[11] Pertemuan Sepasang Kekasih
Holaaa... Akhirnya bisa post part baru...🎉🎉
KaSev ingatkan, cerita ini banyak narasi, moga tahan hahaha.. Tapi ke depan, nggak akan panjang-panjang deh satu part-nya dan akan diusahakan nambahin dialog biar nggak bosan.
VOTE deh kalau suka, okeh.
Enjoy walau nyelekit.
🌺
🌺
🌺
🌺
🌺
🌺
🌺
11 Pertemuan Sepasang Kekasih
"Apakah kamu kembali bukan untuk Lian?"
Aqila duduk dengan angkuh di hadapanku. Pelan-pelan ia sesap green tea latte-nya. Sebelum berbicara, ia mengusap sudut bibirnya menggunakan tisu.
"Kamu menodongku!" Aqila tersenyum miring. Dia tetap anggun dengan kesinisannya.
Aku mengabaikan pernyataannya. Aqila juga tidak membutuhkan pembelaanku. Dia lanjut berbicara.
"Aku sudah pernah bilang, aku memang akan kembali. Aku meminta sedikit kebahagiaan darimu." Aqila memutar cincin di jarinya.
Perhatianku tersedot ke sana. Itu pasti cincin 'mereka'. Sementara aku, memakai cincin yang seharusnya melingkar di jemari Aqila. Ia menarik napas lalu mengembuskan cepat.
"Tapi aku akan melakukan tarik ulur."
"Permainan semacam apa itu?" Emosiku tersulut.
"Kamu sudah bisa menebaknya, Siwi Aurora. Aku hanya ingin Lian memujaku hingga dia tidak bisa aku tinggalkan sekali lagi."
"Lian sudah melakukannya untukmu." Aqila menyangsikan kata-kataku. "Kamu masih mencintainya?"
"Kamu tanya aku mencintai Lian? Ck!" Aqila menyesap minumannya. Ia telan secara lambat seolah sangat menikmati.
"Iya. Begitu pun dengan Lian," jawabnya penuh percaya diri. Memang apa yang dia katakan seratus persen benar. Lian hanya mencintai Aqila dan hanya menginginkan gadis itu.
"Lalu kenapa kamu buat Lian seperti ini? Kurang berjuang menurutmu? Lalu apa lagi yang harus dilakukan Lian?"
Seharusnya Aqila tinggal terima Lian. Mereka akan bahagia dan lupakan diriku sebagai desain latar.
"Aku akan meminta Lian menjatuhkan talak, tegasku. Tapi, benarkah aku ingin? Kalau itu satu-satunya cara agar Aqila menerima Lian kembali, aku akan terima nasibku itu.
"Jangan berpikiran dangkal!" Aqila mengucapkannya dengan santai, dengan tetap menampilkan senyuman miliknya.
"Ya. Aku akan melakukannya jika hanya itu yang membuat kamu melakukan tarik ulur. Pernikahan itu tidak berarti sama sekali jika pasangan Lian bukan kamu. Lian tidak pernah melupakanmu."
Aqila meletakkan cangkir green tea latte-nya. "Bisa dikatakan, kamu juga jadi persoalannya. Hhhm... Tapi itu hanya masalah kecil. Pokoknya aku hanya ingin membuat Lian berusaha, itu saja. Enough!"
"Tapi—"
"Cukup! Kita lihat sampai di mana Lian berjuang untuk mendapatkanku kembali."
Gadis ini sudah gila. Pikirannya terlalu sempit. Dia yang meninggalkan Lian kenapa Lian yang harus berusaha mendapatkan dirinya kembali?
Lian, jika kamu memang mencintai Aqila, kuharap kamu bahagia dengannya. Semoga kamu bisa memperbaiki apa yang rusak dalam kepala Aqila.
***
Hidup berdua dengan Lian sudah pasti akan kesepian ketika ditinggalkan dinas. Hari ini tepat seminggu kami pindah ke sebuah apartemen. Menuruti nasihat mami, aku harus ikut ke mana saja suamiku membawa. Jelas mami tidak merasa sedih ketika aku berpamitan untuk pindah. Dia justru senang dengan apa pun keputusan menantu kesayangannya buat.
Kebalikannya dari perasaan mami, aku merasa sangat sedih. Berpisah dari mami belum pernah kulakukan sejak kecil apalagi sejak papi meninggal. Kami yang hanya hidup berdua membuatku ketergantungan sehingga tidak ingin berpisah jauh dengan mami. Tapi rasa sedihku yang dilihat oleh mami mendapatkan ceramah panjang dua SKS. Kata mami, aku terlalu kekanakan dan tidak menghormati keputusan suamiku.
Kepindahan kami ini juga membuatku melupakan Aqila. Sepanjang bersama Lian, aku tidak memiliki kesempatan memikirkan hal lain selain Lian, Lian, dan Lian. Lian menyita semua aktivitas dan pikiranku. Tapi memang itulah tujuan kami memisahkan diri dari kedua orang tua. Kata Lian, agar kami memiliki privasi. Juga supaya kami bisa mandiri. Sayangnya Lian lupa kalau dia bekerja, aku tinggal sendirian.
"Tidak jadi belanja—"
"Astaga!! Ya Allah, Lian! Bukan gini caranya bikin aku cepat mati. Ini jantung tidak ada cadangannya, tahu."
Aku tadinya sendirian di apartemen ini, Lian pergi dari kemarin. Aku tidak tahu kapan dia kembali. Aku tidak bertanya kapan dia akan berangkat dan kembali. Nyatanya Lian datang sekongong-konyong dan membuat aku hampir terkena serangan.
"Makanya aku pulang. Kamu pernah minta ditemani belanja."
Lian menyeret koper kecil miliknya ke samping sofa. "Bagaimana kabarmu, Istri?" tanyanya setelah melesakkan tubuhnya ke sofa.
"Sedang mencoba baik-baik saja. Aku tidak suka sendirian."
Lian menggeser duduk. Ia pegang tanganku. "Kamu harus membiasakan diri."
"Aku sudah rindu mami saja."
"Belajarlah mandiri. Kita bisa kunjungi mami kapan-kapan." Lian membawa kepalaku ke dadanya. Akibat perlakuan manis Lian, aku bertambah sedih.
"Ayo kita penuhi persediaan untuk seminggu." Lian berdiri. Ia membawaku ikut berdiri dan kami keluar untuk memenuhi persediaan hidup yaitu isi kulkas selama satu minggu.
***
Setelah mengantre cukup panjang di kasir, belanjaan sudah kami tenteng di kiri dan kanan tangan masing-masing. Tapi sepertinya aku melupakan sesuatu. Harusnya aku membeli bahan-bahan untuk cake. Aku ingin membuat makanan manis itu untuk teman duduk-duduk siang bersama Lian.
"Eehm... Li, duluan deh ke mobil nanti aku susul. Ada bahan yang ketinggalan."
Lian pun melangkah pergi membawa seluruh belanjaan ke dalam lift menuju basemen. Hingga ia hilang ditelan oleh kotak besi, barulah aku memburu bahan-bahan yang kubutuhkan.
Lian sepertinya akan di rumah untuk dua atau tiga hari ke depan. Seperti biasanya, kalau dia sedang off maka Lian tidak keluar dari apartemen. Lian kelihatannya kurang bersosialisasi sebab dia tidak pernah punya urusan bertemu temannya. Atau Lian memang tidak punya teman, parah.
Seluruh bahan untuk membuat kue-kuean sudah masuk keranjang. Tinggal mengantre sekali lagi yang kelihatan akan berlangsung dalam waktu sebentar sebab sudah mulai sepi di kasir.
Belanjaan tambahan hanya satu tenteng. Aku mengikuti arah beberapa orang yang berjalan ke lift. Entah kenapa perasaanku terasa tidak tenang. Kulirik dengan sudut mata orang-orang yang berada di dalam lift, mungkin saja ada pencopet barangkali. Tapi sepertinya tidak karena mereka semuanya para ibu sosialita yang belanja bulanan sendirian.
Mereka tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Apakah mereka memikirkan suami-suami mereka yang sedang mengejar kekasihnya seperti kisahku? Ah, tidak mungkin. Yang malang hanyalah diriku, Siwi Aurora.
Aku tiba di basemen dan mencari di mana Lian parkir tadi. Kutelusuri parkiran yang lengang. Satu mobil keluar meninggalkan basemen dan ada dua mobil yang baru tiba. Mereka melewati tempatku berdiri.
Mana ya? Oh iya, aku ingat, di arah Barat.
Mobil Lian sudah kelihatan, sekitar sepuluh meter lagi. Tapi tiba-tiba basemen yang lengang ini membuat telingaku mampu mendengar suara-suara aneh. Suara decapan bibir dan lenguhan hewan buas, suara-suara manusia yang sedang mengikuti nafsu untuk memenuhi hasrat yaaah seperti itulah. Salahkan saja rasa ingin tahuku yang sedang tinggi hingga membuat kedua kaki ini mendekati sumber suara.
Sepasang cucu adam itu tengah bercumbu dengan ganasnya. Tangan perempuan mengalung di leher prianya sementara prianya melingkari tubuh wanita dan sesekali tangannya turun ke bokong si wanita. Menjijikkan melihat tubuh mereka yang bergesekan dengan bibir yang beradu saling mencecap. Mereka bertindak seolah dunia akan kiamat sebentar lagi dan mereka harus menyelesaikan apa yang mereka lakukan secepatnya. Mungkin saja mereka akan bercinta di lantai basemen ini.
Kedua manusia tidak tahu malu itu tidak menyadari kehadiranku, seperti yang selalu mereka lakukan kepadaku biasanya. Aku ingin berlari menjauh tapi kakiku tak dapat kugerakkan untuk hengkang dari tempat terkutuk ini.
Aku mohon, bantu aku pergi!
Saat aku sadar, aku sudah berada di mobil dalam keadaan menangis. Aku lupa bagaimana aku berjalan meninggalkan Lian dan kekasihnya yang sedang memadu cinta. Sebagai orang luar, aku tidak bisa marah atas apa yang mereka lakukan. Aqila, dia kekasih suamiku. Statusku sebagai istri Lian hanya di atas kertas saja. Aku tidak berhak mengklaim Lian sebagai milikku. Sesuatu yang bukan milikku tidak harusnya kutangisi.
Tapi aku tidak baik-baik saja. Perasaan ini bukan robot yang bisa diatur tidak boleh menangis saat ia sakit. Rasanya bagai dicambuk dengan gesper sebanyak seribu cambukan ketika di depan mata, suami mencium wanita lain sama intensnya seperti yang dia lakukan kepada istrinya. Bahkan lebih.
Aku juga ingin egois atas posisiku yang kuat di sisi Lian. Aku istrinya secara hukum dan agama walaupun tidak dicintai. Perbuatan Lian dan Aqila tadi tercela dipandang dari segi mana pun. Tapi aku tidak memiliki kekuasan untuk marah. Aku lemah karena di sini aku hanya orang luar yang masuk dalam hubungan mereka.
Tuhan....
"Menunggu lama?"
***
TBC
22 Januari 2018
Pelan pelan yaaaa... Slow.. Ahahah moga part baru lancar...
Tunggu yaaa... Byeh...👋👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro