Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[08] Malam Pertama Binasa

Jangan harap akan melihat karakter gila dan kuat kayak Samsons di sini. Siwi itu gadis yg hatinya lembut selembut bibir perawan. Eeeh sorry, maksudnya sifat dia lembut kayak mimi peri, istilahnya dia itu 'iya-iya' gitu.

Aauk baca deh. Hehehee.. Ini lapak udah usang banget. Cuma karena ada teman yang minta cerita ini dilanjut dan gk mampir ke cerita lain KaSev kecuali ini, jd aku putuskan buat rekonstruksi mood dan repost cerita ini. Hahahaa

Insya Allah part baru menyusul setelah selesai repost.
Yang sudah baca, masih ingat nggak cerita ini sudah part berapa dulu?

💋
💋
💋
💋
💋
💋
💋

8 Malam Pertama Binasa

"Terima kasih, Siwi."

Aku segera memejamkan mata dan menarik selimut hingga menyisakan kepalaku saja. Keheningan malam membuatku menjelajah ke mana-mana. Memikirkan ucapan terima kasih yang dibisikkannya setelah mengambil hal yang selama ini kujaga untuk suamiku.

Sejak kapan kalimat terima kasih terasa menyedihkan? Bisakah dia tidak mengatakannya? Kalimat itu terlanjur menembus telinga, masuk ke rongga dada, dan menyelinap ke pikiranku. Tak bisa ditarik.

Aku memiringkan tubuh ke kiri, mengeluarkan tangan dari selimut untuk mengganjal kepala. Mataku mengerjab-kerjab, mengedip ulah malu melihat wajah Lian yang tidur dalam damai. Buliran peluh belum hilang dari dahinya. Tanganku tanpa perantara saraf sensoris bergerak ke dahinya, menghapus buliran yang terbit itu.

Lian tertidur dengan tenang.

Mantan laki-laki nakal ini adalah suamiku sekarang. Sisa-sisa kejahilan masa anak-anak hingga remajanya tidak tampak sama sekali, kecuali jahil dalam hal membuatku kesal.

Sebelum menjadi pacarku, dia sangat menyebalkan. Suatu sore, ketika aku tengah menulis dalam buku diary-ku, tiba-tiba dia menarik buku itu. Dia membaca keras-keras sambil terbahak di setiap kalimat.

Keesokannya, dia mengumpulkan teman-teman di kelas lalu berlagak ingin menyampaikan sebuah pengumuman. Namun, dia mengucapkan curhatanku dalam diary-ku yang dia hafal.

Hai Pangeran, tadi malam aku bermimpi

Kamu datang dengan dua sayap putih

Mendarat di depan pintu hati

Lalu kamu ulurkan satu sayap putih

Ajak aku terbang tinggi

Bersamamu capai pelangi

Lalu kuretas senyum euforia bahagia

Sebab kamu ternyata belahan jiwa

Siwi! Kamu bilang kamu bangga

Siwi adalah sayap indahmu

Dan aku adalah siwimu

Lian bahkan mampu mengulangi larik demi larik puisi yang kutulis. Perbuatannya membuat teman sekelas kami bergempita mentertawakanku. Saat itu aku sudah kelas VIII dan selama satu tahun kemudian, sampai tamat dari SMP, aku menjadi bahan tertawaan mereka. Setelah kejadian itu, Lian semakin suka mengerjaiku dengan berbagai kenakalannya. Saat itu aku sering menangis di sekolah.

Lian mengikutiku bersekolah di SMA tujuanku meski aku telah memilih sekolah terjauh dari kompleks kami. Aku menyembunyikan diri ketika mengetahui bahwa Lian tidak berada pada kelas yang sama denganku. Bahkan aku sampai menarik napas lega melihat teman satu kelasku, bukanlah orang-orang yang dahulunya mem-bully-ku. Akhirnya, aku dapat belajar dengan tenang di dalam kelas. Namun, begitu keluar kelas aku menjadi was-was, seperti ketika waktu istirahat dan jam pulang tiba. Aku takut diketemukan Lian.

"Kenapa tidak ke kantin, Wi?"

Madoni, sang ketua kelas yang biasanya acuh mengagetkan aku yang sedang mengeluarkan kotak bekal. Ia duduk di bangku depan mejaku membelakangi papan tulis.

"Aku membawa makanan dari rumah."

Sejak Madoni melihat dan menyadari keberadaan Siwi, perkara yang paling kutakuti pun terjadi.

"Waaaah... Kamu mulai didekati si ketua kelas itu, heh?!"

Seperti biasanya, Lian dengan seenaknya 'menyelonong' masuk ke kamarku. Seperti biasa juga aku tidak berniat meladeninya.

"Pulang dan pergi denganku. Kalau kamu menolak, lihat apa yang akan kulakukan dalam kehidupan sekolahmu yang sekarang."

Walaupun sudah diancam, aku tetap dengan pendirianku, menghindari Lian. Aku pergi sendiri dengan angkutan umum dan pulang dengan menyelinap di antara para siswa.

Tapi hal itu hanya terjadi selama dua hari saja sejak Lian mengikrarkan ancamannya. Siang itu, aku melihat Lian di tengah lapangan dengan TOA di tangan. Ia memberikan sebuah pengumuman yang membuat tubuhku dialiri keringat hebat.

"Perhatian... Perhatian... Saya, Lian Wiratama kelas X4 sedang mencari seseorang."

Desakan siswa yang tadinya bersemangat untuk mencapai gerbang seketika berhenti setelah mendengarkan suara Lian.

"Tolong lihat di kanan dan kiri kalian, jika menemukan Siwi Aurora kelas X7, bawakan dia kepada saya. Sekali lagi... Jika kalian melihat Siwi Aurora, bawakan dia kemari."

Saat kakiku sudah gemetar akibat cemas, tubuhku terdorong ke tengah lapangan dan nyaris menabrak Lian. Aku mulai berpikiran buruk.

Lian memegang pergelanganku, mengangkat tangan kami ke udara layaknya sang juara dalam olimpiade olahraga nasional.

"Perhatian! Kalian semua harus tahu bahwa gadis ini, Siwi Aurora, adalah pacarku, Lian Wiratama."

Mataku membesar. Lalu aku ditarik lebih dekat dan Lian kembali berseru, "Jangan ada yang mendekati, mengganggu, atau mencoba untuk mengambilnya dari Lian Wiratama!"

Sejak deklarasi yang dilakukan Lian, banyak hal tak terduga yang dilakukannya hingga diam-diam dia mampu menyelinapkan diri ke dalam hatiku.

Pengalaman masa lalu yang buruk itu ditutup dengan manis. Meskipun akhirnya aku dan Lian menjadi teman jauh, tapi tidak ada dendam dan sakit hati. Kami putus bukan karena orang ketiga tapi karena aku ingin memegang prinsip baru—tidak ingin berpacaran.

Kantuk datang. Aku ingin terlelap. Semoga dalam tidurku nanti bermimpi hal yang indah.

"Qila."

Mataku yang sudah hampir menutup kembali terbuka mendengar Lian menyebut nama Aqila. Matanya masih terpejam. Ada sedikit pergerakan pada kelopaknya. Seiring dengan perih yang kurasakan pada dadaku, aku berbalik membelakanginya.

"Oh Tuhan, bahkan dalam mimpinya sekali pun aku tidak memiliki tempat sama sekali. Meskipun begitu, seharusnya dia tidak menyebut nama wanita lain di sebelahku. Itu membuat diriku merasa rendah sekali bahkan lebih rendah dari wanita tunasusila."

***

"Ya ampun, kau panas nian. Cepat habisi susu dan siap-siap, kito ke rumah sakit sekarang!"

"Aku tidak sakit. Hanya panas sedikit, aku akan minum obat sehabis ini."

"Lah besak mak ini (Sudah sebesar ini), masih takut ke rumah sakit. Ckckck... Ya sudah, istirahatlah. Agek mon (Nanti ketika) Mami masuk, panas kau lah turun!"

Aku mengangguk. Dengan lemah aku kembali ke kamar. Oh, aku juga tidak lupa membawa segelas air untuk minum obat.

Tadi pagi aku terbangun tanpa Lian. Sakit hati? Itu mungkin awal dari sakit yang akan selalu kudapat ke depan nanti karena ulahku sendiri yang memakai hati dalam hubungan ini.

***

Aku menemukannya di antara obat-obatan, tersembunyi di dalam tabung obat sakit kepala. Penjaga apotek mengatakan morning-after pill merupakan pil kontrasepsi darurat. Semoga ini pilihan yang tepat. Meskipun ada yang mengatakan ini sama dengan membunuh, aku tidak peduli. Aku tidak ingin hamil ketika belum tahu mau dibawa kemana pernikahan kami.

Setelah meminum pil itu, aku memilih bergelung lagi di dalam selimut. Semoga suhu tubuhku segera turun saat mami mengecek kemari karena aku tidak jadi minum obat pereda demam. Aku takut akan terjadi komplikasi di dalam tubuhku.

Suara getar ponsel mengganggu tidurku, membuatku sedikit kesal kepada siapa pun yang sedang mencoba menggangguku.

Walaupun kesal, aku juga harus menerima telepon siapa tahu ada mahasiswa yang membutuhkanku. Ternyata hanya Lian. Lian!! Kenapa dia menghubungiku?

Aku terlonjak bangun dari posisi berbaring. Suara getar hilang dan ponselku bergeming tanpa cahaya. Hingga beberapa menit kutunggu, Lian belum menghubungiku ulang.

***

"Wi... Siwi!!!"

Aku membuka mata saat mami masuk ke kamar dengan terburu-buru. Mami melesakkan tubuhnya di sebelahku lalu menyentuh dahiku seperti pagi tadi.

"Ya Allah... Kamu sakit, Wi. Diminum idak obatnyo?"

Suara mami yang keras membikin kepalaku semakin berat. Biasanya aku tidak pernah sakit jika diguyur hujan. Mungkin itu karena kebiasaan minum susu mampu menjaga daya tahan tubuhku. Tapi saat ini, badanku tidak enak, kepala terasa ditinju dan mulut terasa pahit.

Kemarin hujannya lebat sekali.

"Payo ke rumah sakit," ujar mami final.

"Mi... Lian baik-baik saja? Dia sakit juga?"

Mami mendengkus, "Kalau dia sakit, dia tidak flight. Tentu saja dia akan diperiksa apakah layak bekerja atau tidak."

Mami mengambil sepotong hijab panjang dari dalam lemari khusus hijabku. Setelah mami menyerahkan benda berwarna hijau pastel itu ke tanganku, aku langsung menyorongkannya ke kepala.

"Siwi tidak ingin ke rumah sakit, please!"

"Demi kesehatanmu. Kau ni kalau lah demam pacak lamo sembuhnyo," terang mami. Mami mengambil tanganku dan menarikku keluar.

***

"Tunggu di sini. Mami harus balik ke mobil, caknyo (sepertinya) dompet Mami ketinggalan."

Aku hanya mengangguk lalu menyandarkan kepalaku di kepala kursi rumah sakit. Bau pesakit membuat kepalaku semakin berdenyut nyeri.

Seseorang memanggil namaku ketika aku baru saja memejamkan mata.

"Oooh... Allan," seruku girang.

Ya ampun, aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Allan. Dia tidak banyak berubah, hanya bertambah tampan dan untung aku tidak sampai pangling.

"Siwi, kamu—"

Allan segera membantuku yang sedikit terhuyung ketika berdiri. Aku harus duduk lagi.

Kurasa kepalaku mesti di-rontgen untuk mengetahui masalah apa yang tengah dipikulnya. Masa hanya karena hujan, kepalaku terasa akan meledak seperti ini?

"Kamu panas sekali." Allan melepaskan tangannya dariku setelah membantuku duduk kembali.

"Hanya sedikit demam akibat kehujanan kemarin."

"Kamu datang dengan siapa?"

Allan tetap berdiri di depanku. Dia saat ini memakai kemeja hitam yang pas membalut tubuh berototnya. Tidak ada tonjolan di perutnya yang biasa kulihat di perut-perut para polisi. Mungkin Allan rajin menjaga bentuk badannya.

"Mamiku. Dia sedang mengambil sesuatu yang ketinggalan di mobil."

"Allan, siapa yang sakit?" Aku balik bertanya karena melihat Allan sepertinya kehabisan stok obrolan.

"Aku mengunjungi kerabat rekanku yang dirawat di sini." Allan menjawab lancar.

"Sebaiknya kamu beristirahat. Aku akan menemani sampai ibumu kembali."

Sesi obrolan ditutup. Allan melipat tangannya di dada, layaknya seorang body guard Siwi.

"Apa yang kamu tertawakan?"

Aku mengatakan itu bukan hal penting. Allan pun tidak mempertanyakannya lagi.

Bertemu Allan, aku ingat Gara. Bagaimana kabar pemuda itu saat ini?

"Wiii.... Cak mano ini, ruponyo Mami idak bawak (Bagaimana ini, ternyata Mami tidak membawanya)?"

Mami dengan wajah kusutnya datang mendekat ke bangkuku. Ia ikut mendaratkan tubuhnya di sebelahku. Menyembunyikan kepala dalam sebuah tundukan, Mami bernapas dengan keras.

"Mami tidak membawa dompet?"

Aku juga tidak.

"Kita balik saja. Aku sudah tidak apa-apa. Kita tak perlu mengunjungi tempat ini sedari awal."

"Tidak bisa. Kamu harus mendapatkan obat sesegera mungkin. Kamu bisa semakin drop jika tidak diobati." Mami berdiri.

"Biarkan saya membantu Ibu." Aku dan mami menoleh kepada Allan. "Saya temannya Siwi. Allan." Allan mengulurkan tangannya kepada mami.

***


Bersambung.

©Palembang, 15 Oktober 2017

Repost 21 Januari 2018

Repost 14 Maret 2020

Kepada kamu yang telah pergi, aku tulis kisah ini untuk memanggil ketenanganmu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro