[09] Bulan Madu Sendiri
Aku pulang ke rumah mertuaku setelah beberapa malam menginap di rumah mami. Mengenai hal ini, aku telah membicarakannya dengan Lian. Dia mengizinkanku untuk bermalam di rumah mami saat ia dinas. Aku tahu, demamku memang belum sembuh benar. Tapi tidak ada salahnya aku berpura-pura sehat karena mami juga sudah percaya bahwa aku baik-baik saja.
Di sinilah aku, di kamar suamiku, Lian Wiratama Juanda. Kukira ketika aku tinggal di rumah ini, aku akan menemukan foto-foto kekasihnya. Aku sudah menyiapkan hati, ternyata tidak ada. Apakah lelaki memang seperti itu?
Jejak Aqila ada di dalam kepala dan hatinya.
“Kamu pulang.”
Aku memutar tubuhku yang sedang duduk di depan kaca rias. Tadi aku sedang mencari keberadaan foto-foto itu. Lian berjalan masuk dengan setelan kemeja yang sudah tidak rapi lagi. Sebelah sisi kemejanya masuk ke dalam pinggang celana dan sebelah lagi keluar. Dasi yang longgar dan kancing kemeja paling atas terlepas dari lubangnya.
Dia habis diserang badai. Bayangan Lian yang bermesraan dengan wanita lain menyergap kepalaku. Ya ampun. Aku telah berdosa memikirkan hal-hal buruk mengenai suamiku.
“Kamu sakit?” Suara Lian memudarkan fantasi terburukku itu.
Aku mengangkat wajah ke hadapannya, “Ya, tidak.”
Lian menaikkan alis sebelah.
“Maksudku, ya aku tidak sakit. Oh, kamu pasti ingin mandi. Biar aku siapkan air hangat.” Aku segera berdiri.
Kulihat Lian berjalan ke tempat tidur. Ia melepaskan dasinya dan mencampakkan ke lantai. Lian kenapa? Biasanya dia selalu rapi dan menempatkan sesuatu di tempatnya.
“Lian, pengaturan suhu air panasnya rusak!”
Rusaknya tidak tepat waktu. Padahal sekarang malam, tidak mungkin mandi dengan air dingin pukul sebelas malam.
“Biarkan saja. Aku akan mandi di kamar mandi luar nanti.”
Kuturuti Lian yang sudah berbaring. Aku memungut dasi yang dia buang tadi lalu meletakkan ke keranjang pakaian kotor. Juga menggeser letak koper yang dia taruh sembarangan tadi.
“Aku akan turun, kamu ingin minum sesuatu yang hangat?”
“Sepertimu.” Lian menjawab dengan bergumam sehingga aku antara mendengar dan tidak.
“Aku tidak paham, kamu ingin minum apa? Atau kamu langsung tidur?”
Aku bergerak mendekati Lian. Dia tengah memejamkan matanya, kelihatan capai sekali. Mungkin karena terlalu lelah, Lian berpenampilan yang kurang senonoh, membuatku berpikiran yang aneh-aneh.
“Buatkan susu seperti yang kamu minum.”
Ketika aku kembali ke kamar, Lian sudah segar. Dia mandi dengan air dingin? Dia memakai kaus putih dan celana tidur panjang.
“Tahan mandi tanpa air hangat?” Aku menyapanya yang tengah menyisir rambut basah.
“Segar. Wi. Apa kabar?”
Aku menoleh kepadanya. Lian kenapa aneh?
“Baik. Kamu sendiri bagaimana?”
Tuhan, ini kenapa kami menjadi dua orang asing yang bertanya kabar. Semacam, How are you? Yes I am fine and you? dalam belajar Bahasa Inggris ke kelas dua sekolah dasar.
“Aku tahu kamu tidak baik-baik saja.” Tiba-tiba Lian sudah berdiri di hadapanku dan menyentuhkan tangannya di dahiku.
“Ah, ini.” Seperti yang mami takutkan, jika aku sudah sakit maka akan lama sembuhnya.
Sisa-sisa panas itu masih belum pergi. Kepalaku masih terasa sakit.
“Aku memikirkanmu selama di sana.”
Tiba-tiba udara di ruangan ini berkurang. Sesak. Aku pun mundur dua langkah menjauhinya. Kuhirup udara banyak-banyak.
“Apakah kamu sakit? Kamu jarang sakit tapi ada kemungkinannya kamu bisa sakit karena hujan waktu itu. Kamu akan mengerjakan banyak hal supaya orang tidak tahu,” lanjutnya.
Ya Allah. Dia tahu semuanya. Apakah dia mengkhawatirkan diriku seperti aku yang mencemaskannya?
“Euforia hujan membuatku tidak berpikir banyak. Yang ada dalam pikiranku, kita menikmati hujan berdua, seperti yang selalu kamu ucapkan dahulu.”
“Hebat, kamu mengingatnya.” Aku bersikap malu-malu layaknya gadis muda yang dikedip seorang cowok most wanted sekolah.
“Kebetulan, momen itu membuatku mengingatnya. Kamu sudah ke rumah sakit?” Lian menaruh kedua tangannya di bahuku membuatku mendongak kepadanya.
“Ya, dipaksa mami.” Tapi tidak sampai mendapatkan pemeriksaan dari dokter.
Waktu itu, aku berlari ke mobil untuk menghindari pemeriksaan dokter. Mami yang tidak menyukai Allan dan siapa pun teman laki-lakiku segera melajukan mobil. Lianlah menantu mami dan sudah menjadi idaman sejak dahulu. Jadi, semua laki-laki yang berteman denganku tidak akan disukai oleh mami.
“Aku sudah meminta obat kepada mami.”
“Mana susunya?”
Aku segera memberikan satu gelas kepada Lian. Syukurlah, semenjak aku merayunya untuk minum susu, dia sudah mulai suka mengonsumsinya. Cairan cokelat pekat ini merupakan minuman sehat.
“Sebaiknya kamu istirahat, Lian.”
Aku meminum bagianku lalu meletakkan baki minuman di atas meja rias. Dua gelas kosong menjadi pemandangan jelek di kamar ini.
“Biarkan aku yang membawanya ke luar.” Lian segera keluar membawa gelas kosong itu.
***
“Kapan kamu kembali? Kamu sudah berjanji, Qila. Aku yang akan menjemputmu jika kamu undur waktunya.”
Aku menutup mataku, berpura-pura tidur. Untungnya aku tadi tidur dengan membelakangi Lian.
“Aku selalu menunggu. Kamu jangan melupakan janjimu. Aku akan melakukan apa yang ada dalam pikiranku yang kamu sendiri tidak akan pernah membayangkannya.”
Bulu kudukku berdiri mendengar ancamannya. Dia memang seperti itu, begitu pemaksa. Dia bertindak sesuai hatinya.
Aku tidak mendengar apa yang diucapkan Aqila, sepertinya dia mengangguki perintah Lian.
“Aku menunggu itu.” Lian terdiam mungkin Aqila sedang mengucapkan sesuatu. “Ya, aku tahu. Makanya aku tak akan membiarkanmu pergi lama-lama.”
“Miss you.” Lian meletakkan ponselnya.
Aku merasakan gerakan Lian berbaring. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya tengah kumainkan? Aku masuk di antara hubungan mereka dan aku memakai perasaanku.
Bagaimana ini, aku sudah terlanjur mencintai Lian kembali?
“Syukurlah kamu tidak panas lagi.” Lian bergeser ke dekatku dan merasakan keningku dengan punggung tangannya.
“Hhhm...” Aku membalikkan badan sehingga Lian menjauh memberikan keluangan untukku.
“Kamu tidak tidur?” tanyaku setelah membuka mata.
Aku mengusahakan tidur ketika Lian terlihat menginginkan sesuatu yang mulai kukenal. Aku membenamkan diri dalam selimut dan kembali membelakangi Lian. Aku tidak ingin menyerahkan diriku kepadanya ketika dia baru saja mengucapkan rindu kepada kekasihnya.
***
Kepergian mama dan papa mengunjungi kerabat menjadikan rumah besar ini sepi. Suamiku itu menelepon sebelum flight dan ketika tiba di hotel. Lelaki itu menghubungiku di setiap ada kesempatan. Dia bertanya aku sedang di mana, melakukan apa, dan sudah makan atau belum. Hal-hal tidak penting seperti itu, rasanya luar biasa membuatku bahagia.
Meskipun dia tidak mencintaiku, dia tidak sampai mengabaikanku. Dia kelihatan perhatian dan aku bisa merasakan kalau dia sungguh-sungguh, tanpa rekayasa ketika mengkhawatirkanku. Kami melakukannya di setiap ada kesempatan. Aku tidak tahu siapakah yang ada dalam kepala Lian ketika dia menyatukan kami. Aku hanya merasa bahagia karena masih diinginkan.
Jangan pikir aku akan membiarkan sesuatu bertumbuh di dalam diriku. Aku belum siap dengan itu. Oleh karena itu, aku sudah melalukan pencegahan kehamilan.
Lian pun tidak mengatakan apa-apa ketika dia tidak pernah menggunakan pengaman. Aku yakin, dia bahkan tidak berharap aku hamil. Jadi, untuk apa aku mengambil risiko berat ketika diam-diam aku mendengar Lian menelpon Aqila?
Ketika dia datang, aku akan terbuang.
Aku menggigit bibir dalam bagian bawah. Keheningan menjadi teman. Deru napas yang masih kuat menyaingi detak jantung kami yang perlahan menormal. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadanya. Sesuatu yang tadi ia sebutkan di akhir kegiatan kami. Tapi apakah aku kuat mendengar kejujurannya?
Lian. Aku melihat ke langit-langit kamar Lian yang remang.
Tanpa menoleh ke samping, aku tahu dia mengubah posisinya menghadap ke sisiku. Tapi aku akan tetap tidak menatapnya.
”Hhem.” Dia menyahut. Tangannya kini memainkan ujung rambutku yang menimpa pundakku. Sentuhan tangannya di bahu polosku terasa menyengat.
”Aku boleh bertanya?” Suaraku hampir hilang. Tangan Lian naik ke puncak kepalaku, menyibak rambutku yang menutup dahi.
”Apa?”
Aku ingin bertanya, kenapa dia menyebut nama Qila. Walaupun baru sekali, aku tetap merasa ini sebagai musibah. Aku merasa hina sekali.
”Kita masih berteman?” Aku menutup mataku ketika Lian bergeser mendekapku dengan sebelah tangannya. Kepalanya ia surukkan ke leherku.
”Heem.” Dan itu berarti iya.
Kalau kita berteman, kamu tidak akan memarahiku?
Lian melepaskanku. Kini kami sama-sama menatap langit-langit.
Karena kamu teman, jadi aku akan bertanya langsung.
Lian diam tidak menjawab sepatah kata pun.
”Aku ini wanita. Kamu tahu, aku tidak nyaman ketika kamu melakukannya denganku tapi kamu memikirkan orang lain.”
Lian membuang napas. Dia bertanya lirih, ”Kamu berpikiran seperti itu?”
”Sebelumnya tidak. Tapi, tadi kamu menyebut namanya. Apakah aku yang salah dengar?”
”Siwi, kamu tahu, dia adalah dia dan kamu adalah kamu. Siwi. Kamu berharap aku memikirkan dia?” Lian bertanya retoris.
”Wanita manapun tidak akan sudi jika suaminya menganggap ia wanita lain di saat melakukan sambung raga.”
”Percayalah. Aku tidak pernah menganggapmu orang lain.”
Bisakah aku memegang kata-katanya?
Baiklah, aku akan percaya.
Kepercayaan dalam suatu hubungan itu sangat penting dan aku tidak ingin merusaknya. Hanya Lian dan Tuhan yang tahu dia berkata jujur atau bohong.
***
Beberapa hari ini Lian selalu mengeluh. Ia pulang dengan lesu dan tidak bersemangat.
Dia tidak mau menemuiku. Lian bercerita dengan wajah frustrasi.
Dia merebahkan kepalanya di atas pangkuanku. Kakinya melampaui sofa. Aku membantu melepaskan dasinya. Kuusap rambutnya yang sudah sedikit panjang. Tuhan, aku sangat mencintai lelaki ini. Bisakah Kamu berikan apa yang dia pinta?
Dia bersembunyi dariku.
Sejak Aqila kembali, Lian berubah seperti anak kecil. Datang mengadu kepadaku seperti ini. Apa yang bisa kubantu?
”Kenapa dia melakukan ini? Meninggalkanku, meminta kita menikah, lalu kembali tapi tidak benar-benar kembali.”
Lian menutup matanya yang lelah. Kamu hanya ditunda, sedangkan aku sudah ditolak. Kamu hanya menunggu waktu untuk bahagia tapi aku menunggu waktu untuk ke neraka.
”Kamu diminta untuk memperjuangkan apa yang kamu inginkan. Dia hanya mengujimu apakah kamu gigih atau tidak. Wanita memang seperti itu. Apalagi status sudah berubah.”
Lian duduk. Matanya mulai awas.
”Wi, seandainya.”
Aku tahu, aku akan sakit mendengar lanjutan Lian.
Aku menggigit bibir bagian dalam kuat-kuat, kusiapkan hatiku untuk ini.
”Kamu boleh menyerah jika sudah lelah.”
Ya aku tahu maksud Lian. Dia tidak akan menceraikanku jika aku tidak meminta.
”Kenapa bukan kamu saja yang melakukannya? Aku akan terima apa pun keputusanmu.”
”Aku tidak akan melukaimu hanya karena aku. Lian tersenyum.”
***
Bersambung.
©Sumsel, 27 Oktober 2017
Repost 15 Maret 2020
Siwi come back.
Satu lagi, part baru yaa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro