[14] Tempat Berkeluh Kesah
Risiko dari seorang pengganti adalah harus siap kapan pun pemeran utamanya muncul. Seorang pengganti yang beruntung akan berhasil merebut peran utama sedangkan pengganti pada fitrahnya hanya sampai pekerjaannya selesai. Hanya sampai seseorang yang digantikannya datang dan mengambil kembali apa yang telah dia tinggalkan. Harusnya aku mengantisipasi tujahan rasa sakit pisau agar tak terlalu dalam menancap di jantung. Harusnya aku bersiap dengan risiko sakitnya mencintai milik orang. Aku yang bodoh.
Sekarang aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Lian kepadaku. Dia terlihat bahagia menyambut pernikahannya. Sepanjang perjalanan pulang tak hentinya dia mengatakan bahwa dia sangat beruntung karena Aqila akhirnya menyerah dengan kekerasan hatinya.
Katanya ia akan segera memberitahu keluarga kami, tapi sampai hari ini, dua hari berselang, Lian masih diam saja. Belum ada rencana ke rumah mama dan mami untuk mengabarkan perihal rencana pernikahannya yang kedua.
“Kapan kamu memberitahu orang tua kita?” Aku meletakkan segelas susu cokelat untuk Lian di atas meja kecil. Dia duduk di depan meja itu sembari membaca sesuatu dalam ponselnya.
“Secepatnya.” Dia tidak menoleh dan terlalu fokus kepada apa pun yang menarik dalam benda canggih itu.
“Heeeum... terus bagaimana dengan aku? Maksudku, apakah kamu akan mengurus perceraian kita?” Pertanyaanku yang ini mungkin cukup membuatnya tertarik sehingga meletakkan ponselnya lalu menghadap kepadaku.
“Duduk, Wi,” ajaknya meluangkan tempat di sebelahnya. Melihat itu, aku memilih posisi aman di seberang meja saja.
“Maksudku, eeehm kita harusnya menyelesaikan ini. Ketika kamu berbicara dengan papa, ada baiknya kalau aku dan kamu telah selesai sebagai suami istri. Bukan begitu?”
Siwi memang sudah cocok menjadi bintang sinetron. Kalimat itu meluncur lancar dari bibirku seperti aku telah melatihnya ribuan kali di depan cermin. Padahal aku tidak pernah mengira akan mengucapkan kalimat itu dengan enteng, berpikiran untuk mengucapkannya saja tidak pernah. Lalu saat ini, bibirku mengimprovisasi dialog itu dengan keren.
Jelas-jelas, saat ini hatiku menangis. Berpisah dengannya memang telah jelas akan terjadi ketika pernikahan dimulai. Aku tidak menyangka akan secepat ini jadinya. Aqila berjanji akan mengambil posisinya lagi. Namun, aku terlalu mendalami peran sebagai istri hingga lupa bahwa aku hanyalah istri pengganti. Aaah, Siwi kamu terlalu menyedihkan.
“Begini, Wi. Aku memang tidak ingin mengekangmu menjadi istri saat aku akan menikah dengan Qila. Tapi dia minta kita jangan bercerai dulu, jadi keputusannya aku tidak akan menceraikanmu sebelum Qila mengizinkannya. Lagi pula sebagian dari diriku juga belum ingin berpisah denganmu.” Dia tersenyum. Senyuman itu kenapa membuatku ingin menangis?
Kalau kamu memang tidak mengharapkanku, maka jangan tahan diriku! Jangan bersikap baik terhadapku!
“Kamu tahu... aku merasa sudah tidak memiliki hak sebagai manusia yang bebas?” Aku mengembuskan napas. “Kamu bilang, aku harus menunggu keputusan Aqila, itu artinya aku harus menerima apa pun keputusannya. Padahal kalau dia ingat, aku juga berhak memilih jalanku sendiri. Bukan hanya dia, bukan dia yang berhak mengatur kehidupanku, keputusanku. Berpisah denganmu saat ini juga, aku bebas memilihnya.” Aku mengucapkannya dengan menatap Lian. Aku berani. Barangkali ini kesempatan terakhir untuk duduk sedekat ini dalam ruangan tertutup dengannya. Dia harus tahu, aku juga punya suara di sini.
“Iya. Aku sadar dia egois. Aku pun sama.” Lian mengubah duduknya. Dia bergeser sedikit ke depan. “Kamu benar-benar ingin kita berpisah?”
“Kenapa kamu bertanya kepadaku sih? Ini pernikahan kalian, kalian yang akan bahagia, lalu aku masih dibutuhkan?”
“Kamu tidak setuju dengan pernikahan kami?” Lian mengamatiku, melihat mataku, dan aku terpaksa menjauhinya. Aku menatap ke arah lain.
Menurutku dia kehilangan kepekaan sebagai manusia. Coba dia pikirkan, adakah istri yang bahagia saat suaminya mencetuskan ide untuk menikah lagi? Ada? Barangkali memang ada, tapi kurasa hanya segelintir saja istri yang tidak tersakiti dengan ide itu. Kurasa kebanyakan istri akan menangis dalam munajatnya kepada Tuhan. Memang kami akan bersikap ikhlas apabila itu sudah menjadi jalan yang dipilihkan Tuhan. Tapi ingatlah, kami hanyalah wanita biasa, manusia yang lemah, yang tidak akan kuat menanggung luka. Mungkin ada istri yang kuat, tapi kurasa di awal mereka juga akan tersakiti. Kemudian keesokannya, perlahan demi perlahan dia akan belajar ikhlas dan menerima. Dan itu, merupakan jalan yang panjang, bukan instan.
“Jujur ya Lian, menjadi istrimu beberapa waktu ini, aku menjalani peran itu dengan ikhlas. Aku merasa, ‘aah ini adalah kehidupanku sekarang, aku akan menjalaninmya dengan ridho, menjadi istri yang baik’ begitulah. Jadi, mungkin aku terlalu asyik dengan peranku dan terlalu menghayatinya. Saat ini aku merasa menjadi istri yang tersakiti.” Aku tertawa kecil dan dia tidak bereaksi. “Tapi aku tidak akan menghalangimu dengan mengatakan ‘aku tidak setuju’ karena sebenarnya aku tidak punya hak untuk berkata demikian.”
Lian menaruh tangannya di meja untuk menahan bobotnya. “Kalau ternyata kamu punya hak bagaimana?”
Aku cukup kaget, merasa ge-er sesaat kemudian aku menepisnya. Dia hanya kasihan kepadaku . “Aku merasa senang,” jawabku tersenyum.
“Jangan bercanda di waktu yang salah, Siwi Aurora.”
“Aku serius, Lian Wiratama. Aku bahagia kalau ternyata kamu akan membatalkan semuanya hanya karena aku bilang, ‘Lian, aku tidak mengizinkamu menikah lagi’.”
Lian terlihat menahan napas.
“Bohong... aku tidak akan melakukannya.”
Sekarang aku mulai gila sebab saat ini aku tertawa keras. Sebenarnya, aku bukan mentertawakan lelucon itu. Aku mentertawakan diriku sendiri yang berhasil mengelabuhi dua orang, aku dan Lian. Aku sangat ingin melarang Lian, sangat bernafsu menegah suamiku menikah lagi.
“Jangan marah dong. Aku hanya ingin mencairkan suasana. Kamu kelihatan terlalu tegang.”
“Aku juga tidak akan menceraikanmu. Kalau kamu belum memintanya, aku tidak akan melakukannya. Kamu masih ingat perkataanku waktu itu? Pergilah ketika kamu lelah, sudahi apabila kamu ingin menyerah.” Lian berdiri lalu keluar dari kamar. “Kamu teman baikku.” Dia mendeklarasikan kalimat itu sebelum benar-benar menghilang keluar.
***
Aku ingin curhat kepada Ibu Wimeka. Jadi aku sekarang sudah berada di sebuah ruangan yang ditempati Ibu Gara itu. Aku berada di balik pintu. Wanita cantik itu melamun seperti beberapa hari yang lalu. Pandangannya jauh sekali. Akankah nanti aku menjadi dirinya di saat aku kehilangan orang yang kucintai?
“Hai Ibu, aku datang lagi. Masih ingat denganku? Aku Siwi.” Dia tidak mendengar suaraku. Curhat dengannya yang memiliki masalah lebih rumit semoga dapat menggelontorkan keperihan.
“Sebenarnya aku sudah menikah. Pernikahanku bahagia. Suamiku baik walaupun tidak mencintaiku. Dia menganggapku sebagai teman. Tapi aku mencintainya. Aku tahu tidak seharusnya aku merasa begini, merasa tersakiti dengan hal ini. Oh iya aku belum cerita, suamiku akan menikah lagi dengan kekasihnya. Dan aku merasa sedih.
Aku sudah meminta berpisah walaupun berpisah dengannya sangat menyakitkan. Kalau dia yang duluan menceraikanku, akan ketahuan sekali aku tidak diinginkan. Makanya aku yang meminta diceraikan. Aku pintar, ya?”
Ibu Wimeka berdiri dari bangku lalu dia berbaring di tempat tidur. Seorang suster segera datang dan membantunya rebahan. Kurasa ini waktunya Ibu Wimeka beristirahat.
“Istirahatlah, Bu. Terima kasih telah menjadi pendengarku. Aku akan kembali lagi lain kali. Sepertinya saat aku kembali, aku akan menangis maraung-raung, yang tahan ya,” gurauku dan perawat itu pun ikut tersenyum. Aku mengangguk padanya sebelum pergi.
Saat berbalik, aku kaget melihat mahasiswaku berdiri dengan gesture tak tenang menatapku. Sepertinya dia mendengar semua curahan hatiku. Aah aku tertangkap oleh mahasiswaku sendiri.
“Apa kabar, Bu Siwi?” Suaranya membangunkanku hingga sadar dari tadi aku sudah menangis.
Dia mengulurkan tisu untukku. “Maaf aku mendengarnya, Bu.”
***
Bersambung...
OKI, 20 Maret 2020
Aku terharu karena ada sedikit orang yang menantikan kisah Siwi. Makasih ya. Semoga tahan. Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro