Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[20] Menjadi Istri Kembali

Part kemarin rame banget yang pengen sleding Lian. Haha... Yuk lanjutkan di part ini aja.

🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂


"Aku menginginkan anak darimu."

Aku menggeser duduk, tidak senang dengan kalimatnya. Lian berubah dari Lian yang tadi salat bersamaku sehingga membuatku takut. Kata-katanya terdengar aneh. Aku merasakan firasat tidak enak.

"Sejak kapan kamu ingin memiliki anak? Bukankah ada Aqila? Kamu bisa membangun rumah tangga yang lengkap dengannya."

Kami baru saja menyambung kembali pernikahan. Selama kami menikah dia tidak pernah membahas soal anak.

Atau jangan-jangan....

Lian memegang bahuku, memaksaku menatap matanya. "Karena dia tidak bisa memberikannya, aku ingin mendapatkannya darimu. Siwi, Aqila yang memintaku untuk rujuk denganmu dan memiliki bayi darimu."

Ragaku menegang. Ada paku-paku kecil menusuk hati hingga rasanya organ dalamku memar Mungkin saja sudah berdarah kalau bisa dilihat dari luar. Tiba-tiba kilasan pembicaraanku dengan Aqila sebelum dia pergi menyerbu ke dalam kepalaku.

"Sebenarnya aku tidak bisa hamil. Aku tidak mampu memberikan penerus keluarga Juanda."

"Apa kamu yakin? Kamu masih bisa melakukan pengobatan, Qila."

"Tidak, Wi. Mama sangat ingin mendapatkan anak dari Lian. Aku tidak bisa memberikannya."

"Kalian bisa melakukan jalan lain untuk mendapatkannya."

"Percuma. Aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Lian. Jangan katakan masalah ini kepadanya. Aku tidak ingin mengecewakan mama Lian. Dan Lian sudah setuju menikahimu."

Lian keparat! Ternyata inilah alasan keberadaannya di apartemen ini. Apa dia mencariku hingga menemukanku di tempat ini? Aku tidak mau! Mereka ingin anakku. Yah, aku memahaminya sekarang. Mereka ingin mengambil anakku. Tidak akan. Aku takkan tunduk lagi oleh keinginan pasangan itu. Aku tidak ingin hamil.

Ketika sibuk dengan pikiranku, kudengar Lian berteriak memanggil namaku. Dia memukul-mukul ringan pipiku sembari berkata 'Sadarlah Siwi'. Aku mendengar suara paniknya. Kurasakan sebuah kain dia pakaikan untuk menutupi kepalaku. Barangkali itu hijab. Tubuhku diangkat dan dibawa keluar dari apartemen. Ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa membuka mataku untuk mengetahui yang terjadi? Diriku tenggelam oleh gelombang kegelapan.

Ketika membuka perlahan kelopak mataku, sinar yang menyilaukan menyerang retina membuatku mengerjab-ngerjabkan mata untuk menghalaunya.Kupejamkan lagi mataku karena rasa pusing menghantam kepala.

"Kamu sudah siuman, Wi?" tanya seseorang sambil memegang tanganku. Kurasa itu Lian.

Kecemasan bercampur aduk dengan kelegaan dalam suaranya. Aku membuka mata perlahan untuk menyadari penglihatan yang blur. Bayangan seorang lelaki berdiri menjulang di atas kepalaku. Lian. Ada bau rumah sakit. Aku sangat tidak suka berada di tempat ini. Perutku jadi tidak nyaman. Mual. Aku ingin pergi dari kamar tak menyenangkan ini.

"Kamu sudah sadar, Wi. Apa yang kamu rasakan? Oh sebentar, sepertinya aku harus memberi tahu dokter. Tunggu sebentar." Lian berlari keluar ruangan.

"Eeeuh...." Aku mengerang kecil saat merasakan keadaan tubuhku yang sangat lemah. Aku ingin minum sebab rasa haus menggerogoti tenggorokanku. Sehabis minum aku kembali berbaring.

Kenapa aku bisa berada di rumah sakit?

Lian datang bersama pria dan wanita berpakaian putih. Kuyakini mereka adalah dokter dan suster. Mereka melakukan pemeriksaan kepadaku. Bersamaan dengan itu, yang ada dalam kepalaku 'Kenapa aku bisa ada di sini?'

Aku sudah menjadi istri Lian kembali. Senang rasanya ketika menyadari kenyataan itu. Mungkin bagi sebagian orang berpisah perkara mudah. Tinggal lupakan dan cari yang baru. Tetapi bagiku tidak. Mencintai seorang pria di mana aku mulai mencintai ketika sah menjadi istrinya merupakan perasan suci yang akan hilang jika Allah mencabut perasan itu.

Sebelum aku kehilangan kesadaran, kami berdebat tentang memiliki bayi. Aku tidak akan melakukan kebodohan untuk kesekian kali. Sudah cukup kukorbankan diri dalam pernikahan ini. Aku takkan mengorbankan seseorang lagi. Apalagi itu adalah seseorang yang kuperjuangkan hadir ke dunia. Jika Lian menjadikanku istri untuk menjadi orang yang akan melahirkan anaknya, aku tidak akan pernah melancarkan rencana itu. Aku tidak melahirkan bayi kalau hanya untuk mereka pisahkan dariku.

"Ibu Siwi hanya kelelahan dan banyak pikiran membuatnya stres. Saya sarankan kepada Bapak untuk membuat suasana hati Ibu selalu nyaman. Jangan sampai pikiran yang berat membuat kondisi Ibu drop kembali. Tapi secara keseluruhan, Ibu Siwi sehat," papar dokter laki-laki itu. Lian berterima kasih lalu tim medis bergerak keluar ruangan rawatku.

Lian menarik bangku kemudian duduk di dekatku. "Syukurlah. Kamu sudah siuman. Aku khawatir sekali melihat kamu tidak sadarkan diri," ujar Lian kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Kenapa kamu harus bawa aku ke rumah sakit sih?" Kudengar suaraku yang keluar berupa rajukan.

"Iya kemana lagi kubawa kamu yang tiba-tiba pingsan?" ucapnya retoris. "Kamu tidak makan-makan, ya?"

Aku mengabaikannya. "Kamu bisa memercikkan air ke wajahku, menciumkan minyak angin ke hidungku. Tidak harus ke rumah sakit segala. Kamu tahu aku benci sekali rumah sakit. Di sini aku rasanya seperti orang yang sakit parah. Padahal aku hanya kelelahan saja."

Lian mendeham. "Kamu sudah banyak bicara. Agak lebih baik?"

"Aku sehat. Bisa kita pulang?"

Lian menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu benar-benar tidak suka di rumah sakit?" tanya Lian dan kutangkap sebagai pilihan jawaban buatku.

Tentu saja aku mengambil kesempatan itu untuk mengeluhkan betapa tersiksanya aku berada di rumah sakit. "Li, kamu tahu 'kan aku benci rumah sakit. Ini semakin membuat perutku bergolak tak nyaman. Aku ingin pulang," ucapku dengan suara lemah yang tidak kubuat-buat.

"Apa pun itu. Aku akan tanyakan ke dokter dulu. Asalkan jangan stres seperti yang dikatakan dokter tadi. Aku akan menuruti permintaanmu," ucap Lian bersungguh-sungguh. Dia segera berdiri dari bangkunya lalu keluar.

Kenapa Lian terlihat perhatian sekali?

Ah tentu saja, Lian seperti itu. Dia memang baik. Oleh sebab itulah, aku tidak bisa tidak jatuh terhadapnya.

***

Oke tenanglah Siwi. Berdoalah semoga kamu tidak hamil karena peristiwa tadi malam. Ya ya ya aku mungkin akan mendapatkan tamu bulananku seperti bulan lalu. Padahal, waktu itu aku pernah terlambat ke dokter lalu melakukannya dengan Lian. Aku tidak sampai mengandung. Aku tidak akan membiarkan Lian dan Aqila menyetir kehidupanku kalau sampai dalam rahimku tumbuh nyawa yang baru. Sekarang serahkan semuanya kepada Tuhan. Berdoa Siwi, berdoa.

"Kamu sudah siap?" Lian mengangakan daun pintu kamar membuatku menghentikan selancar pikiranku dan menengok ke arahnya. Aku mengangguk lalu mengambil hand bag dan keluar mengikutinya.

Perjalanan menuju ke rumah mami kami lalui dalam keheningan. Keadaan ini membuatku mengantuk. Kelopak mataku terbuka akibat merasakan bahuku yang dipukul-pukul ringan. "Aku tertidur?"

Lian mengambil tanganku, mengiringiku masuk. Genggaman tangannya membuatku merasakan pulang. Ketika melihat kepadanya dan ternyata dia tengah menatapku juga, aku terburu-buru menunduk. Bersamaan dengan itu ada yang kerjanya lebih hebat dalam rongga dada hingga kurasakan darahku menghangat.

"Siwi!" seru mami heboh setelah membukakan pintu. Dia melihatku dari kepala hingga kaki lalu pandangannya jatuh kepada seseorang di sebelahku.

"Masih berani datang ke rumah ini? Eh eh eh, lepaskan, lepaskan!" ujar mami berang sembari melepaskan tangan Lian dariku. "Kenapa datang ke sini? Jangan bilang kamu menculik Siwiku?!" tuding mami kepada Lian. Mami menarik tanganku hendak mengusir Lian. Namun, aku menahan mami untuk tidak melakukannya. Lian ingin berbicara dengan mami.

"Kamu jelaskan nanti kenapa kamu bisa bersama dia tadi malam. Sudah, sekarang kamu masuk kamar! Jangan turun! Kalau tidak mami akan mengunci kamarmu dari luar." Yah, mamiku memang seperti itu. Aku mendapatkan kebiasaan mengancam darinya. Jadi, daripada mami merealisasikan ancamannya dan membuatku terkurung seperti Rapunsel, lebih baik aku segera mengikuti titahnya.

"Siwi, jaga dirimu!" Lian berpesan sebelum aku naik ke atas. Setelah itu kudengar mami berdeham. Aku segera berlari ke lantai dua.

"JANGAN LARI-LARI, SIWI!"

Kenapa mereka kompak sekali berteriak seperti itu?

***

Dua jam kemudian mami mengetuk pintu kamarku. Aku baru saja melaksanakan salat Asar. Sembari meletakkan perlengkapan salat ke gantungan, aku meminta mami masuk.

"Oh, anak Mami."

Keningku berlipat ketika mendapatkan perlakuan lain dari mami. Mami memelukku tiba-tiba. Ini bukan mami sekali.

"Kenapa sih tiba-tiba jadi baik? Siwi takut. Mami kenapa?" Aku melepaskan rangkulan mami. Mami memberikanku ciuman di pipi dan memeluku lagi.

Kalau saja mami tahu aku rujuk dengan Lian, kira-kira seperti apa reaksinya? Eh tunggu, bukankah tadi Lian sudah bercerita tentang hal itu kepada mami? Kenapa mami tidak marah-marah?

Aku menjauh dari mami, duduk di bangku depan meja rias. "Mami, tadi Lian ada bilang sesuatu pada Mami?" tanyaku takut-takut.

Mami mengangguk. Senyuman yang dikulum menghiasi pipinya. Aku menggelengkan kepala untuk menghalau kecuriagaan. Apakah mami menjadi pendukung Lian lagi?

"Dia bicara apa kepada Mami? Apakah dia bilang kalau kal—"

Mami menyela, "Kalau kalian rujuk?" Mami pun mengangguk lagi.

"Mami setuju?"

Mami mendekat padaku lalu menyentuh bahuku. "Iya. Kembalilah kepada Lian," jawab mami yang membuatku shock sekali. Mami kenapa? Lian, hebat sekali dia. Lelaki itu bisa membuat mami kembali memihak dirinya. Tapi syukurlah, itu terdengar lebih baik.

"Kata Lian saat dia dinas, kamu akan dititipkan di sini atau di rumah Nora."

"Memang aku barang. Lalu kalau dia di—" Aku menelan ludah, "—kalau dia di-di—"

Mami melanjutkan ucapan yang tidak mampu kusuarakan, "Kalau dia di sana, kamu juga dengan Mami atau di rumah mamanya. Intinya kamu tidak boleh sendirian di apartemen," terang mami.

Aku mengangguk setuju. "Kenapa Mami setuju saja? Mami mengizinkan Lian kembali sama Siwi?"

"Karena Lian itu baik," jawab mami mantap. Mami memukul pundakku lalu membawa kepalaku ke perutnya. Aku lingkarkan tanganku di pingang mami.

"Kupikir mami membenci Lian."

Mami mengelus kepalaku. "Seseorang bisa berubah dari jahat menjadi baik, dari baik menjadi jahat. Kalau tidak ada orang jahat maka tidak akan ada orang baik. Sebaliknya kalau tidak ada orang baik, maka tidak ada orang jahat. Suamimu itu dia baik. Percayalah."

Apakah ini hanya untuk menenangkan pikiranku saja?

"Siwi," panggil Lian sehingga mami meninggalkan kami berdua.

"Ada yang ingin kamu tanyakan? Ada keluhan?" tanyanya kelihatan sangat peduli pada apa yang kurasakan.

"Apa yang kamu bicarakan kepada mami sampai mami yang kesal padamu jadi baik lagi?"

"Tidak ada. Aku hanya mengakui perasaanku saat tidak bersamamu. Mami tersentuh dan menepuk-nepuk punggungku dengan prihatin." Ia menyelipkan sejumput rambut nakal ke telingaku.

"Bohong. Mami tidak semudah itu."

"Betul. Jangan menambah beban pikiranmu. Sebaiknya kamu istirahat lagi. Ayo mari peluk aku," ajaknya yang berbaring lebih dulu.

"Ada lagi yang belum kamu ceritakan. Kenapa kamu bisa tahu aku ada di apartemen?"

Lian menarik pelan tanganku sehingga berada di sebelahnya yang berbaring. Lagi-lagi dia mengelus rambutku seolah anak kecil yang susah tidur.

"Aku mencari ke mana-mana. Akhirnya menemukanmu di sana. Kamu merindukanku."

Aku menolak dadanya. "Tidak."

Dia terkekeh. "Aku mendengarnya. Kamu berseru dan memelukku sangat erat. Jangan malu! Katakan saja kalau kamu sangat menyesal berpisah dariku."

"Tidak," ujarku lemah dan memilih mengabaikan setiap tuduhannya.

***


repost 24 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro