Jadi, aku putuskan buat kerja paruh waktu. Dan lagi aku ingin belajar cari uang sendiri." Jelasku begitu lancar.

Mata bang Juna kembali menyipit. Ku yakini saat ini dia sedang tersenyum.

"Hebat sekali. Tapi, jangan lupa dengan pelajaran sekolah. Jangan sampai kesibukan kerja malah membuat semangat belajar kamu nurun."

"Kalau itu gak pernah lupa, bang. Sesekali aku ngulang pelajaran sebelumnya kalau cafe lagi gak ramai. Atau ngerjain soal-soal pilihan ganda disini."

"Bagus kalau gitu. Oh, ya, kita belum kenalan, kan. Kenali nama abang Arjuna, panggil Bang Juna aja." Ucapannya sambil mengulurkan tangan di depanku.

"Aku Devira." Balasku sembari tersenyum lebar.

Apakah sebelumnya aku pernah menyelamatkan dunia sampai hari ini bisa mengobrol dengan abang masker putih yang diam-diam aku sukai.

Apa mungkin esok dan esoknya lagi kami akan saling menyapa setelah ini?

Semoga begitu.

Kepada tuan bermasker putih yang namanya baru ku ketahui. Setiap saat selalu kurindukan dan kutunggu kedatangannya. Semoga kelak kita bisa saling mengobrol lebih banyak dari hari ini. Batinku seraya menunduk dan tersenyum simpul.


_______________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro