(23) Seribu Alasan
Pulang ke rumah, Sita menghadangnya di pintu masuk dengan pinggang berkacak. Tatapannya sinis, geram, bercampur karena Jenar pulang lebih malam dari biasanya. Mereka kelaparan, menunggu lauk ayam goreng buatan Jenar.
"Ke mana aja kamu? Cewek kelayapan terus."
Jenar mengucap salam, namun malah dibalas cercaan. Akhirnya ia balas sendiri salam yang terucap tadi.
"Buruan goreng ayam. Laper!"
Sita pun masuk diikuti Jenar yang menutup pintu. Melewati ruang tamu menuju dapur, tatapan mata kesal dan omelan dari empat manusia berkelamin perempuan lainnya mengiringi langkah Jenar. Seperti biasa, ia abai saja. Diladeni malah tak beres-beres. Meski abai pun telinganya yang jadi korban.
Meletakkan tas dan berganti baju, Jenar segera ke dapur. Dalam lemari es sudah ia siapkan ayam goreng yang sudah ia ungkep tinggal goreng saja sebenarnya. Memang dasar saudara Jenar tak ada yang mau repot. Masak mi instan saja sama menyeduh kopi sachetan yang mereka bisa. Itu pun saat terpaksa jika Jenar tidak di rumah.
"Jenar! Bikinin aku es Tarjan segelas besar sama mi Kayang lima bungkus!"
Teriakan Nila yang tiba-tiba menghampiri Jenar di dapur, membuatnya menoleh. Dilihatnya kakak tiri tersebut habis menangis. Bekas air matanya masih basah, ditambah ingus yang disedot dan mata yang memerah.
"Malem-malem minum es sama mi pedes nggak sakit perut, Mbak?"
"Udah kamu diem aja deh. Bikinin nggak pakek lama!"
Nila berlalu dan masuk ke kamar. Bantingan pintu kamar menandakan sang pemilik memang tak baik-baik saja. Kakak ketiga yang bekerja di bank tersebut sedang patah hati akut karena ditolak gebetan. Jenar hanya mendengar dari obrolan Sita dan Lilis di ruang tengah. Siapa cowok yang mematahkan, Jenar tak mau kepo. Bahkan soal percintaan kakak-kakaknya pun ia tak ambil pusing.
Selesai dengan ayam goreng dan sambel trasi buatannya, Jenar menata di meja. Ia gegas ke tempat cucian untuk memisahkan baju kotor. Merendam sejenak dengan air sabun, kemudian menyalakan mesin cuci. Besok pagi tinggal dijemur. Beralih kemudian pada lipatan baju kering. Ia hendak menyetrika, tapi panggilan Tinah dari depan televisi membuatnya segera meninggalkan rencana.
Rupanya ibu tiri Jenar minta dibuatkan kopi untuk menemani menonton acara komedi.
Menjelang pukul sebelas malam, Jenar baru selesai setrika. Barulah ia membungkus kerudung pesanan yang akan ia kirim esok, sekalian mampir ke rumah Mak Sari. Tak usah terlalu pagi datang, nanti ketemu anaknya. Jenar jadi merasa aneh sendiri. Bagaimana bisa ia jadi akrab seharian ini dengan anak Mak Sari?
***
Rencana tinggal rencana. Setelah mengantar kerudung dan hendak ke rumah Mak Sari, Umah menelpon untuk datang. Ia pun bergegas ke pondok, meski bukan jadwalnya mengajar lansia.
Setiba di kantor, ada Uki yang hendak berangkat kuliah. Sedikit terburu-buru karena sudah terlambat. Hanya dua mata kuliah saja. Dhuhur juga sudah pulang.
"Assalamualaikum, Mbak," sapa Jenar.
"Waalaikumsalam. Masuk aja, udah banyak yang kumpul. Aku ada kuliah pagi."
Ike segera berlalu. Jenar hanya melambai dan segera masuk ke kantor. Ada pintu yang menghubungkan ke kamar para pengurus putri. Di dalam sudah berkumpul lainnya.
Acara rapat membahas tentang ziarah wali area Jawa Timur untuk lansia. Karena usia peserta sudah renta dan pastinya tenaga mereka tak kuat jika harus menyelesaikan ziarah ke wali sembilan hingga ke tanah Sunda sekitar delapan harian, makanya hanya makam sekitar saja. Cukup dua hari saja. Jenar yang menjadi salah satu pengajar pun diikutsertakan.
Selesai rapat membentuk panitia dan persiapan, Jenar dan beberapa pengurus masih bercengkrama. Sebentar lagi Dhuhur, jadi Jenar memutuskan pulang setelah salat di kamar Umah.
"Makan yuk!" ajak Umah yang berjalan bersisian menuju kantin.
"Iya."
"Beli sekarang, nggak rame. Kalau jam habis Duhur, anak sekolah pada pulang."
Keduanya sampai di kantin. Menu makanan yang Jenar pilih adalah tumis buncis dan wortel, mi goreng dan telur dadar. Sementara Umah sendiri membeli nasi, telur bali dan sambel goreng tempe. Lantas keduanya menuju kamar Umah di lantai atas untuk menikmati makan siang.
Baru saja hendak minum setelah makanan habis, Uki datang ke kamar Umah.
"Kenapa?"
"Ada yang senggang nggak? Aku baru pulang, mau cari refrensi makalah. Bu Nyai ngajak jenguk Mbah yang sakit itu. Siapa namanya, Mbah Retno."
Umah melirik pada Jenar. "Kamu repot nggak? Ikut bisa 'kan?"
Jenar melihat jam di atas pintu. Ia berencana menjenguk Mak Sari juga. Lagian ia bukan pengurus atau santri di pondok ini. Kenapa juga harus ikut?"
"Aku mau jenguk temenku, lagi sakit juga," alasannya.
"Cuma bentar kok. Ikut aja sama Mbak Umah. Rumah Mbah Retno juga deket dari sini."
"Udah ikut aja. Bentar kok."
Berpikir sejenak. "Tapi aku bukan pengurus atau santri di sini. Nggak enak, Um."
Umah mengibaskan tangan kiri yang bersih. "Nggak papa. Kamu juga udah jadi bagian dari kami tho."
"Iya, ikut aja. Ada dua lagi di bawah. Lainnya pada repot semua."
"Iya deh."
***
Pukul setengah enam, rombongan Bu Nyai tiba. Jenar terpaksa izin mengajar di TPQ karena tak enak mau pulang sementara Bu Nyai dan teman-teman pengurus masih belum selesai di rumah sakit tempat Mbah Retno dirawat.
Andai saja Mbah Retno belum dibawa ke rumah sakit dan hanya di rumah beliau saja, mungkin tak sampai sore menjelang magrib begini selesainya. Setiba di rumah Mbah Retno, tetangga bilang Mbah Retno sudah dibawa ke rumah sakit semalam. Jadilah rombongan bergerak ke rumah sakit di kota.
"Magrib, Nar. Jangan pulang dulu. Cewek kok pulang sendirian. Nanti dibegal jodoh."
"Halah, apaan sih kamu, Um."
Keduanya berbisik di dalam mobil sambil terkikik geli. Karena berada di kursi paling belakang, jadinya menunggu yang tengah turun dulu.
"Siapa tahu aja jodoh datang, Nar. Berdoa ih kamu."
"Emang jodohmu udah dateng, Um?"
Dengan malu-malu Umah mengangguk. "Udah lah. Bentar lagi dihalalin."
Raut kaget tampak di wajah Jenar. Belum sempat mengisi rasa penasaran, keduanya sudah dipanggil untuk turun. Jenar menahan diri, karena Bu Nyai tepat di sebelahnya.
"Wes, suwun kabeh ya, Mbak. Ndang diarahne adik-adike solat magrib, diniyah mari ngene." (Sudah, makasih semua, Mbak. Segera dibimbing adik-adiknya buat solat Magrib dan diniyah setelah ini)
"Nggeh." (Iya)
Dua orang pengurus yag tadi duduk di tengah, berjalan menuju kantor. Sementara Umah menggandeng Jenar lewat jalan santri yang berdekatan dengan pintu dapur ndalem.
"Aku mau pulang aja deh, Um."
"Magrib di sini aja, Nar. Nggak tak kasih tahu loh nanti siapa yang aku maksud tadi," kikik Umah mencoba menahan Jenar untuk tinggal.
"Aku nggak jadi jenguk temen, izin nggak ngajar. Kalau pulang kemaleman, ibuku bisa ceramah."
"Padahal aku pengen kamu nginep sini lagi kayak kapan hari, Nar. Nanti tak kasih tahu, dia siapa. Kami dijodohkan sih sama Bapak."
"Alhamdulillah, Um. Mau dijodohkan ada cari sendiri yang penting bisa sakinah nantinya. Lagian, Um, aku bukan santri kok enak banget nginep sini."
Tak keduanya sadari, Bu Nyai tengah berjalan pelan di belakangnya. Tadi beliau masih mengobrol dengan Sani yang meminta tolong mengantarkan esok pagi.
"Mbak Jenar, sampeyan ndak mondok di sini to ternyata?"
Baik Umah maupun Jenar yang asyik mengobrol langsung terdiam. Langkah keduanya berhenti dan mundur ke samping. Memberi jalan Bu Nyai yang berada di belakangnya.
"Mboten, Bu Nyai. Kulo namun ngucal Mbah-mbah. Mriku tumut rapat kaleh nyambangi rencang kulo, Mbak Umah niki." (Tidak, Bu Nyai. Saya hanya mengajar mbah-mbah. Ke sini hanya ikut rapat sama menjenguk teman saya, Mbak Umah ini)
"Owalah, emane. Tak kiro sampyan mondok kene. Melu ngaji kene loh, Mbak. Sampean kuliah opo kerjo?" (Aduh sayangnya. Saya kira kamu tinggal di pondok. Ikut ngaji sini saja, Mbak. Kamu kuliah apa kerja?)
"Mboten kuliah. Teng griyo mawon." (Tidak kuliah. Di rumah saja)
"Lah yo, nggak repot opo-opo to. Ngaji sini ae. Habis subuh sama diniyah." (Nah, tidak repot apa-apa kan. Ngaji di sini saja. Setelah subuh sama diniyah)
"Nggeh. Kulo izin Ibu riyen."(Saya izin Ibu dulu)
Bu Nyai segera masuk, dan Jenar juga Umah berbelok ke jalan santri. Karena sudah iqomah, Jenar dan Umah buru-buru ambil wudhu dan bergabung jamaah dengan santri lainnya.
***
"Aku pulang, Assalamualaiakum."
''Waalaikumsalam, Nar. Hati-hati ya."
Jenar menuruni tangga dari kamar Umah, dan bergegas ke parkiran. Jam sekolah diniyah di pondok hampir mulai. Jadilah Jenar pamit. Ia juga ingin bisa mampir ke tempat Mak Sari sebelum sampai rumah.
Pintu jalan santri ia buka, dan terkejutlah ia karena langsung berhadapan dengan Yuda yang juga kaget.
"Eh, Mas Yuda kok di sini?"
Yuda menoleh ke sekeliling. Memastikan tidak ada yang mengenali atau akan menyapanya. Jalan menuju teras rumahnya tinggal beberala langkah, tapi bertemu bidadari hatinya sungguh kejutan yang tak terduga.
"Anu, mau ketemu temen."
Jenar mengerut kening. "Temen Mas Yuda santri sini?"
Yuda bingung harus jawab apa. Ia tak mau berbohong, tapi mau gimana lagi. Masa ia harus bilang kalau pulang ke rumahnya sendiri. Ia belum siap.
Menggaruk pipi. "Anu, bukan. Temenku ... jadi sopir ndalem. Iya, dia sopir ndalem."
Yuda gelagapan setengah mati mengatur kalimat kebohongan.
"Oh. Gimana kabar Mak Sari? Maaf belum bisa jenguk. Repot seharian di sini."
"Mak sehat wal afiat. Tadi pas tak tinggal ke sini, Mak Sari lagi lihat TV."
"Oh. Ya udah aku mau pulang dulu ya, Mas."
Yuda melirik pintu rumahnya kemudian menoleh pada Jenar yang sudah mulai bergerak meninggalkannya.
"Dek, eh, Jenar." Yuda mengikuti langkah Jenar di belakangnya. "Udah mau Isya. Tak anterin ya. Sekalian aku juga mau pulang."
"Nggak usah, Mas. Aku biasa sendiri kok. Lagian aku bawa motor kok."
Penolakan halus memecut semangat Yuda untuk membuat seribu alasan lagi agar bisa mengobrol dengan Jenar.
"Ya nggak papa. Aku nganterin dari belakang aja. Toh, nggak bagus juga bukan muhrim, sampeyan tak bonceng mepet. Nanti celahnya ada setan."
Yuda meringis. Semoga tak menyinggung gadis di hadapannya ini.
"Baiklah. Naik motor sendiri-sendiri kan?"
"Iya."
Jenar jalan di depan, sementara Yuda di belakangnya. Mengambil motor masing-masing, keduanya melaju keluar area pondok. Yuda menyejajarkan motor dengan Jenar sebelum sampai jalan raya.
"Boleh mampir sebentar nggak?" teriak Yuda di sisi Jenar karena kebisingan jalanan.
"Ke mana, Mas?'
"Mau beli buah."
"Iya."
Jenar tak tahu saja bahwa dekat penjual buah yang dimaksud Yuda adalah warung soto daging langganannya. Yuda sekalian mau mengajak Jenar makan di situ. Lagi, ia menyusun alasan untuk semakin dekat dengan masa depannya.
________________
Maaf typo. Ditunggu komen kalian yang buat jiwa raga ini bisa terus semangat update. Bubay, Genk! Mamacih banyak loh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro