Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[30] Awal Sepasang Luka

Maaf yah, emak-emak, tante-tante, mas-mas, om-om, dan adek-adek tercintah. Maaf.

Aku upayakan halus yah, KASev masih amatieur bikin yang terselubung-selubung.

Maunya nggak pakai yang ini, tapi momennya nggak dapat kalau bukan lagi nganu ini. Maaf.

Happy reading deh ya.

🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁

18+ Yang belum punya KTP, minggir!


happy reading... 

Kuhapus cairan yang terbit dari mata. Sejak tadi ia menghalangi pandanganku kepadanya. Gigitan pada bibir kulakukan agar tidak mengeluarkan suara aneh. Sesekali aku memejam, melawan perih di hati. Bukan. Bukan pada hal yang tengah dia lakukan terhadapku. Dia tidak menyakitiku secara fisik. Justru karena dia terlalu lembutlah yang membuatku menangis.

Tanganku yang lain mencengkeram punggungnya kuat-kuat seperti juga yang sedang dilakukan 'diriku' yang lain terhadapnya. Kurasakan kukuku menancap di kulitnya. Dia tidak menyadari. Dia membuatku berteriak. Setelah itu aku menggeleng untuk menjernihkan pikiran.

Ini semua harus kuhentikan.

Kini tangannya yang mengusap air mataku. Kemudian dia menyentuh mataku dengan bibirnya membuat mataku dengan refleks menutup. Dia menciumnya bergantian. Setelah itu, dia kembali menjadi penontonku atas apa yang tengah dia lakukan terhadapku. Sesekali tangannya mengusap rambutku hanya untuk membuatku merasa rileks.

Aku menelan saliva dengan susah payah. Mataku kini menatap jelas ke dalam bola matanya yang berkabut. Hingga saat ini aku tidak tahu apa yang dia pikirkan atas diriku. Mungkinkah hanya ini yang dia inginkan?

"Apa kamu ingin membuatku hamil?" tanyaku dengan sedikit lancar.

Dia terdiam. Berhenti sambil memandangku. Mengistirahatkan dirinya di dalamku.

"Atau ingin mencelakaiku?" tuduhku. Bagaimana jika nanti kandunganku cedera?

Dia tidak menjawab lantas melanjutkannya. Dia membuatku harus berpegangan kepadanya agar tetap kokoh. Aku benci diriku. Dia membuatku dahaga akan hal yang tidak dapat kumengerti. Bahkan aku tidak pernah tahu ternyata aku bisa merasakannya. Keinginan yang asing.

Dalam kesemrawutan pikiran yang banjir oleh oksitosin aku mulai berbicara. Aku menampar pipinya untuk meminta perhatian. Tapi harus terkejut karena dia mengartikan berbeda. Reaksinya pun berkebalikan. Kedua tanganku terpaksa mencari-cari pinggiran sofa untuk kujadikan pegangan saat dia mencari semakin dalam.

Dia membawaku jatuh ke jurang terdalam, gelap, bergema, hingga dia memaksa menyeruak ke dasar. Aku berusaha menggapai tepian hingga tanah yang kucengkeram bergetar membuatku mengejang lalu jatuh dan pecah menjadi buliran. Tiada bertenaga.

Aku menolak dadanya hingga dia membebaskanku dari kungkungan tangannya. Dia segera mamakai celananya lagi. Ketika itu, aku tidak berani melihat kepadanya. Aku menunduk dengan memainkan kesepuluh kukuku. Melihat-lihat kuku yang sedikit panjang. Sesekali mengintip bagian punggungnya yang merekam jejak kukuku.

Setelah dia selesai dengan dirinya sendiri, dia menurunkan rok gamisku menutupi kaki. Aku terkejut dan menyesal karena tidak ingat dengan kondisiku sendiri. Dia membantu memasukkan tanganku ke lengan baju. Dia tarik resleting bagian depan bajuku hingga aku rapi kembali. Semua itu dia lakukan dengan sangat cepat.

Aku menurunkan satu per satu kaki ke lantai. Duduk pada sisi paling ujung sofa yang menjadi saksi mati peristiwa tadi. Mengerti dengan batasanku, dia diam di sisi paling ujung.

"Tidak perlu menunggu satu bulan," mulaiku membuka buku kasus kami. "Kamu sudah bisa kembali kepadanya."

Dia mematung.

"Apakah karena ini yang kamu inginkan makanya kamu membuat ulah?" Dia menuduhku. "Pergi malam tanpa mengucapkan apa pun. Kamu temanku. Kamu tanggung jawabku selama menikah denganku. Kemana pun kamu pergi, baik itu sendiri atau bersama orang lain, jauh atau dekat, kamu harus memberitahuku."

"Apakah itu masalahnya sekarang?" Aku menyandarkan tubuhku. Menaikkan kakiku setelah melipatnya ke atas sofa, menyembunyikannya ke dalam kain pakaianku yang cukup tebal.

"Lalu apa?" tanyanya dan membuatku berdeceh.

"Aku sudah hamil."

Dia terkejut. Aku tertawa miris. Masih pura-pura rupanya.

"Kalau begitu, pulanglah pada istrimu. Kamu masih menyisakan waktu satu bulanmu beberapa hari lagi. Lebih cepat kamu kembali membuatmu 'bahagia' lebih awal," ucapku yang bermaksud menyindir ucapan istri kesayangannya. "Padahal aku tidak pernah memaksamu tinggal denganku," sambungku. Kuatur napas agar tetap terjaga ketenangannya.

"Itu maumu, tentu saja." Dia juga bicara dengan nada menyakitkan.

"Aku akan membesarkan anakku sendiri."

"Bullshit! Kamu tidak bisa melakukannya sendirian!"

Dadaku bergemuruh oleh kemarahannya. "Tenang saja aku masih punya hati. Aku akan bawa anakku menemui mama. Mama tidak akan kehilangan cucunya."

"Cucunya kamu bilang lalu kenapa kamu istilahkan dia dengan kata 'anakku', secara tidak langsung kamu berkata dia hanya anakmu. Sementara mama adalah ibuku, jika anak itu adalah cucunya, kamu juga mengakui kalau dia anakku. Jangan berkelit, Siwi."

"Terserah kamu saja. Kamu juga hanya menganggap aku teman, teman tidur? Jadi apa pun yang terjadi kepadaku, aku hamil, menjadi milikku sepenuhnya."

Dia bergerak, memutar duduk hingga kini menghadapku. "Kamu berburuk sangka," ucapnya dengan menggertakkan gigi.

"Lalu yang tadi apa?" Aku memijat pelipis yang berdenyut.

"Kamu menerimanya dengan baik, Siwi. Jangan membual! Kamu tidak pernah menolak!" tegasnya.

Aku terhenyak. Mau disangkal berapa kali pun, apa yang dia katakan tetaplah benar.

"Kamu hanya menginginkan tubuhku saja, bukan? Ckckck... padahal kamu bisa mendapatkan semua itu dari orang lain. Kenapa aku harus dimasukkan ke dalamnya?"

Aku ingin bersembunyi.

"Kamu ingin mendengar kejujuran atau tidak? Kurasa kamu ingin berlomba mengadu hati siapa yang paling kuat. Okey, aku akan layani."

Dia maju hingga ujung lututnya menekan paha kiriku. Aku tidak bisa bergerak karena terhalang lengan sofa.

"Ingat malam sebelum kamu memutuskan hubungan kita waktu itu?" Dia memelintir rambut di bagian pelipis kiriku. Sesekali ujung jemarinya menusuk telingaku. "Malam di saat pertama kali aku mulai menginginkanmu," ungkapnya jujur.

Sampai di sini, penjelasannya membuatku terkejut. Dia tidak pernah mengatakan hal itu. Tidak pernah membahasnya.

"Hitung berapa lama itu," ucapnya dengan tangan menelusuri bibir luarku. Kusingkirkan tangannya. Kepalaku tidak berani menoleh ke arahnya karena dia berada dekat sekali. "Kamu dan aku waktu itu masih remaja," jelasnya.

Aku menahan bongkahan batu yang mengimpit. Rasa sesak di dada membuatku kesulitan bernapas. Sementara itu laju jantungku semakin liar bergemeletuk.

"Aku menginginkanmu sejak itu," bisiknya setelah menyibak rambut yang menutupi telingaku. "Kamu menginjak egoku saat itu. Setelah kamu tolak, kamu usir, lalu kamu putuskan semaumu sendiri! Tubuh ini milikku," bisiknya. Ujung jari telunjuknya dia jalankan dari keningku semakin turun ke bawah. Dia berhenti di bagian feminimku. "Sudah kubilang jangan pernah lari dariku. Apalagi sampai menolakku seperti pecundang."

"Pulang dan pergi denganku. Kalau kamu menolak, lihat apa yang akan kulakukan dalam kehidupan sekolahmu yang sekarang."

"Aku tidak terima sebuah penolakan, Istriku. Tapi kamu berkali-kali melukai egoku. Kamu melawan kepadaku." Dia berhenti sejenak. "Aku sangat menginginkanmu, sangat dan sangat. Aku bahkan menurunkan egoku untuk mendapatkanmu. Kamu memang wanita yang paling beruntung."

"Kamu sangat menjijikkan. Aku angat membencimu!"

Dia menyentuh perutku. Dielusnya perlahan-lahan. "Tapi di dalam sini ada benihku, orang yang kamu sebut menjijikkan itu."

Aku melemparkan tangannya dari tubuhku. "Jangan pernah menyentuhku!"

Dia tertawa mengejek. "Aku tahu kamu juga sangat senang 'bermain-main' denganku. Jadi, telan lagi kata-katamu barusan, Istriku."

"Kamu tidak pantas menyebutku istrimu kalau kalimat-kalimat yang kamu ucapkan itu menyakitkan hati dan melecehkanku!"

Dia tertawa dengan keras. Bahunya berguncang. Sofa yang kami duduki juga ikut naik turun oleh tubuhnya yang berat.

"Apa? Melecehkan? Kamu tidak salah bicara 'kan? Lihat-lihat." Tangannya kurang ajar di balik rokku.

Aku berdesah. Sial.

"Itu yang kamu sebut melecehkan?" Dia tertawa. "Aku akan pergi. Tapi akan kembali suatu saat kamu merindukanku, Istriku."

Kata 'istriku' kehilangan keajaiban karena merobek-robek hati. Melukai sisi paling lembut.

"Lian!" panggilku saat dia akan berjalan menuju pintu. Aku menelan air ludah yang terasa pahit.

Dia berbalik.

"Aku ingin bertanya."

Dia berdiri dengan memasukkan tangan kanannya dalam saku celana.

"Apakah aku yang pertama untukmu?"

Dia sudah terlihat bersahabat. Matanya kini seperti Lian yang biasanya. Bukan Lian yang tadi menjadi bejat.

"Kamu ingin jawaban bohong atau jujur?" tanyanya.

"Bohong." Aku mengembuskan napas bersiap mendengar hal paling menyakitkan sebentar lagi.

"Bukan." Dia keluar. Dia pergi tidak menoleh lagi.

"Bohong." Aku menggigit bibir, entah kenapa air mataku mengalir. "Aku ingin kamu bohong, Lian. Aku ingin dengar jawabanmu yang bohong."

Air mataku melaju dengan derasnya. Kenyataan itu benar, dia sudah melampaui batas dengan kekasihnya. Aku bukan yang pertama untuknya. Kenapa dia tidak berbohong saja?

Ya Tuhan. Selesai. Selesai.

***

Repost 30 maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro