Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[06] Reuni Rumah Merpati

6 Reuni Rumah Merpati


Jam digital di meja kabinet menunjukkan angka 08:04 WIB. Setelah melirik jam kotak yang kubeli saat liburan ke Bali tahun lalu, aku menutup mataku lagi. Empuknya tempat tidur membuat tubuhku ingin berlama-lama dibaringkan. Seperti inilah asyiknya jika sedang dapat palang merah. Bangun tidur bisa dinegosiasi. Sayangnya, panggilan alam tidak bisa ditunda.

Kuempaskan tangan Lian yang dia taruh sembarangan di atas perutku. Pantas saja, panggilan alamku semakin menyiksa sebab ada tangan lain yang menimpanya. Lian kelihatan terganggu. Aku abaikan dia dan masuk ke kamar mandi.

Setelah menuntaskan segala urusan, aku kembali lagi ke kamar. Lian masih tidur.

Aku keluar menuju balkon setelah memakai hijab instan. Mendung menggelayuti langit. Awan samar-samar terlihat bergerak entah ia ingin menjauh atau menjatuhkan airnya di kota ini. Sepertinya awan belum puas setelah mengguyurkan air matanya semalaman.

Dari sini aku bisa melihat papa mertuaku berjalan ke mobilnya dengan diantar Mama Nora. Mereka memang pasangan yang berbahagia. Ketika akan berbalik masuk ke rumah, pandangan Mama Nora tertuju kepadaku. Mama tersenyum dan melambaikan tangannya. Mama pasti berpikir yang macam-macam.

"Aaah astagfirullah!!!"

Aku nyaris terkena serangan akibat kedatangan Lian yang tiba-tiba. Dia tersenyum tipis atas reaksi kagetku. Aku melanjutkan niatku untuk masuk lagi ke kamar. Namun, langkahku tertahan saat tanganku ditarik oleh Lian.

"Mau yang geli-geli lagi tidak?"

Aku melepaskan tanganku darinya. Kakiku kuayun cepat ke dalam. Celakanya, kakiku terserimpet oleh gaunku sendiri. Hidungku hampir saja mencium lantai. Untung ada tangan Lian yang memeluk pinggangku sebelum bibirku bersentuhan dengan ubin yang keras.

Tidak mudah mengajarkan jantung, organ yang bekerja paling dahsyat, saat bersentuhan seperti ini. Waktu lagi-lagi seolah berhenti. Aku menelan saliva sebelum berbicara. "Bisa lepaskan? A-aku sudah bisa berdiri," ucapku gelagapan.

Dia mengingatkanku kepada hal paling memalukan kemarin. Ketika Lian menciumku, aku mendorongnya dengan kuat.

"Sedang memikirkan apa?"

Mengembuskan napas beberapa kali, akhirnya aku dapat menenangkan diri. Aku harus segera menjauh dari lelaki itu jika tidak ingin perasaanku berkembang kepadanya. Betapa malunya nanti jika aku menyukai Lian hanya karena ciuman!

"Lian, ayo sarapan ke bawah!"

"Aku mandi dulu."

"Oh iya, sebentar aku ambilkan handukmu."

Kalau handuk, aku ada. Tapi baju ganti untuk Lian tidak ada.

"Kenapa, Wi?" Lian datang ke sampingku. Dia melilaukan matanya ke susunan bajuku dalam lemari pakaian.

"Aku tidak memiliki baju untuk kamu pakai," ucapku.

Lian tertawa ringan.

"Aku hanya akan mandi, tidak harus mengganti pakaianku. Aku tidak bau, 'kan?" Lian mencium lengan atas bajunya.

Aku menggeleng. Lian tersenyum. Dia manis sekali. Senyumannya membuat api-api kecil dalam hatiku menyala. Bibirku ikut tertarik melihat senyuman yang sampai ke matanya. Beberapa menit kami lalui dalam senyuman tanpa kata. Aku memutuskan bahwa sudah waktunya aku memberi makan lelaki itu.

"Aku akan menyiapkan makanan untukmu," putusku.

"Tidak bisakah kamu buatkan aku segelas susu seperti yang kamu minum setiap hari?" Lian menahan langkahku yang hampir melewati pintu dengan pertanyaannya.

Aku mengangkat tangan kanan dan membentuk tanda oke menggunakan ibu jari dan telunjuk. Debaman pintu kamar mandi akhirnya menenggelamkan sosok Lian di baliknya.

***

"Eekheeeem." Aku menoleh ke sebelah kiri dan mendapati mami sedang melipat tangan di perutnya.

"Senang disusul suami?" Mami berbisik di telingaku saat aku selesai mengaduk susu. "Sepertinya kalian bernostalgia masa-masa berpacaran dulu." Mami mengedipkan sebelah matanya.

"Dulu kami tidak melakukan apa-apa."

"Hahahahaa... Jadi kalau dulu tidak melakukan apa-apa, sekarang pasti melakukan apa-apa?" bisik mami pelan dan kedengaran seperti ia berteriak di telingaku. Aku lebih memilih omelan mami daripada godaan mami.

"Ekhem. Mami bikin kesal aja pagi-pagi."

Dua gelas susu cokelat sudah jadi. Lebih baik aku kembali ke dalam dan menghindari mami yang sedang terkena penyakit nakal.

"Kamu ingat apa yang kamu janjikan kemarin?"

"Aku berjanji untuk apa?"

"Kamu akan melahirkan cucu Mami setahun lagi," bisik mami.

Dengan kesal, aku berbalik dan berteriak, "Iya makanya jangan ganggu dan goda aku dengan kata-kata Mami itu. Aku akan melahirkan cucu yang banyak untuk Mami!!"

Setelah berteriak, aku membawa baki susu ke lantai atas. Pintu kamar masih sama terbukanya seperti tadi. Aku tidak harus kesusahan saat membukanya dengan dua tangan memegang baki minuman.

Kamar kosong.

Kuletakkan susu di atas meja. Lebih baik aku habiskan bagianku dulu sembari menunggu Lian selesai mandi.

Lian baru saja menutup pintu kamar.

Jadi, dia tadi dari luar?

"Kamu sudah selesai. Kukira masih mandi," ucapku setelah mengosongkan satu gelas susu cokelat.

"Ini untukmu." Kuberikan gelas yang masih penuh kepada Lian.

Lian menerimanya lalu menghabiskan susu dalam gelas dalam beberapa teguk. Ia meletakkan gelas ke atas baki di atas meja kabinet. Ia ikut duduk di pinggiran ranjang bersamaku.

"Tuh, lihat! Siapa yang seperti anak kecil." Aku menaikkan tanganku ke wajahnya hendak menyeka sudut bibir Lian dengan ibu jari.

Lian menangkap tanganku. Matanya menusuk ke bola mataku sehingga membuatku dilanda gugup setengah duduk. Aku menelan saliva.

"Ada apa?"

"Mama bilang kamu belum solat," bisik Lian. Entah kenapa aku sepertinya mendengar maksud lain dalam pertanyaannya.

Aku mengangguk. "Aku sedang tidak solat," jawabku. Aku menurunkan tanganku dari pundaknya. Sedikit beringsut mundur dan melihat wajahnya yang merah.

Sebelum keberanianku berceceran, aku harus bertanya kenapa dia melakukan sentuhan fisik padahal kami hanyalah teman. Namun, baru saja akan berbicara Lian kembali membungkam bibirku seperti semalam hingga membuatku kehilangan oksigen beberapa saat.

"Lian, kenapa kamu melakukan ini kepadaku?"

"Menciummu?"

Aku mengangguk.

"Hanya karena aku ingin," ucapnya.

Beberapa saat dia diam ketika aku memikirkan jawabannya. Apakah aku berharap dia menyukaiku? Siwi bodoh!

"Kenapa kamu tidak menolakku seperti dulu?"

"Karena aku istrimu." Aku membuang pandangan ke arah lain.

"Aku sudah tahu. Karena itulah kamu memutuskanku dahulu?"

Mataku melebar. Aku kembali melihat kepada lawan bicaraku. Ini tidak benar. Lian menuduhku.

"Karena aku menginginkamu?" desak Lian.

Aku memutuskan hubungan dengan Lian bukan karena hal itu.

"Aku sudah melupakannya. Jangan diungkit-ungkit lagi."

"Semudah itu kamu membuang perasaanmu dan melemparkanku jauh-jauh?"

Sekarang ini aku bingung. Kenapa dia harus mengungkit masa lalu? Bukankah dia sudah melupakan hubungan kami dan hanya menganggap aku teman, bukan mantan kekasih?

"Jelas-jelas kamu memutuskan aku karena hal itu. Kamu takut aku merusakmu? Sayang sekali, aku tidak sempat membuktikan kalau aku bisa menghormati prinsipmu."

"Kita turun ke bawah! Mungkin kamar ini membuat kamu memikirkan yang jelek-jelek. Hey, lupakan masalah itu. Bukankah sebelumnya kita sama-sama tidak mengingatnya?!"

Bukankah kita sudah mendeklarasikan teman yang sesungguhnya? Kalau kamu mengungkit hal lampau yang tidak menyenangkan, kita akan berakhir dalam hubungan buruk. Apakah yang lama itu sebenarnya belum selesai dengan damai?

Sebelum ini, kami hanya menjadi teman karena aku adalah sahabat Aqila dan Lian adalah kekasihnya. Hanya sebatas tegur sapa sedikit yang entah kenapa ada suatu batas yang tak kasat mata antara kami sejak aku memutuskan Lian.

"Lian."

Lian tersenyum. Dia berjalan ke dekatku, melingkarkan tangannya di pinggangku. Kelakuannya membuatku gerah.

"Kamu akan melahirkan cucu yang banyak untuk mami? Seberapa banyak?"

Apa? Lian mendengarkan teriakan konyolku tadi?

Aku segera melepaskan tangannya. Cukup. Aku tidak ingin dipermalukan lagi. Kenapa Lian senang sekali membuatku merasa konyol? Kukira dia sudah berubah sejak berpacaran dengan Aqila.

Lian yang kukenal merupakan searang lelaki yang hanya tersenyum dan tidak sampai tertawa lepas terlebih sampai membuat sebuah lelucon untuk lawan bicaranya. Apalagi untuk mem-bully lawan bicaranya, Lian sudah tidak melakukannya sejak aku tidak lagi dekat dengannya. Dia begitu irit bicara.

"Kamu kira cucu-cucu itu bisa kamu lahirkan begitu saja? Kamu harus melakukan sesuatu agar kamu bisa ham—"

"LIAN!! Jaga bicaramu! Sepertinya kamu telah ditegur penunggu pohon mangga. Ayo keluar dari sini. Kamu tidak bisa lama-lama berada di kamar ini!"

Aku menarik tangan Lian keluar. Aku tidak ingin bertemu dia setelah ini. Begitu memalukannya apa yang sudah kuteriakkan tadi. Seharusnya aku tidak berbicara begitu.

"Kapan kamu selesai liburan?" tanyanya.

***

bersambung ....

OKI, 13 Maret 2020

JAdiii... happy reading dan selamat mengikuti kisah SL.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro