Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[38] Rumah Mewah Suamiku

Nah, ini yang kalian tunggu gaes...

Siap-siap makin banyak ngumpatin tokoh kita yang tersayang.

Happy reading....




”MAS GARA!” Sontak aku segera menutup kembali daun pintu yang baru kubuka.

Matahari baru saja mengintip di langit timur. Karena semalam hujan, cahayanya pun terasa redup. Kurasa aku harus menyiapkan jas hujan. Oh iya, Gara! Kenapa dia bisa sampai di rumah ini? Sepagi ini!

”NYONYA!! KAMU TIDAK BERANGKAT KE KAMPUS?”

Aku menoleh ke jendela, ternyata dia berdiri di balik kaca. Dia berteriak di kompleks ini. Aduh, cari perkara saja! Kalau sampai ada tetangga yang melihatnya. Pasrah, akhirnya aku buka pintu.

”Mas Gara, maaf, ada apa?”

”Kamu sudah sarapan?” tanyanya. Tangan kirinya masuk ke saku celana jeans-nya sementara tangan kanan memutar-mutar ponsel. Matanya bergerilya memperhatikan seisi rumah.

”Sudah. Saya akan berangkat sekarang.”

Gara mengangguk. Tanpa dapat kucegah, dia berjalan cepat melewatiku. Teriak pun, percuma. Dia tidak mendengarkanku. Aku mengejarnya tanpa menutup pintu.

”Mas Gara, jangan seperti ini!”

Aku tiba di dapur ketika dia tengah menjalankan penglihatannya pada meja makan. Aku belum sempat membersihkan piring-piring sisa makan pagiku sebab mendengar ketukan pintu saat akan membereskannya.

”Roti panggang, susu coklat, dan telur. Susu buat ibu hamil? Kalau begitu buatkan aku kopi saja!” Dia duduk pada salah satu bangku setelah memindai isi meja.

”Maaf, kamu menyuruh saya?”

Gara memutar kepalanya ke arahku yang berdiri. ”Bukan. Aku hanya minta dibuatkan kopi, itu saja.”

”Itu sama saja. Sepertinya berada dalam sel tahanan membabat habis tata krama kamu.”

Dia mengangkat bahu. Diteruskannya mengambil roti, membuka botol selai, dan mencabut pisau dari tempatnya. Hal itu membuatku segera melakukan apa yang dia minta. Kalau sampai dia mengamuk seperti waktu itu, dengan pisau di tangan, bisa habis nyawaku.

”Siwi. Lama sekali bikin kopi!” Gara merebut sendok gula lalu menggantikanku membuat kopi. ”Hah, jadi. Aromanya wangi sekali. Kamu mau coba?”

Kugelengkan kepala dan menyingkir darinya. Kuberesi piring-piring bekas rotiku. Menumpuknya dengan gelas kotor dan sendok. Kubawa semuanya ke bak pencuci piring lalu membersihkannya dengan cepat.

”Ini tambahan,” ujar Gara sembari memberikan bekas gelas kopinya.

”Selesai? Silakan ke depan, pintunya tidak saya tutup kok.”

”Ayo. Kamu tidak tahu ’kan di luar mendungnya hitam sekali. Sepertinya hujan akan turun. Aku ke sini mau menumpangimu ke kampus.”

”Tidak perlu, Mas Gara. Saya biasa berangkat sendiri, hujan pun ada jas hujan. Tidak perlu repot-repot mengantarkan saya.”

”Terserah. Aku akan tetap mendapatkan apa yang kumau. Ayo cepat bersiap, aku akan tunggu di teras depan!” Gara berjalan ke depan dengan santai.

”Mas Gara, tolong jangan kacaukan pagi saya.”

”Kalau begitu jangan banyak tingkah. Ayo cepatlah, nanti hujannya datang dan kita terkurung di dalam sini berdua. Kamu pilih yang mana?”

Mendesah pelan, aku pun naik ke kamarku untuk mengambil tas.

”Wi!” Gara bangun dari duduknya ketika aku tiba di teras. ”Daripada memanggilku mas-mas, bagaimana kalau kamu ganti yang lain?”

Aku tidak menanggapinya. Kalau dipikir-pikir, memang betul apa yang dikatakan mami, dia akan mencariku begitu keluar dari penjara. Tebakan mami waktu itu tepat sekali.

”Lama sekali sih berpikirnya?”

”Memangnya kita sedekat itu, ya, hingga saya—”

”Dekat dong, Nyonya. Aku calon papa untuk anakmu!”

Aku menahan geram. Dia terlalu gila untuk diladeni. Perasaanku sewaktu di Bandung, dia masih sosok yang kasar. Kenapa sekarang jadi orang gila?

Sabar, Wi.

”Gerimis, Gar, kamu mau antar saya dengan apa? Jalan kaki?” tanyaku sengaja menghilangkan kesopananku kepadanya. Lidahku ngilu memanggilnya dengan panggilan mas jika dia sendiri tidak patut untuk disegani.

”Itu baru Siwi yang manis,” pujinya membuatku ingin memuntahkan roti tadi, ”kamu tidak lihat ada kendaraan parkir di luar pagar? Itu namanya mobil bukan kereta kuda. Kalau kamu maunya kita jalan kaki ke kampus, boleh juga, hitung-hitung menemani ibu anakku jalan pagi.”

”Gara, stop! Kamu tahu siapa saya.”

Gara menjentikkan jemarinya. ”Tahu sekali. Selama kamu di Bandung, aku sudah jauh lebih tahu dari sebelumnya. Aku sudah mengorek-ngorek informasi tentangmu. Bisa dikatakan aku kenal kamu delapan puluh persen, tinggal dalamnya saja,” katanya mengerling.

”Sudah, diam! Dan kenapa kamu parkir tepat di depan rumah saya? Kamu mau melihat saya diarak keliling kompleks karena membiarkan lelaki lain masuk rumah ketika suami saya tidak ada?”

Wajahnya terlihat merah. Itu bukan ekspresi ketika seseorang malu, tapi lebih ke rona emosi—marah?

”Saya sudah salah bicara?” tanyaku takut-takut. Susah berbicara dengan seseorang yang memiliki temperamen tinggi seperti Gara. Salah bicara sedikit, wajahku bisa babak belur.

”Bahkan kalau sampai ada yang mencuilmu sejari saja, aku yang akan mematahkan jari mereka. Ingat itu, aku tidak peduli kata-kata orang. Misiku adalah membawa pergi kekasih hatiku dari neraka bernama pernikahan poligami!”

Ingatkan aku untuk memasang penyumbat telinga atau apa pun yang bisa membuatku tidak mendengar kata-kata Gara! Aku takut jantungku akan menangis haru.

”EEEh, kamu mau apa? Kenapa melepas jaket?”

”Ckckc. Dasar ibu hamil! Aku ingin melindungi kepalamu dari rintik hujan, Nyonya. Bukan bermaksud buruk!”

Aku menarik napas.

Setelah berada dalam mobil, aku menanyakan sesuatu yang mengusik rasa ingin tahuku. ”Kamu pinjam mobil siapa?”

”Kenapa? Karena aku mencuri motor, jadi kamu pikir aku juga mencuri mobil, begitu?  Kalau pun memang benar ini mobil curian, yakinlah aku tidak akan bisa menampakkan diri di depanmu kecuali Nyonya Siwi mengunjungiku dengan wajah penuh sayang.”

”Aku tidak pernah melakukan itu.”

”Aku tidak berbicara masa lalu. Aku bicara soal masa depan. Siapa tahu nanti jika aku ditahan lagi dan Nyonya datang dengan wajah memelas penuh kasih.”

Aku mengamati jalanan yang padat. Tidak ingin meneruskan dialog unfaedah bersama mantan pesakitan yang sakit kepala alias gila. Karena memakai mobil, Gara tidak bisa kutunjukkan jalan tikus menuju kampus. Kami harus bergabung dengan kendaraan lain dan saling menahan sabar agar segera sampai di tujuan.

”Ibu Dosen, nanti saya jemput,” ucap Gara sedetik setelah aku menginjakkan kaki di paving block.

”Terima kasih. Tapi saya tidak membutuhkan supir pribadi, Mas Gara.”

”Kalau begitu siap-siap saja, aku akan gendong kamu naik ke kereta kencana kita ini.”

”Gara, tolong stop. Saya tidak cocok untuk kamu ajak main-main. Kamu tahu siapa saya. Atau perlu saya jelaskan? Saya seorang ist—”

”Dan aku akan membuat pertalian itu putus lalu akulah yang akan mengikatmu!” Dia menggertakkan gigi.

Sepertinya setiap aku membahas soal perniakhanku, emosinya akan naik. Si temperamental itu harus segera diajuhi.

”Saya sendiri tidak tahu pukul berapa saya selesai. Jadi terserah kamu ingin menunggu atau tidak.”

”Enam bulan lagi. Saya akan sabar menunggu, Nyonya,” ucapnya yang berhasil membuatku bertanya-tanya. Gara merunduk tepat di depanku.

”GARA! APA YANG KAMU LAKUKAN”? Kuamati sekeliling. Aku mundur selangkah. Meskipun tidak ada yang memperhatikan, pasti satu dua yang menyadari posisi aneh ini.

”Papa Gara pasti bisa membujuk mama supaya bersikap baik dengan Papa.”

Ya Tuhan! Ini sebuah kegilaan.

***

”Gara, saya capek, tolong jangan buat saya emosi!”

Ketika aku keluar dari pintu ruangan jurusan, Gara telah berdiri dengan pakaian khas anak muda; kaus hitam yang dilapisi kemeja kotak-kotak tak dikancing, celana jeans sobek pada lututnya, dan sepatu sport hitam.

”Kamu selalu memandang buruk kepadaku. Kalau kamu tahu cerita sebenarnya di balik pelarian sepeda motor itu, aku yakin kamu akan menangis memohon maaf dariku. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku tidak akan mengungkit persoalan lama kita. Karena dengan adanya masalah itu, aku mengenalmu dan aku mencintaimu.”

Dia berhasil mengusik rasa ingin tahuku. Apa yang baru saja dia katakan? Aku akan menangis meminta maaf? Lalu setelah dia memberikan bocoran, dia tidak akan mengungkit masalah itu?

”Kak Gara!”

Aku merasakan angin ketika seseorang berjalan melewati tempatku. Gadis itu berdiri di sebelah Gara. Dialah Grace, dalang di balik kegilaan Gara.

”Grace,” panggilku pelan.

Dia melihatku dengan wajah kaget. Dia memegang tangan kakaknya dengan wajah menunduk.

”Apa yang tidak saya ketahui di sini?”

Grace menggeleng. ”Bu Siwi, aku. Eeemm Kak Gara memang sudah gila. Dia sudah kuperingatkan agar tidak mengejar Ibu Siwi tapi dia seperti tidak punya telinga. Dia tidak mau mendengar laranganku.”

”Mengejar? Maksud kamu mengejar saya untuk apa?” tanyaku kepada Grace.

Gadis itu berbisik di telinga Gara. Percuma ia melakukannya sebab aku bisa mendengar apa yang dia ucapkan. ”Apa kataku, Kak, Bu Siwi bukan orang yang peka!”

”Kamu mau ikut Kakak atau mau jalan kaki?” tanya Gara kepada adiknya.

”Jalan kaki juga dekat ’kan Grace?” Rumah Grace hanya beberapa ratus meter dari kampus.

”Dengarkan itu Grace, Bu Dosen kamu tidak ingin diganggu waktu bersama Kakak.”

”Kak Gara! Bu Siwi sedang hamil jangan digoda terus! Kakak mau lihat macam betina mengamuk?” ucap Grace kepada Gara. Lalu dia memanggil namaku. ”Sebenarnya saya sudah pindah ke rumah Kak Gara. Selama ini saya tidak tahu—”

”Kadang mulut ember bocor seperti kamu itu perlu dilakban, Grace. Meskipun karena mulutmulah aku bisa melihat pesona Siwi.”

”Kak Gara ingin melihat Bu Siwi muntah di sini? Aku saja yang tidak hamil merasa mual apalagi Bu Siwi.”

Aku hanya bisa menganga melihat interaksi dua adik kakak itu. Perasaan hangat mengaliri darahku. Betapa indahnya memiliki saudara, meskipun saling menyindir namun mereka saling menyayangi. Aku yang sebatang kara ini tidak akan pernah merasakan perasaan semacam itu.

”Air matamu kali ini, kuharap bukan air mata luka yang telah dibuat oleh suami keparatmu itu!”

Aku tersentak ketika Gara menghina Lian.  ”Tolong berhenti mengatai suami saya!”

”Dia pantas mendapatkan julukan lebih kotor dari itu.”

”Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu tidak berhak menilai dia sebelum kamu mengenalnya!”

”Kak Gara, sudah!! Berhenti, Kak! Bu Siwi, ayo aku antarkan ke rumah. Aku akan pinjam motor Raka. Ayo, Bu.”

***

Lian tidak jahat. Dia tidak boleh dihina seperti itu. Mulut Gara memang harus segera disterilkan. Aku malas bangun dari tempat tidur. Namun ketukan pintu terdengar buru-buru. Mau tak mau aku harus melihat siapa yang bertamu. Karena kejadian tadi pagi, aku waspada sebelum membuka pintu. Kuintip dulu melalui jendela di sebelah pintu. Mama.

”Ada apa, MA?” tanyaku begitu pintu kubuka.

”Kita ke rumah Lian sekarang, Wi, Lian demam tinggi.”

Kata mama, demam Lian diakibatkan luka-luka yang ada di tubuhnya. Aku tahu sekali siapa penyebab sakitnya Lian. Kami memasuki kompleks perumahan mewah. Deretan rumah dengan gaya modern maupun klasik tampak berseri oleh cahaya lampu. Mobil yang dikemudikan Papa Juan masuk ke dalam rumah dengan pagar tinggi.

Bersiaplah, Wi, kamu akan bertamu ke rumah suamimu bersama istri yang sangat dicintainya.

Mama merangkul bahuku. Kami menunggu pintu putih itu dibuka setelah papa menekan bel. Mama masih merangkul bahuku, entah untuk tujuan apa.

”Kita hanya menjenguk Lian dan memberikan dia semangat. Kamu jangan berpikir yang berat-berat ya, Sayang,” peringat mama ketika pintu terbuka.

Seorang mbak-mbak menuntun kami ke sebuah kamar di ujung ruangan tamu.

Papa mengetuk pintu. Terdengar suara Aqila menyahut dari dalam meminta papa membuka pintu yang tidak dikunci itu.

Aku hampir saja jatuh kalau mama tidak memegang bahuku. Karena saat pintu besar itu terbuka, aku melihat pemandangan paling mengiris di depanku. Aqila duduk di sebelah kepala Lian yang berbaring dengan kepalanya ia taruh di atas kepala Lian. Mata Lian terpejam sementara Aqila berwajah kusut khas orang khawatir saat orang yang dia cintai sakit.

”Bagaimana Lian?” tanya mama sembari berjalan menghampiri ranjang Lian.

”Panasnya belum turun, Ma. Tadi dokter sudah memberikan obat tapi dosis minumnya nanti enam  jam lagi. Lian sudah minum obat juga.”

Mama duduk di sebelah Aqila, mendesak posisi Aqila hingga ia pun berdiri.

”Jadi sejak pulang dari Bandung, Lian sudah sakit? Kenapa kamu baru memberitahu Mama tadi?”

Aku menutup mulut. Jadi, Lian bukan pergi bekerja tapi sakit. Siwi keterlaluan! Aku tidak tahu bahwa suamiku sedang tidak berdaya seperti ini.

Tapi dia punya seseorang yang penting di sampingnya, Siwi.

Dadaku perih. Benar. Aku bukan siapa-siapa. Tidak ada pengaruhnya bagi Lian aku tahu atau tidak keadaannya. Ketika berusaha memperbaiki pikiran yang mulai melankolis, pandanganku berhenti pada meja kecil di sebelah televisi. Ada dua frame di sana, masing-masing berisi foto Lian dan Aqila dengan senyuman bahagia di pesta pernikahan mereka.

Ya Tuhan. Aku ingin berlari dari tempat ini.

”WI!” Kudengar papa beteriak.

Tubuhku segera ditangkapnya. Kenapa kepalaku tiba-tiba pusing lagi?

”Siwi, lihat Papa. Kamu tidak boleh kehilangan kesadaran. Kamu tidak boleh lemah! Siwi!”

Kurasakan Papa membawaku dengan kedua tangannya berjalan. ”Kepala Siwi pusing, Pa, sedikit. Nanti pasti akan sehat lagi seperti kemarin.”

”Ada apa, Ma?”

Papa membalikkan badannya. Yang baru saja bertanya adalah Lian. Aku bernapas lega melihat dia bangun dari tidurnya.

”Siwi? SIWI KENAPA KAMU DI SINI?” teriaknya. Aku menyembunyikan kepalaku di pundak papa.

”Pa, bawa Siwi pulang. Siwi mau istirahat.”

Papa melangkah menjauhi kamar Lian. Kudengar Lian berteriak kepada mama. Aku menutup mata menahan getir di dada. Lian pasti marah melihat aku menginjakkan kaki di rumahnya.

”Maafkan Papa, Sayang. Kita pulang sekarang, nanti mama diantar oleh supir saja. Sekarang kita keluar dari sini.”

***

TBC

7 April 2020

Yang mau lengkapnya atau pakai ekstra part, kunjungi google play book aja di aplikasi playstore HP-mu masing-masing...

Di sana hanya dalam satu malam, bisa tamat riwayat si Lian hohoho.

Selamat menunggu dan jan lupa mampir ke cerita Kasev di wattpad: Ayla, Sayla, Zura, Pernikahan Singgah, Bitter Love.

Di  aplikasi dreame dan FREE dong tentunya: Status Gantung, Crazy Revenge, A Nur Kedua.
*Gak ada di google play. Justr gratis adanya di dreame. Empat part bisa diintip di wattpad kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro