[17] Subuh Kita Berpisah
Inilah mereka pasangan luka
Pagi ini Siwi update, nanti malam direncanakan up juga untuk menemani kalian yang berada di rumah. Semoga kita semua aman, ya. Happy reading ...
komentar yang rameeee yaaa..... thanyou
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Mondar-mandir di ruang tamu, aku menunggu Lian pulang. Lian biasanya tidak pernah keluar dari apartemen jika sedang off. Ini sudah pukul sebelas malam dan dia belum kembali. Dimana dia sekarang? Sejak ada Aqila, dia tidak pernah lagi menghabiskan hari di rumah, di apartemen ini maksudku. Dia bersama Aqila. Itu sangat menggangguku.
Dulu, aku tidak pernah terusik dengan hubungan mereka. Mereka sering mengajakku makan bersama. Aku saat itu hanya menjadi nyamuk tetapi sama sekali tidak sakit hati. Aqila kerap menceritakan segala hal tentang Lian: Lian perhatian, Lian baik, Lian inilah, Lian itulah, aku juga tidak masalah. Atau ketika menjemput Aqila ke bandara, di hadapanku mereka tengah berciuman. Aku sama sekali tidak cemburu apalagi sakit hati!
Bagaimana nanti setelah mereka menikah? Haruskah aku menyaksikan semua itu dengan hati yang nyeri?
Lian belum kembali padahal jarum jam sudah beranjak lagi dari pukul sebelas. Apakah Lian tidur di tempat Aqila? Ya Allah... Ampunkan aku karena berpikiran buruk kepada suamiku sendiri.
Tapi...
Itu mungkin saja terjadi, bukan? Mereka berdua sudah lama tidak bertemu dan akan menikah. Bisa saja mereka menghabiskan malam bersama barang sekali dua kali sebelum menikah. Atau mungkin saja mereka kecapaian sehabis mengurus pernikahan lalu ingin istirahat bersama.
Kalau sudah tahu begitu, mengapa aku masih saja menunggunya pulang?
Karena kamu berharap Lian tidak mengkhianati pernikahan kalian, Siwi.
Kacau, batinku berperang. Aku tetap menunggu Lian untuk meminta sesuatu kepadanya. Aku ingin dia melakukannya sekarang juga.
Kemana dia? Pulangkah dia kira-kira?
Pulang? Ya Allah, kenapa aku kepedean sekali? Lian bukan pulang ke apartemen ini, Siwi. Dia pulang ke rumah orang yang dia cintai: rumah mama papa dan rumah Aqila.
Tapi, bisa saja Lian datang malam ini. Lagi-lagi batinku memberikan dukungan untuk apa yang tengah kulakukan saat ini.
Apakah Lian mau mengabulkannya? Kenapa perutku bergolak tak enak? Ini pasti karena gugup.
Pukul dua belas malam, saat mataku hampir saja menutup, Lian pulang. Dia pulang, kantukku hilang. Aku berlari kepadanya. Entah kenapa aku memeluknya. Anehnya, aku merindukannya sekarang. Aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.
"Wi... apa yang terjadi?" Lian ingin menjauhkanku tapi kueratkan tanganku yang menyentuh punggungnya.
Aku tidak mengerti. Niatku untuk berbicara kepadanya jadi berantakan. Keputusan yang tadi sudah bulat saat menunggunya sekarang berceceran. Ada apa denganku?
"Jangan bikin aku takut. Ada apa denganmu?"
Aku tahu, Lian pasti bingung. Aku tidak pernah memeluknya lebih dulu dan tidak memulai kontak fisik dengannya.
"Untuk terakhir kali, peluk aku seperti ini."
Mulutku ikut berkhianat! Ya Tuhan, aku ingin lari. Aku tidak berani melihat Lian. Aku malu.
"Heey, kamu mau kemana?"
Lian menarikku kembali. Aku tidak berhasil kabur setelah mempermalukan diri seperti tadi. Lian menyentuh daguku. Dia ingin melihatku dan aku tidak ingin terlihat.
"Ada apa?"
"Lian." Kubasahi bibir sebelum bicara. "Aku tidak tahu. Aku... aku... maaf, aku tidak sengaja, aku hanya... tadi ada yang ingin kukatakan kepadamu. Lalu... lalu kamu datang, aku... aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku minta maaf."
"Apa pun yang ingin kamu bicarakan, kita lanjutkan besok saja. Sekarang sudah malam sekali. Sebaiknya kamu istirahat. Kamu kelihatan tidak sehat."
Aku tidak menolak saat Lian membimbingku ke kamar. Aku merasa ingin menangis. Bagaikan ada yang mencolok mataku hingga perih. Perasaan sedih tak tahu sebab ini semakin menjadi saat Lian memelukku.
Ya Tuhan, aku akan kehilangan suamiku. Aku akan kehilangan Lian. Bisakah semua ini dijadikan mimpi saja? Bisakah Lian tetap di sampingku tanpa ada Aqila?
"Apa pun itu yang membuat kamu sedih, kuminta jangan menangis dengan orang lain, Siwi."
Aku pasti sedang bermimpi saat dia mengatakan kata-kata itu. Dia tidak mungkin membisikkan itu di saat sedang mempersiapkan pernikahan dengan orang lain. Siwi, jangan sampai berhalusinasi seolah Lian menginginkanmu tetap bersama!
Besok aku harus berhasil! Aku akan minta Lian mengucapkan talak untukku.
***
Suara azanlah yang membangunkanku. Aku ingin mengajak Lian salat bersama, tapi ragu dia akan bersedia. Jadi, aku menyeret kakiku ke kamar mandi dan menegakkan salat Subuh sendirian. Selesainya aku mendirikan salat, Lian mengambil sajadah yang kupegang lalu kembali menggelarnya di tempatku tadi.
Aku mundur dan duduk di pinggir tempat tidur menyaksikan Lian bersujud. Maha Kuasa Engkau Ya Rabb, air mata ini kembali mengalir sebab Engkau menunjukkan hal yang sangat istimewa kepadaku pagi ini. Tidak apa-apa Lian, tidak mengapa kamu tidak mengimamiku asalkan kamu menegakkan kewajibanmu sendiri. Itu sudah cukup.
Dengan lutut aku berjalan mendekati Lian yang tengah menampungkan tangan berdoa. Sampai ia mengatakan aamiin, aku mengambil tangannya dan mencium punggung tangannya. Sudah cukup, semuanya sudah lengkap. Aku bisa pergi sekarang. Aku akan menyimpan Subuh ini sebagai kenangan paling indah. Aku tidak akan melupakannya. Ini momentum khidmad selain peristiwa akad beberapa bulan lalu.
"Lian, aku ingin bicara." Belum memulai saja, air mataku lebih dulu menggenang di pipi. Kuseka dengan mukena yang masih kupakai sambil mengambil napas.
"Lepaskan aku, Li, ucapkan talak untukku." Berhasil! Aku sudah menyampaikannya. Inilah yang seharusnya kukatakan sejak tadi malam.
"Bukannya kamu setuju untuk melanjutkan pernikahan ini?" Lian menyilangkan kakinya menjadi posisi duduk bersila.
Setelah permintaan Aqila tempo hari, Lian mempertanyakan tentang kesediaanku untuk tetap menjadi istrinya. Lian menginginkan kami tetap bersama. Kupikir itu karena memang keinginannya tetapi lagi-lagi karena Aqila. Kukira aku akan sanggup layaknya sudah menjadi orang asing ternyata tidak. Melihat mereka menyiapkan pernikahan kembali, seratus persen berbeda dari yang dulu saat persiapan pernikahan mereka yang gagal. Aku memutuskan selesai dengan Lian. Akan terlalu menyakitkan buatku berbagi suami dengan wanita lain.
"Ya. Tapi aku membatalkannya. Aku ingin berpisah. Tolong lepaskan aku, Lian." Pagi ini cukup dingin. Kulebarkan mukenaku hingga menutupi ujung kakinya.
"Aku sudah berjanji akan melepaskanmu saat kamu memintanya. Maka aku akan melakukannya untukmu. Tapi... aku ingin kamu benar-benar yakin dengan keputusan itu. Benarkah ini yang kamu inginkan?"
Aku tidak tahu mana yang paling kuinginkan. Aku tidak ingin berpisah tapi menjadi istrimu saat kamu menikah dengan wanita lain, rasanya terlalu menyakitkan, Suamiku.
"Meskipun ini bukan yang paling aku inginkan tapi inilah yang terbaik."
Lantunan ayat suci dari masjid yang menyelinap melalui jendela yang terbuka mengiris pagi menyambut awal hari yang baru. Lian belum bersuara. Ia membiarkan pintaku mengawang, menyuruhku menunggu tanpa ucapan. Aku di depannya tidak ingin melewatkan saat-saat dimana aku masih boleh memandangnya. Dia memiliki bibir merah muda, tipikal lelaki tidak merokok. Ketika dia tersenyum biasanya muncul sebuah lubang di ujung bibir sebelah kanan. Sepasang alis hitam dan lebat di atas kedua matanya yang sedikit kecil. Aku tidak ingin mengalihkan kedua bola mataku dari wajahnya yang sedang berpikir serius.
Andai aku bisa membaca pikiranmu, aku ingin tahu apa yang sedang kamu pikirkan saat ini. Apa yang membuatmu terlalu lama mengucapkan satu kalimat perpisahan itu?
"Kamu ingin berpisah? Pikirkanlah sekali lagi." Lian coba membujuk.
Aku sadar, ini hanya karena permintaan Aqila. Kamu pasti mempertimbangkan permintaannya agar kita tetap bersama. Untuk apa? Kamu tidak akan tahu, aku sakit melihat kalian bersama. Tak akan pernah kamu sadari saat aku menjadi abu secara perlahan-lahan karena terpanggang oleh api kecemburuan.
"Iya, aku sudah yakin. Kita sudahi saja semuanya sekarang, Lian."
Lian maju hingga lutut kami bertabrakan. Dia berdiri dengan lutut lalu menyentuh puncak kepalaku. Sebelah tangan menopang tubuhnya dengan menjadikan pundakku sebagai pegangan. Dadaku bergemuruh. Aku menjadi bimbang. Sungguh takut hatiku kala dia mencium keningku. Ada yang ingin menyeruak dari kedua mataku.
Lian menjauhkan wajahnya. Dia kembali duduk di hadapanku tapi tangannya masih berada di puncak kepalaku. "Siwi." Lian menelan ludahnya.
Aku mengangkat wajah untuk melihatnya.
"Lezya Siwi Aurora." Lian bicara pelan sekali hingga aku menahan napas karena takut dengkusan itu akan mengganggu pendengaran saat dia mengucapkannya.
Inikah yang kumau?
"Lezya Siwi Aurora." Lian memindahkan tangannya ke kepalaku sebelah kanan persis di atas telinga. "Siwi."
Kuembuskan napas pelan-pelan. Lian pun berhenti berbicara.
Dia mengambil napas perlahan. "Siwi, aku ceraikan kamu dengan talak satu."
Selesai. Berakhir sudah. Kedua tanganku mengepal di atas paha seiring dengan derai air mata.
***
TBC
Repost 23 Maret 2020
07 Februari 2018
Alhamdulillah.... tahu nggak sih, part ini ngetiknya diiringi lagu Khusnul Khotimah, itu lho yang 'terangkanlah... terangkanlah...' akhirnya Lian solat! Aku senang... hahahaa... bahagia... momen terakhir, Lian insyaf.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro