Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[24] Lezya Siwi Aurora

Hay hay, kalau kemarin sudah agak tenang ketemu Pak Allan. Kali ini, siapkan hati bertemu Kak Lian kecintaannya Siwi 😁😁

SARAN,,, YANG MAU UDAHAN BACA SIWI DIPERSILAKAN KARENA CERITA INI AMAT PANJANG DAN MELELAHKAN.  KARENA KALAU DITERUSIN KALIAN AKAN LEBIH SERING MENGUMPATI PARA TOKOHNYA.


TAPIIIII... HERO KALIAN AKAN MUNCUL KOK... SABAR YA. HAPPY READING.



"Hey, kamu tidak bisa tidur?"

Suara Lian memutus perang batinku. Aku membalikkan badan dan langsung bertemu dengan manik hitamnya. Segera kutatap ke arah lain. Ia menyentuh keningku, menarik garis melintang dari bagian atas perantaraan kedua alis hingga ke ujung yang kanan.

"Ini ada kerutannya. Kamu sedang memikirkan apa?"

Aku menutup mata, berharap pikiran itu segera pergi hingga aku tidak perlu mengutarakannya. Saat membuka kelopak mata, Lian masih menatapiku. Bola mataku bergeser ke arah lain menghindari kontak mata.

Dia tertawa kecil. "Hey, Istri, kamu kenapa?"

Susah sekali. Aku tidak bisa melenyapkan rasa ingin tahuku. Pun terlalu pengecut untuk bertatapan dengannya. Lalu aku harus mulai dari mana?

"A-Eeeuhm, a—"

Sementara itu, Lian sudah menunggu dengan sisa-sisa senyuman.

"Kamu selalu menurut apa kata Qila." Aku memulai.

Dia tidak bereaksi. Itu pertanda dua hal. Kalau dia mengangguk, hatiku akan mencelos. Namun jika menggeleng, sudut hatiku akan tersenyum. Terjemahannya, dia tidak selalu menuruti istri keduanya. Aku menelan saliva yang terasa kering. Kukayuh hingga tenggorokanku basah lagi.

"Kamu tidak eeuh maksudku kamu tidak—"

"Lezya Siwi Aurora," potongnya mengingatkanku pada peristiwa talak waktu itu.

Sentimental menyelubungi hati meninju kepala. Mendung mulai melingkupi mata. Hanya karena dia menyebut nama lengkap seperti Subuh itu. Ketika kalimat talak menggunting pertalian kami. Aku melupakan pertanyaan tadi. Keseluruhan kepalaku dipenuhi oleh kalimat-kalimat talak, "Lezya Siwi Aurora. Siwi, aku ceraikan kamu dengan talak satu."

"Siwi!" serunya khawatir. "Kenapa menangis?"

Bodoh sekali. Aku bertahan hanya untuk disakiti. Bersamanya kupikir bahagia. Berpisah pun membunuhku menjadi serpihan. Api-api yang dulu hanya percikan, kini berubah menjadi neraka panas. Jika aku melepas tangannya, api itu melenyapkanku menjadi abu. Jika aku bersamanya, pendar hangatnya mampu menenangkan jiwa. Namun, jika aku tidak hati-hati, kakiku akan tergelincir dan terperosok ke dalam kobaran api.

Api menggatra cinta yang merupakan manifestasi setumpuk perasaan berbahaya.

"Istri, apa yang membuatmu menangis tengah malam begini? Ada yang kamu pikirkan?"

Aku tidak tahu. Saat dia melafalkan Lezya Siwi Aurora, memori menyakitkan pun memenuhi kepala. Tiga suku kata itu terdengar mengerikan. Kuingin nama lengkapku diganti agar kenangan Subuh dulu tak kembali.

"Namaku," ucapku dengan susah payah. Aku tidak menyadari bahwa efek tangisan tanpa sebab itu menyusahkan bicara. "Jangan ucapkan."

Lian bungkam. Aku tak kuasa meneruskan.

"Iya, namamu jangan aku ucapkan. Kenapa?" Dia bertanya selang beberapa waktu.

Tangisanku semakin deras. Aku kenapa? Sejak kapan melankolis begini? Dia memelukku. Menangis di tengah malam merupakan hal baru. Apalagi aku tidak tahu apa yang membuatku bersedih.

"Kamu lebih suka dipanggil Istri?" tanyanya.

Aku menggeleng. Itu menyebalkan. Panggilan itu menggelikan. "Jangan pang panggil na nam ma lengkapku," ucapku menyelesaikan maksud yang tidak sampai-sampai.

"Lezya Siwi Aurora?"

Aku mendorongnya. Sekelebat bayangan saat dia menceraikanku melintas cepat.

Saat dia pergi lagi, sanggupkah aku berdiri sendiri? Tuhan, kenapa memberikan sebuah rasa jika aku tak bisa merasa memiliki dan dimiliki? Benar kata orang, menikahlah dengan orang yang mencintaimu bukan dengan seseorang yang kamu cintai.

Dalam kasusku, cinta hadir setelah aku menikah. Haruskah kutolak saat rasa itu hadir? Bagaimana bisa aku memblokirnya jika jiwa dan ragaku telah kuserahkan untuknya? Salahkah aku memakai perasaan? Semua salah hormon, yah, oksitosin yang berkuasa membuatku mencintainya saat pertama kali dia menyentuhku. Sementara percikan api dimulai jauh sebelum itu. Semua bersatu padu menguasai perasaanku.

"Siwi, kamu tahu kenapa aku memanggil namamu, lengkap?" Dia bicara sendiri. Sepertinya aku tidak perlu menjawab. "Itu nama yang sangat indah. Indah diucapkan dan indah didengar." Dia terdiam. Tangannya mengelus rambutku bagian belakang.

"Katamu papi yang memberikan nama. Aku pikir papi mempunyai jiwa estetis yang sangat tinggi. Tapi kalau kupikir lagi, bukan hanya karena jiwa estetis papi tapi karena kamunya. Namamu cocok denganmu. Nama yang cantik untuk orang yang cantik. Aurora. Kamu pernah melihat aurora?" Dia memberikan jeda tapi aku tidak ingin bicara. Aku masih ingin mendengar dia bercerita.

"Aurora sangat indah. Aku ingin membandingkan lebih cantik yang mana, Siwi Aurora atau Aurora Borealis," ucapnya dengan menyelipkan tawa di ujung kalimat karena menyebutkan nama peristiwa alam di Alaska. "Aurora yang kupeluk inilah paling cantik. Euhm tidak tahu beberapa bulan atau tahun mendatang," ungkapnya dan itu membuatku sadar diri. Dia hanya menghibur. Menghibur. Baginya, Aqila segalanya.

"Karena itulah aku suka memanggil nama lengkapmu. Tapi kalau kamu tidak suka, mungkin Istri lebih cocok. Hanya supaya orang tahu, Siwi sudah menjadi istri orang. Bukan single seperti dulu."

Ia memegang bahuku lalu menjauhkan wajahku untuk ia lihat. Dia membuatku tidak bisa menghindar dari tatapannya. Terlebih dia menyentuh kedua pipiku hingga aku kaku.

"Sedihnya sudah hilang belum?" tanyanya. Aku menjawab dengan mengedipkan mata seperti orang sakit karena dia memegangi kedua wajahku.

"Istri, kamu eum makanan yang paling ingin kamu makan. Kamu tidak menginginkan sesuatu semacam itu?" Dia bertanya setelah diam cukup lama. Kali ini tidak memegang wajahku hingga aku bisa berbaring menghadap ke atap, menatap lurus ke atas sedangkan tadi menyamping ke arahnya.

"Begini saja, kamu tadi pulang dengan siapa? Mengajak seseorang temani cari makan?"

"Kenapa kamu bisa tahu?"

"Yah benar. Aku tidak tahu, aku hanya bertanya. Kalau begini bagaimana? Kamu jangan pinta orang lain menemanimu tapi aku. Hilangkan sungkan, kamu itu istriku. Tadi aku memesankan bakso bakar untukmu karena kamu dulu sangat menyukainya. Sayangnya tadi kamu bilang tidak lapar."

Aku suka kekenyalan bakso yang dipanggang dengan taburan bawang goreng. Oh tidak, aku lapar di tengah malam. Beringsut mundur, aku membelakanginya. Kedua tanganku membelai sayang permukaan perut yang kerontang. Menjemput ingatan sesiangan tadi, ternyata aku belum mengonsumsi nasi. Jelas perutku merana ingin diisi makanan.

Jantungku Tuhan, selamatkan jantungku. Efek lapar atau bukan yang penting jangan buat aku menggigil dan berdebar bersamaan. Ya ampun, tidak bisakah Lian mengondisikan tangannya? Kenapa harus memelukku dari belakang? Dan apa yang dia lakukan? Aku tidak bisa bernapas kalau dia seperti ini. Kenapa wajahnya di leherku? Dia tahu aku menggigil karena dia menyentuh tanganku dan merangkum dengan tangan besarnya yang hangat.

Semua kekesalanku kepadanya kemarin-kemarin rontok tak bersisa.

"Tidak boleh memunggungi suami," ucapnya mengingatkanku.

Iya perkara itu, aku ingat. Aku berbalik kepadanya.

"Aku ingin makan bakso bakar."

***

Lian. Lian. Lian. Aaaaaah dia selalu memecahkan konsentrasiku begitu saja. Dia membuat aku lupa apa yang harusnya aku katakan. Tadi malam harusnya aku bicara tentang semua yang ingin kutahu. Tapi aku kalah oleh sogokan bakso bakar. Aku benar-benar kalap hingga menghabiskan sembilan tusuk bakso. Itu kumakan pukul satu dini hari. Siap-siap saja, lemak semakin meraja lela. Lihat, lipatan lemak di perutku akan semakin jelas. Ini semua gara-gara bakso bakar sogokan.

Harusnya aku sudah tahu kenapa dia....

Satu hal yang membuatku bingung, Lian berubah. Dia tidak seperti Lian yang dulu. Dia seperti menjaga jarak tapi tetap dekat. Bagaimana mengatakannya, ya? Bukankah Aqila menyuruh Lian tinggal di sini? Aqila yang menyuruh kami rujuk. Aku bingung. Maksudnya... jangan tertawa, jangan tertawakan aku! Maksudku, kalau Aqila meminta Lian untuk di sini agar dia eeuh ya ampun aku tidak sanggup mengatakannya. Sungguh.

"Istri! Kenapa susah tidur lagi? Kamu pasti punya masalah. Ayo ceritakan apa itu!" Lian membombardirku, membuatku beringsut menjauh. Dia berdecak. "Kamu ingin makan sesuatu lagi?"

Aaah Lian sialan, aku tidak akan mau disogok makanan lagi! Aku harus tanya kepada Lian, harus.

"Tidur."

YA Tuhan! Hanya itu yang berhasil kuucapkan. Harusnya aku bertanya, kenapa Lian hanya tidur, hanya tidur di sebelahku? Tidak melakukan hal lain? Bukankah dia rujuk denganku atas suruhan istri mudanya yang menginginkan aku menjadi ibu? Bukan karena aku ingin, ini murni karena penasaran. Tapi menanyakan hal itu, rasanya bagai menjatuhkan seribu jarum ke kepalaku. Memalukan dan menyakitkan mendengar jawabannya nanti.

"Kamu menggigil lagi." Lian kembali menyentuh tanganku.

Memang benar. Aku sering merasa dingin tidak seperti biasanya. Kupikir itu karena adanya Lian—karena aku takut kepadanya—ternyata bukan. Ketika dia memelukku, gigil pun menghilang. Apakah aku sangat ketergantungan kepadanya?

Detik selanjutnya, aku sudah berada dalam pelukannya. Lagi. Seperti tadi malam. Hanya itu yang terjadi hingga pagi. Meskipun dadaku bergemuruh hebat tapi perasaanku diselimuti hangat. Pertanyaan yang tertunda tertelan begitu saja dalam tenggorokan hingga mimpi menjadi pagi.

*** 



TBC

Repot 26 Maret 2020


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro