Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(6) Bukan Gus

Yuda ingin menangis rasanya. Ia kikuk luar biasa, jika berhadapan dengan orang-orang penting dan tersohor. Terlebih, banyak tangan yang memintanya membalas salaman. Seakan ia orang suci saja. Inilah yang tak selaras dengan pikirannya. Diagungkan, dihormati, dan dianggap penuh barokah. Padahal ia hanya manusia biasa. Banyak dosa. Masih suka khilaf. Hanya karena ayahnya seorang ulama dan pengasuh sebuah pondok pesantren, ia ketularan.

Hal itu pula yang menjadikannya pergi dari rumah, bertahun-tahun silam. Memilih menjadi orang biasa, dengan pekerjaan yang normal tanpa peduli tunduk takzim santri. Sekolah pun ia memilih di luar pondok. Bergaul dengan teman yang tak memandangnya 'sungkan' dan menganggapnya sama. Kuliah, ia pergi ke luar kota. Hingga kini kerja, Yuda menolak menjadi penerus ayahnya. Meski harapan besar sang Ayah ada di pundak Yuda, tetap saja ia belum mau menerimanya. Sementara sang kakak, sudah menjadi isteri anak pengasuh pondok di daerah Bangil dengan sistem perjodohan.

"Monggo, Gus." Yuda tersenyum meringis kala dipanggil Gus. Ia merasa tak layak dengan gelar itu.

"Nggeh," balas Yuda sembari jalan mengikuti seorang laki-laki muda yang menjadi ketua panitia acara Milad pesantrennya. Malam ini adalah puncak acara. Sebuah panggung dibangun sedemikian rupa untuk acara pengajian dari seorang pendakwah yang tengah naik daun di kalangan artis.

Yuda sampai di depan gerbang masuk pondok. Setelah tadi ia diajak berkeliling untuk mengecek persiapan acara oleh ketua panitia, kini ia ingin jalan sendiri sambil menikmati santri putra yang sibuk menggelar karpet, terpal, menata pot-pot bunga, serta mengangkat meja.

Gerbang pondok hanta satu. Namun, jalur yang dilaluo untuk santri putra dan putri dibedakan. Sembari melihat-lihat persiapan, matanya menangkap sosok kakaknya yang berjalan tergesa ke area parkiran. Yuda setengah berlari menuju kakaknya.

"Mbak Aini!"

Aini menoleh begitu ada suara yang memanggilnya. Jika oleh santri ia dipanggil Neng, maka jelas saja tak ada orang lain selain keluarga yang memanggil namanya secara lantang. "Eh, Yud. Kenapa?"

"Mau ke mana kok buru-buru?"

"Aku lupa, ada pertemuan wali murid di sekolahnya Raza. Udah telat banget juga. Aku tadi keasyikan lihat pengajian ibu-ibu lansia di dalem."

"Trus, mau nyetir sendiri? Mas Sani mana?" Sani adalah sopir ndalem.

"Lagi ambil barang belanjaan Umi tadi kayaknya. Udah ah, nggak papa."

"Ya udah, hati-hati, Mbak."

"Iya." Perempuan bergamis merag marun itu membuka pintu mobilnya dibantu Yuda. "Eh, aku tadi ketemu Mak Sari di dapur. Lagi makan. Mak Sari ikut TPQ lansia?"

Yuda mengangguk. "Iya. Biar esksi katanya. Orang udah lancara juga ngaji sama aku di rumah."

Aini tersenyum. "Udah bisa bimbing ngaji. Kapan nih, mau bimbing santri? Udah waktunta kan?"

Tawa Yuda membahana. "Mesti deh itu terus. Kapan-kapan, kalau aku bosen jadi GM."

Aini menggeleng-gelengkan kepala. Senyumnya tertutup di balik cadar.

***

Jenar yakin. Kerudung barusan yang dipakai oleh perempuan tadi adalah kerudung yang merek nya pernah ia perjual belikan. Meski pabrik menjual banyak produk, tapi ia yakin dengan merek yang pernah ia jual. Bukan merek ternama, tapi punya kualitas bagus. Jelas. Dan Jenar senang saja, karena barang dagangannya bisa terlihat menawan saat dipakai oleh orang yang tepat. Gamis merah marun, dan cadar yang hanya memperlihatkan bola mata sang pemakai. Jenar bisa menebak, perempuan barusan pasti sangat cantik hanya dengan melihat matanya yang ramah dan hangat saat menyapa Mak Sari.

"Mak, tadi itu siapa?" tanya Jenar penasaran.

"Neng Aini. Anaknya Pak Kyai."
Jenar langsung berdebar-debar. Seperti inikah rasanya bertemu bidadari, seorang anak pengasuh pondok?

"Nduk, kamu pulang sama siapa? Mak mau pulang ini. Kasihan ternak di rumah nggak ada yang jaga. Emak belum masak juga."

"Sama dong, Mak. Banyak urusan banget ya di rumah. Maunya sih pulang sekarang, Mak. Bareng apa gimana ini enaknya?"

"Kamu naik apa?"

"Naik bis, Mak. Hehehehe. Tadi berangkatnya dijemput temen. Tapi pulang urus badan sendiri. Kalau Emak?"

"Emak diantar sama Yuda, anakku. Tapi sekarang anak itu lagi sibuk paling. Emak terlantar."

Jenar merasa geram sekaligus iba. Ia tak mengira anak mana yang teda menelantarkan orang tua buat pulang sendiri demi kerepotan yang entah apa. "Nomor anaknya mana, Mak? Siapa tadi? Yuda? Biar tak teleponkan Yuda suruh jemput Mak di sini."

Mak Sari bingung. Dengan sisa kebingungannya, ia menyerahkan ponsel butut hitam putih pada Jenar. Sambil menyebutkan nama kontak Yuda. Setelah mendapatkan nomor tersebut, Jenar menelepon seseorang di seberang sana.

"Assalamualaikum, Pak."

Di seberang, Yuda yang tengah minum Popes rasa melon dalam plastik, dibelikan salah seorang santri langsung melongo. Suara Mak Sari, kenapa berubah merdu-merdu galak begini? Apa setelah ikut TPQ Lansia tadi Mak Sari berubah jadi Nisa Sabyan? Memanggilnya Pak pula. Memangnya lagi di kantor? Di sekolah? "Waalaikum salam. Kenapa, Mak?" tanggap Yuda sambil memindahkan kantong plastik es ke tangan sebelah kiri.

"Pak, ibunya tega sekali nggak dijemput? Bapak ada urusan apa yang lebih penting dari menjemput ibunya? Pengajian sudah selesai. Ibunya Bapak mau pulang. Tolong dijemput ya, Pak."

Yuda melihat nama di layar ponsel berkali-kali sebelum menempelkan ke telinga. Memastikan bahwa nomor tersebut benar milik Mak Sari bukan roti. "Oh, iya. Mak di mana sekarang? Aku ke sana."

"Di dekat dapur ndalem. Tapi, bapak-bapak sepertinya nggak boleh masuk sini. Ya udah, nanti Mak Sari tak antarkan ke pintu santri putri. Terima kasih, Pak."

Yuda memilih segera beranjak dari tempatnya duduk. Ia khawatir ada apa-apa dengan Mak Sari. Secara, teleponnya saja dibajak Nisa Sabyan KW. Setengah berlari ia menuju pintu putri. Dekat dengan jalan menuju dapur ndalem. Jalan masuknya pula menuju halaman rumahnya. Dulu saat kecil, Yuda sering kabur lewat pintu dapur menuju halaman dan keluar ke area pondok agar tak ketahuan. Karena biasanya hanya ada mbak-mbak ndalem yang sibuk masak.

Demi kesopanan, meski ia diperbolehkan masuk ke dapur ndalem, Yuda menunggu saja di gerbang. Begitu sampai, dilihatnya Mak Sari tengah berdiri di balik pohon mangga manalagi. "Mak?" panggilnya.

"Eh, Le? Ngerepotin yo?"

Yuda menggeleng. "Mak nggak kenapa-kenapa kan? Mak lecet, amnesia, sesak napas apa batuk pilek?"

"Opo to, Le. Mak baik-baik aja gini kok malah doain yang enggak-enggak. Kenapa?"

"Lah, tadi yang telepon aku bukan Emak kan? Tak kira Mak kenapa-kenapa, trus hapenya ditemukan sama orang di jalan."

"Owalah. Enggak. Itu tadi Jenar. Dia guru yang ngajarin Emak TPQ Lansia. Orangnya cantik loh, Le."

Yuda tak percaya. Cantik versi Mak Sari itu bagi Yuda amat tak akurat. Pacar Anjelo yang dari tetangga sebelah saja dibilang cantik sama Mak Sari. Kucing belang yang suka baring-baring di teras rumah juga dibilang cantik. Bekantan betina digincui juga mungkin dibilang cantil sama Mak Sari. Lagipula, paling yang ngajar Mak Sari tadi ibu-ibu pengajian atau pengurus pondok yang sudah jadi ustadzah senior.

"Galak tapi. Udah, ayo pulang."

Mak Sari mengedarkan pandangan. Tak didapatinya lagi Jenar yang buru-buru jalan keluar gerbang menuju halte. Padahal jarak dari pondol ke halte hampir sekilo. Mak Sari jadi tak tega membayangkan. Apalagi cuaca terik begini.

"Le, bawa mobil apa motor?"

"Motor. Kenapa?"

"Ayo. Susul Jenar sebentar. Kasihan dia jalan ke halte jauh. Kamu anterin dia dulu, baru anter Emak."

Yuda menghela napas. Tak apa deh. Mengantar dua ibu-ibu siang ini. Sembari kabur sejenak dari hiruk-pikuk persiapan milad.

___________

Jangan lupa vote, komen, biar semangat lagi. Makasih buat dukungannya semua 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro