[32] Kejutan untuk Siwi
Typo maklumi yaaah. Ngetiknya di hape. Ngeditnya gk teliti soalnya lagi mati lampu. Eeits..
Sediakan tisu kering yah. Jangan tisu basah.
🍁
🍁
🍁
🍁🍁🍁
Repost 2 April 2020
maaf semalam kasev nggak update...
happy reading dan siapin tisu
"Grace, kita bisa membebaskan kakak kamu!"
Perempuan dengan rambut coklat bergelombang itu menatapku dengan mata tak percaya. "Ibu Siwi bilang apa?" tanyanya memastikan pendengaran.
Aku menarik napas pendek, membebaskannya dan tersenyum kepada Grace. "Gara bisa kita bebaskan!"
"Ibu Siwi tidak bohong 'kan?"
Aku menggeleng. Mencondongkan tubuhku dengan menumpu kedua siku di atas meja kerja. "Kalau tidak percaya, sebaiknya kamu ikut saya bertemu Allan. Dia yang akan membantu urusan kita."
Gadis itu masih berusaha menguasai diri.
"Kamu harus ikut karena kamulah keluarga Gara satu-satunya, kamu yang bertanggung jawab nanti dalam proses pembebasan bersyaratnya."
"Tentu saja, Bu. Saya akan melakukan apa pun yang mampu saya lakukan untuk membantu kakak."
"Kalau begitu kita temui Pak Polisi Allan besok setelah kuliah terakhir. Dia akan menerangkan apa saja yang harus kita persiapkan."
Aku tiba di rumah mama mertuaku sekitar pukul lima sore. Papa juga baru sampai. Terlihat lelah di wajahnya ketika aku menyalami tangan beliau yang tengah duduk bersandar di ruang tamu.
"Baru pulang, Wi?" tanya papa dengan menegakkan tubuhnya. Aku pun duduk di bangku lain sebelah papa.
"Papa juga, ya."
"Masih lama mamimu di Bandung?"
Kugelengkan kepala. Mami tidak bicara apa-apa soal tanggal kepulangannya. Ini sudah beberapa hari mami di sana. Ketika akan berangkat, mami kelihatan berat hati meninggalkanku sendirian. Namun setelah sampai di sana, ketika berkumpul bersama keluarganya, mami mungkin melupakan kekhawatirannya. Meskipun mami selalu meneleponku setiap malam, menanyakan kabarku dan kandunganku, mami tak membahas soal kepulangannya. Padahal, jika hanya menghadiri acara pernikahan saja, dua atau tiga hari sudah cukup. Atau jangan-jangan, mami terlalu senang berjumpa keluarganya hingga ingin lebih lama tinggal di sana?
"Tidak apa-apa. Kami juga orang tuamu. Jangan takut sendirian, tinggallah dengan nyaman di rumah ini," ucap papa dengan wajah kebapakannya.
Telah lama sekali aku kehilangan sosok papi. Hari ini, hanya beberapa patah kata yang diucapkan Papa Juan, mataku memburam. Mengedip-ngedipkan mata untuk menghalau air yang terbit di sudut mata, aku mengangguk.
"Jangan anggap kami orang asing. Karena jika kamu menganggap kami bukan siapa-siapa, kami akan sedih. Papa dan mama ini adalah orang tua kedua kamu. Jangan canggung tinggal di sini. Ini adalah rumah Siwi."
"Boleh Siwi—" Aku menggigit bibir. Perlahan bangun dari tempat duduk dan berjalan dengan lutut mendekati papa. Di kaki papa, aku bersimpuh.
"Siwi merindukan papi. Siwi merindukan orang tua Siwi. Bolehkah Siwi memeluk Papa sebagai papa Siwi?"
Papa menyentuh bahuku, membuatku mendongak kepadanya. Kurasakan air mata menderas jatuh dari mataku. Papa mengusap kepalaku.
"Kamu tidak mengerti apa yang tadi Papa katakan?"
Aku diam menunggu papa bicara. Perlahan-lahan wajah papa terlihat mirip seperti papiku.
"Jangan anggap kami orang lain. Papa adalah papamu. Jika kamu merindukan papimu, datanglah pada Papa."
Dengan rindu yang menggunung, dengan kalimat demi kalimat yang papa ucapkan, menggeliatkan rinduku kepada papi yang telah tiada. Aku segera berdiri memeluk papa. Tangisku berderai di bahunya. Papa menepuk-nepuk punggungku. Mencoba bersabar dengan perangai cengengku yang tanpa malu-malu terisak di bahunya.
"Kalian membuat Mama iri."
Aku menjauh dari papa lalu duduk dengan baik di sebelah beliau. Kuusap mataku sebelum menatap mama yang berdiri di seberang meja.
"Ada acara apa memangnya?" tanya mama. Mama memperhatikan wajahku.
Aku menggeleng. Kini aku mulai menyadari sikapku yang sangat berlebihan tadi. Kenapa aku tidak tahu malu sekali memeluk papa mertuaku?
"Lihat menantu Mama! Papa harusnya tidak boleh membuat dia menangis. Dia sedang hamil, tak baik untuk anak yang akan lahir nanti."
"Tidak, bukan papa yang membuatku menangis. Siwi eehm tadi Siwi terharu dengan ucapan papa. Tiba-tiba Siwi merindukan papi Siwi."
Mama menggeleng-geleng. "Papa memang menyayangi kamu seperti sayangnya papi kepadamu," ujar mama padaku. Matanya menatap papa dengan penuh rasa sayang.
Aku merasa sendirian. Sejak dulu, papa dan mama memang sangat memuja satu sama lain. Cinta yang mereka miliki terlihat mengelilingi dan mengikat mereka dengan begitu kuat. Bisakah aku seperti mereka?
Mama menggeser tubuhku hingga tubuh sampingku bersinggungan dengan papa. Mama duduk di sebelahku, menjadikan posisiku berada di tengah-tengah mereka.
"Mama ingin Siwi tinggal di sini terus bersama kita."
"Siwi sudah punya suami, Ma. Mana mungkin kita mengambilnya dari anak kita sendiri," bantah papa.
"Pratiwi bilang, nanti kalau Lian kerja, Siwi tinggalnya di sini."
Aku cukup terkejut karena hubungan persahabatan mami dan mama sepertinya sangat pekat dari hubunganku dengan anak mama. "Mami yang bilang begitu?"
"Kalau bisa sih kalian tinggal di sini. Kalau waktu Lian sama kamu, dia yang ke sini. Tak usah tinggal di apartemen."
"Tapi, Ma—" Sepertinya mama tidak menyadari keruhnya hubunganku dengan suamiku. Sebaiknya aku tidak memberitahukan masalah ini kepada mama. "Kurasa mami sangat senang berada di tengah-tengah keluarganya hingga lupa pada anaknya."
"Dengar, itu Pa. Siwi ini anak mami, jadi jangan coba-coba membuatnya sedih," ucap mama kepada papa dan membuat papa tertawa.
"Kalau mamimu melupakanmu, kami akan ambil kamu darinya. Katakan seperti itu kepada Pratiwi," kata papa.
Ah, berada di tengah-tengah mereka membuatku merasa hangat. Kasih sayang mereka terasa tulus.
"Siwi milik anakmu, Pa. Jangan lupakan Lian."
Sanggahan mama membuatku terdiam. Kenapa mama harus membahas Lian lagi?
***
Sore ini aku dan Grace telah tiba di restoran tempat janjian kami dengan Allan. Lelaki berbadan tegap itu belum menampakkan dirinya setelah aku menghabiskan satu gelas jus jeruk. Kurasa Allan masih ingin menunda-nunda urusan ini sehingga dia tidak menganggap penting pertemuan kali ini.
Dasar, pembohong! Kemarin dia bilang akan membantu. Tapi lihat, dia melupakan janji.
"Ibu Siwi, awas nanti piringnya pecah," bisik Grace setelah memukul bahuku. Kulihat isi dalam piringku memercik ke lengan baju akibat hantaman sendok yang kulakukan di atas piring itu. Aku tidak menyadari kalau saja Grace tidak mengingatkan.
"Mana sih polisi itu?"
"Mungkin macet, Bu. Palembang juga bisa macet seperti kota besar di jam-jam pulang kantor seperti ini," ucap Grace terasa menenangkan buatku.
"Saya pikir dia sengaja tak datang. Dia sepertinya enggan membantu Mas Gara."
Grace mengangkat bahunya. Lalu dia menyesap matcha-nya. "Kita tunggu saja Pak Allannya. Kita baru duduk lima belas menit kok. Belum terlalu lama."
Aku yang terburu-buru. Kemarin Allan memberitahuku kalau Gara bisa mengajukan bebas bersyarat. Masa kurungannya saat ini sudah melebihi dua pertiga masa hukumannya secara keseluruhan. Tak terasa, sudah lama juga Gara terkurung. Aku saja sudah mengalami berbagai masalah dalam hidupku semenjak membawa pulang gaun pengantin Aqila. Hari dimana semuanya bermula, aku kehilangan sepeda motorku dan Gara dipenjara. Setelah dua bulan dia ditahan, aku menikah menggantikan Aqila. Kehidupannya di dalam sana, mungkin monoton tidak sepertiku yang bergelombang dengan bermacam warna kehidupan.
"Sudah lama di sini? Maaf aku terlambat," seru Allan langsung duduk di sebelah Grace. Sebelum duduk, dia tersenyum sebentar menyapa gadis itu.
"Ibu Siwi hampir membuat piringnya menjadi dua atau tiga bagian," ucap Grace memberikan kode kepada Allan agar melihat kepada piring makananku yang tampak berantakan. "Jangan membuat ibu hamil kesal, Pak," peringatnya kepada lelaki itu.
Allan menggaruk-garuk pinggangnya. Dasar polisi jorok! Kesibukankah yang membuat Allan melupakan kebersihan jasmani?
"Aku langsung saja, ya," ucap Allan kini kelihatan serius.
Aku menarik napasku perlahan. Merasa debaran mulai melanda. Harapanku terlalu besar untuk ini. Aku ingin sekali mengeluarkan Gara. Dengan begitu, Ibu Wimeka dan Grace pasti akan merasa senang.
"Sebenarnya, Gara bisa saja mendapatkan remisi. Remisi diberikan Negara kepada warga binaan yang baik. Yang tidak membuat masalah selama menjalani hukuman. Biasanya Negara memberikan remisi saat tujuh belas Agustus atau hari besar agama."
"Lalu bagaimana kalau kita ingin membebaskan Gara sebelum Agustus?" Kurasa menunggu bulan Agustus atau hari besar agama, sama saja bohong. Gara selesai menjalani masa hukuman sekitaran bulan itu.
"Dengan mengajukan pembebasan bersyarat atau cuti bersyarat ke lapas atau Kanwil Menkumham." Allan mengetuk-ngetuk jemarinya di meja. "Kamu tidak memesankan minuman untukku?"
Aku segera berdiri untuk memesankan minuman untuk Allan. Dia tertawa kecil melihat semangatku lalu menggeleng. "Tak usah, aku belum haus kok."
Aku duduk kembali.
"Apa yang harus saya siapkan untuk proses kebebasan kakak saya, Pak?" tanya Grace mengambil alih pertanyaan.
Allan menjelaskan dengan bertahap apa yang harus Grace urus. Kami mendengarkan penjelasan Allan dengan saksama. Ada satu dua kalimat yang kurang Grace pahami hingga Allan harus mengulangi dengan bahasa yang mudah dipahami.
"Bulan lalu, tepat sepuluh bulan masa binaan Gara. Sebenarnya bulan itu bisa saja diurus. Sebab pembebasan bersyarat bisa dilakukan ketika dua pertiga masa hukuman."
Aku ingin mengatakan, "Dasar kamu saja yang pelit melakukannya. Padahal aku sudah sering meminta bantuan." Tapi aku hanya mengucapkan, "Yang penting Gara segera bebas," dan tersenyum kepada Allan sebagai bentuk ungkapan terima kasih.
***
Hari demi hari berlalu. Setelah mengatakan bahwa Gara menjalani hidup yang monoton, kini akulah yang merasa hidupku berwarna hitam dan putih. Tanpa warna, membosankan. Ada kalanya aku merindukan suamiku. Dia tidak pernah datang ke rumah ini, rumah orang tuanya sendiri. Mungkin dia tahu aku berada di sini sehingga enggan bertemu denganku. Tapi ada juga rasa takut. Jika aku melihatnya, mungkin aku akan menangis jika dia pergi lagi. Lebih baik seperti ini, aku hanya mengingatnya sesekali.
Karena perasaan rindu itu, kurasa tadi malam aku bermimpi Lian tidur di sebelahku. Mungkin aku juga menangis sehingga hidungku pun bermasalah. Masak hidungku mencium parfum yang biasa Lian gunakan melekat di bantal yang kosong pagi ini. Kusingkap selimut dan meregangkan tubuhku. Oh, pagi ini tidak ada morning sickness.
"Kamu memang anak yang baik." Kuusap perutku yang kini mulai berubah. Yah, sedikit lebih terlihat daripada lemak yang biasanya mengganggu mata. Kini aku tidak kesal lagi karena biarpun aku nanti gendut, itu bukanlah lemak jahat. Tapi buah hatiku. Desiran hangat mengaliri darahku.
"Mandi dulu yuk. Hari ini Mama libur. Kita mau kemana hari ini, Sayang?"
"Temani Mama terus ya, Sayang. Nenekmu sepertinya telah melupakan kita. Lihat saja, kalau nenek pulang, kita akan balas dia. Mentang-mentang sekarang sudah bertemu dengan kakek buyutmu, nenekmu melupakan Mama."
Sambil mengobrol macam-macam seperti orang gila, aku pun selesai merapikan diri. Baju terusan polos berwarna abu-abu serta hijab hitam mengurung tubuhku dan terasa nyaman. Aku harus segera ke bawah dan ikut sarapan bersama mama papa.
Papa Juan tengah menikmati sarapannya ketika aku tiba di meja makan. Mama sedang berada di dekat kompor, mengaduk-aduk sesuatu di dalam panci. Duduk di tempat biasa, kulihat makanan yang telah dimasak mama pagi ini. Ada nasi goreng dengan cabai hijau. Segelas susu cokelat, pasti untukku, dan burgo. Papa memilih burgo sebagai sarapannya. Kupikir aku lebih mengharapkan rasa pedas nasi goreng dibanding gurihnya burgo itu.
"Mama sudah selesai sarapannya?" tanyaku kepada papa.
"Belum," jawab papa tanpa mendongak.
"Ini piring bekas siapa?"
"Ouh, Niza tadi numpang sarapan di sini. Katanya lagi ngidam, anak kedua lho," jawab mama yang membawa semangkuk sambal lalu duduk di sebelah papa.
"Niza siapa, Ma? Tetangga kita?"
"Anak bungsunya Lina, istri Om Azzam masak kamu tidak kenal?"
Aku manggut-manggut. "Mbak Lafila, ya?"
"Iya, dia. Eh kamu cepat habiskan sarapannya. Habis itu, kita ke rumah sakit. Cek kandungan dan minta surat rujukan dokter untukmu," jelas mama.
Aku menyanduk satu sendok nasi goreng ke piring. "Rujukan untuk apa, Ma?" Tiba-tiba perasaanku jadi tak tenang. Jantungku mulai berdebar lebih cepat.
"Untuk naik pesawat. Ayo cepatlah, kita harus segera sampai di Bandung."
Sebelum aku masuk ke dalam ruangan pemeriksaan, eskpresi mama berubah. Mama kelihatan murung. Mama terduduk di bangku depan meja dokter dengan tangan merangkum wajahnya. Ada apa dengan mama?
Setelah melakukan pemeriksaan, aku menghampiri mama. Beliau memeluk pinggangku yang berdiri di sebelahnya. Dokter memberikan suratnya kepada mama. Mama segera menarik tanganku keluar dari ruangan itu setelah memgucapkan terima kasih kepada sang dokter wanita itu. Perasaanku semakin tak enak.
"Papa ikut juga?" Setelah tiba di airport, sudah ada papa dengan satu buah koper besar. Mama mengangguk.
Aku duduk dengan mama di dalam pesawat. Setiap sepuluh menit, Mama menciumi kepalaku dan berkata, "Mama bersama Siwi." Ketika kutanya memangnya ada apa, mama menjawab, "Mama sayang Siwi."
Menghalau perasaan tak enak, aku memejamkan mataku. Penerbangan selama lebih dari satu jam akhirnya berakhir. Pesawat tiba di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Ada mobil jemputan yang menyambut kami di bandara. Mama memegang tanganku masuk ke mobil, sementara papa duduk di bangku depan di sebelah supir. Mama merebahkan kepalaku di kepalanya, mengusap kepalaku dengan lembut, dan sesekali melabuhkan ciuman dari balik hijabku.
"Kita akan kemana, Ma? Menemui mami?" tanyaku dibuat semakin penasaran. Tidak ada kata terucap dari bibir mama maupun papa akan tujuan kami saat ini. Sejak tadi ketika kutanya, mereka hanya bilang Bandung tanpa penjelasan yang lebih spesifik.
"Mama mencintai Siwi. Siwi bukan orang lain. Kamu seperti anak kandung mama dan papa. Jangan anggap kami orang lain, walau kamu sangat tersakiti oleh anak kandung mama dan papa, ya Sayang?" ucap mama sebelum kami turun dari mobil.
Aku mengangguk tak paham. Setelah keluar dari mobil dan berjalan sedikit, sampailah kami di depan pintu rumah bertingkat dua ini. Mama memegang tanganku. Terasa tengah menyalurkan kekuatan lewat sentuhan itu. Mama mengucapkan salam.
Beberapa kepala dengan kerudung hitam dari tamu di rumah itu menoleh kepada kami. Tatapan mereka waspada. Aku menerka-nerka, siapakah yang terbujur di tengah-tengah itu? Siapakah yang meninggal itu?
"Siwi." Seorang pria tua dengan baju koko putih memakai peci berwarna hitam mendekati kami.
Dia ini bukankah pamannya mami? Kalau begitu, dia kakekku? Aku menyalami beliau dengan mencium punggung tangannya. Kakek mengusap kepalaku ketika aku menunduk.
"Ayo, Nak." Mama mengajakku ke tengah-tengah ruangan dimana jenazah disemayamkan. Pelan dan ragu aku ikut saja ketika tanganku dihela mama dengan lembut. Papa telah bergabung dalam kumpulan bapak-bapak bersama kakekku.
"Mama bersama Siwi," ucap mama meremas jemari tanganku dalam pegangannya.
Kami bersimpuh di sebelah jenazah yang tertutup kain panjang. Mama berniat membuka penutup kepala jenazah. Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Aku menahan tangan mama sebelum mama menyingkap kain putih tersebut.
"Mama, kenapa kita datang jauh-jauh melayat ke Bandung?" tanyaku menelan saliva.
Lalu mama menangis. Bahkan mama meraung sambil memelukku. Seseorang menjauhkan mama dariku. Menarik mama dari kerumunan ibu-ibu yang sedang membaca yaasin untuk jenazah.
Aku semakin penasaran. Jantungku berdegup lagi, sungguh aku tidak punya clue sama sekali. Pelan-pelan kuulurkan tangan untuk membuka kain penutup. Sementara itu, perasaanku semakin tak keruan. Menutup mata sejenak lalu kubuka bersamaan dengan tanganku yang telah menurunkan kain putih dari wajah jenazah. Aku bisa melihat wajah cantik itu. Memejamkan mata dengan bibir pucat.
Aku menutup kembali wajah jenazah dengan kain. Mundur sedikit untuk menatap orang-orang di sekitarku. Mereka semua berhenti membaca, menatapku mungkin karena penasaran menantikan reaksiku. Papa berkaca-kaca menatapku.
Aku menggeleng. Tidak. Aku tadi hanya salah lihat. Itu bukan mami. Bukan. Itu bukan mami. Mamiku tidak sepucat itu. Mamiku bukan orang pendiam. Tidak mungkin mami mau dilihati orang saat tidur. Mami tidak mungkin diam saja melihat aku datang. Mami pasti akan memelukku. Bertanya kabarku dan cucunya.
"MAMI MANA, KEK?!"
Papa berlari kepadaku. Aku segera menghampiri orang yang mirip mami. Kubuka penutup wajahnya. "BUKAN MAMI! MANA MAMI??!!"
Papa menghelaku dalam pelukannya. "Tenang, Nak. Doakan mami, ya," bisik papa memantrai telingaku.
Aku memberontak tapi tak bisa. Papa memelukku dengan kuat. "MAMI TIDAK MUNGKIN MENINGGAL!! MAMI BERJANJI AKAN PULANG. MAMI BERJANJI AKAN MELIHAT ANAK SIWI LAHIR!!"
"Innalillahi wainna'ilaihi raji'un, ucapkan, Sayang. Ayo, kita doakan mami." Papa mengusap-usap kepalaku.
"Pa. Itu benar Mami? Bukan 'kan? Siwi kebanyakan menangis tadi malam? Sepertinya Siwi salah lihat, Pa."
***
TBC
22 March 2018
Dalam rinai hujan di malam nan kelam. Mati listrik eeeuy di tempat KaSev. Banyak nyamuk.
Kangen Lian, nggak?
Sabar yaaah. Part depan. 😘
Selamat menunggu part depan, yang ....
Byeeeh, sayang kalian semua....
WindSevyent
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro