Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[10] Jangan Pernah Menyesal

10 Jangan Pernah Menyesal

"Siwi!"

Ya ampun, itu Allan. Kenapa ada di kampusku?

"Kamu sudah pulang?"

Allan seperti biasanya, selalu rapi dengan setelan formalnya. Meskipun tidak memakai seragam, otot kekarnya menunjukkan pekerjaan apa yang dia lakukan. Dia seorang polisi yang ramah dan suka tersenyum. Lelaki yang memasukkan sebelah tangan ke saku celananya itu terlihat manis di balik tubuh tegapnya.

"Aku baru saja selesai."

"Kebetulan. Aku ingin mengajak makan, sekarang makan apa namanya?" Allan melirik arlojinya.

"Makan siang kesorean atau makan malam kesiangan?"

"Allan, aku minta maaf karena waktu itu tidak sempat pamit kepadamu. Apa sekarang kamu ingin mengajakku ke rumah bertemu Tante Stella?"

"Oh iya Wi, kupikir mama terlalu menakutkan untuk kamu temui. Yang waktu itu tidak masalah. Apa kamu sudah benar-benar sehat?"

"Ya, sehat sekali. Sebagai ucapan terima kasih aku akan ikut denganmu." Aku mengikuti Allan berjalan ke mobil di dekat parkiran para dosen.

***

Suasana restoran yang lengang karena bukan jam makan siang dan dinner membuat kami bebas memilih tempat duduk. Beberapa pengunjung tampak keluar restoran dan juga satu dua orang ada yang masuk. Meskipun begitu, masih banyak meja yang kosong.

"Sebenarnya sudah beberapa kali aku ke kampusmu sejak di rumah sakit itu." Allan mengunyah makanannya setelah berbicara.

Setelah menelan, dia kembali bicara. "Aku ingin bertanya keadaanmu tapi aku kehilangan kontakmu."

"Kamu bisa mencariku ke rumahku tapi." Aku telah lama tidak pulang ke rumah mami. Jika Allan ke rumah, dia tidak akan bertemu denganku. Aku yakin mami tidak akan memberikan alamatku yang baru kepada Allan.

"Kamu sudah pindah? Mamimu bilang kamu tidak tinggal di rumah lagi?"

Tuh kan!

"Aku sudah meni—"

Ya Allah, itu bukankah Lian dan Aqila? Mereka berjalan cepat-cepat masuk ke restoran. Aqila menarik bangku dengan kesal, Lian mengambil posisi di seberang Aqila.

Mereka tidak melihatku, mereka selalu tidak menyadari keberadaanku. Aqila berbicara dengan wajah keras, terlihat sangat kesal. Sementara Lian, aku tidak bisa mendengar sedikit pun apa yang ia ucapkan. Punggungnya menyandar di kursi kelihatannya tidak terpengaruh oleh emosi meledak-meledak Aqila.

"Kamu mengenal mereka?"

Allan juga melihat kepada objek yang menjadi perhatianku.

"Sahabatku."

"Kenapa kita tidak menyapa mereka?" Allan menawarkan.

"Mereka sedang dalam mood yang tidak baik. Sebaiknya kita tak usah masuk," ungkapku mengalihkan pandang dari sepasang kekasih itu.

"Oh ya, aku hanya ingin berbagi cerita denganmu."

Allan pun mengalihkan perhatianku dari memikirkan Lian dan Aqila. Aku mendengarkan cerita Allan fokus. Dia akan bertugas ke Jakarta selama dua minggu.

"Kamu masih ingat dengan Gara?" Allan kembali membuka obrolan baru.

"Iya. Hanya saja aku sudah jarang membesuknya. Apakah dia sudah mendapatkan keringanan hukuman?"

"Keluarganya saja tidak tahu menahu dia berada di mana."

"Maksudmu? Gara tidak pernah diberikan dukungan oleh keluarganya?"

"Gara memiliki adik perempuan, dia menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya seorang janda yang—"

"Kenapa?"

Allan mengembuskan napas kasar. "Mereka ditinggalkan banyak utang oleh ayah Gara. Ibunya terbiasa hidup senang jadi tidak terima dengan keadaan mereka sekarang. Dan saat ini berada di rumah sakit jiwa."

"Ya Allah!" Aku membekap mulut. Betapa malangnya ibu Gara, Gara, dan siapakah adiknya? Dengan siapa dia tinggal?

"Allan, tolong keluarkan Gara. Aku akan melakukan apa saja yang aku bisa kulakukan. Dia hanya terdesak waktu itu, aku yakin."

Allan meletakkan tangannya di punggung tanganku, "Tunggu sebentar lagi, Wi. Hukuman Gara tidak lama kok," ucap Allan menenangkan.

"Temani aku menjenguknya," pelasku.

***

Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar tempatku berpijak saat ini. Ditemani Allan, aku masuk ke bangsal rumah sakit. Aku melihat seorang wanita yang masih kelihatan cantik sedang duduk di atas ranjang. Rambutnya kusut tak tersisir, wajahnya kusam memperlihatkan beberapa keriput di mata. Pandangannya jauh berkelana.

"Siapa nama ibu Gara?" Sosok wanita akhir empat puluhan yang tetap enak dipandang dengan bahunya yang kendur terlihat menyedihkan.

"Wimeka."

"Wimeka, nama yang cantik. Cantik seperti wajahnya." Dan mungkin Gara menuruni kecantikan ibunya namun versi laki-laki.

"Bisakah aku menemui Ibu Wimeka?"

"Coba kamu panggil dia dari sini."

"Allan, dari mana mereka mendapatkan uang untuk perawatan Ibu Wimeka di sini?"

Allan mundur. Dia menyandar di dinding lorong rumah sakit.

"Kudengar adiknya yang bekerja."

"Ya Allah..."

Akhirnya aku kembali melihat Ibu Wimeka yang hendak turun dari ranjangnya. Ia menurunkan kakinya satu-satu dari ranjang. Memakai sandal lalu berdiri di sisi tempat tidur. Dia membelakangi kami. Ibu Wimeka menghadap ke dinding beton yang diplester putih.

"Ibu... Kamu bisa mendengarku?" Tidak ada respon dari Ibu Wimeka.

"Aku juga kehilangan ayah. Aku hidup beduo (berdua) dengan ibu tapi kami saling menguatkan. Kami ada satu sama lain." Aku membasahi tenggorokan. Kurasakan mataku mulai perih.

"Kita memang kehilangan, Bu, tapi masih ada seseorang yang membutuhkan kita. Ibuku memiliki diriku, begitu juga aku masih memiliki ibuku. Kami memang tidak bisa melihat ayah lagi, tapi kami selalu berdoa untuk beliau. Hanya doa yang diminta oleh sosok yang pergi. Mereka tidak akan bahagia melihat kita hancur setelah kepergiannya."

Allan mendekatiku. Dia menarik tanganku. Aku lalu menepis tangannya. Aku belum selesai berbicara.

"Aku akan menceritakan kehidupanku agar Ibu tidak merasa mengalami hal menyakitkan ini sendirian. Ibu dengar, aku Siwi. Kita memiliki nama yang sama. Aku ingin Ibu juga bisa bangkit sepertiku setelah kepergian papi."

Akhirnya aku menjatuhkan air mata ketika mengingat papi. Aku bersyukur, mami tidak sampai sakit seperti Ibu Wimeka. Padahal, mami sangat manja kepada papi. Umur mami dan papi berbeda jauh. Kepada papilah mami menunjukkan sifat kekanakannya. Dia sangat kesal jika aku mengambil perhatian papi.

Tapi lihat, ketika papi sudah tidak ada, mami tetap tegar. Mami menjadi ayah sekaligus ibu bagiku. Mami mencarikanku jodoh terbaik, menjagaku dari teman laki-laki yang berniat ingin dekat. Dia memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu yang penuh cinta.

Aku tidak sadar ketika sudah berada dalam pelukan Allan.

***

"Maaf aku terlambat."

Aku harus balik lagi ke kampus untuk mengambil sepeda motor. Kutolak permintaan Allan yang ingin mengantarkan sampai rumah karena tak ingin membuatnya lelah. Allan tahu kalau rumah dan kampusku berdekatan. Dia tidak perlu khawatir aku pulang malam-malam.

"Kamu tidak memberi kabar."

Aku tahu. Harusnya aku mengirim pesan kepadanya. Tapi kondisinya tadi tidak membuatku memikirkan Lian.

"Maafkan aku."

"Oh ya, kamu sudah makan?"

Lian saat ini sedang memainkan game di laptop-nya. Aku pun duduk di sebelahnya. Tubuhku terasa lelah. Aku hanya ingin tidur, tidak untuk makan. "Aku tidak makan. Aku ingin langsung tidur."

"Baiklah. Kamu boleh tidur lebih dulu. Aku tidak akan mengganggumu." Aku membuka mata lalu memberikan Lian pelototan. Selalu saja ke arah sana pikirannya.

Lian melanjutkan keasyikannya dengan game.

***

"Wi! Wi! Kamu tidak minum susu?" Bahuku digoncang. Aku masih mengantuk dan mataku sangat enggan digerakkan.

Rasanya aku sedang bermain ayunan dengan seorang anak kecil. Setelah kupikir lagi, aku bukan bermain ayunan tapi berada dalam gendongan Lian. Dia bercerita sembari membebaskan kepalaku dari hijab yang kupakai. Dia pasti akan berhenti jika aku terbangun.

"Dia hanya marah karena aku mencarinya. Dia sedih karena kita menikah. Jangan khawatir, itu yang aku ucapkan. Siwi pasti mengerti, begitulah aku menenangkannya. Dia mengangguk dan menerimaku lagi." Lian mengusap dahiku pelan.

"Tapi dia tidak ingin kamu dan aku berpisah. Aku bingung, wanita itu maunya apa."

Lian menceritakan kekalutan yang dia rasakan. Lengkap. Bagaimana jika dia ingin menikah dengan Aqila tapi tidak melepaskanku?

"Maka kita selesaikan semuanya. Dia sudah kembali. Peranku sudah selesai." Lian menjauhkan tangannya. Matanya membelalak mengetahui aku yang telah mendengar isi hatinya.

"Wi. Maafkan aku sudah menghambat kehidupanmu. Seharusnya aku tidak melakukannya kepadamu. Aku minta maaf karena telah menyentuhmu." Lian berucap. Dia menjauh dari tempat tidur. Aku pun duduk, mengamati sekeliling. Ternyata benar aku telah dipindahkan ke kamar kami.

Ada yang bisa membuatku tidak bisa mendengar? Atau adakah alat yang dapat membuatku lupa ingatan? Aku tidak sanggup mendengar kata-kata suamiku yang menyesal telah menyentuhku.

Aku baru tahu ternyata rasanya sesakit ini menjadi orang ketiga.

Dengan segala upaya aku berusaha tersenyum kepadanya, "Aku akan membantumu bicara dengan Qila."

***


Bersambung

28 Oktober 2017

repost 16 Maret 2020

Okey repost selesai...😊😊 Nantikan part baru yah...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro