Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[03] Permintaan Calon Pengantin

Permintaan Calon Pengantin

Boleh vote kok sebelum baca..😊😊


"Wi, tolong Mama antarkan perhiasan ini kepada Tante Stella bersama Lian. Kalau cuman menyuruh Lian, Mama takut perhiasan ini tidak aman. Lian itu ceroboh tentang barang yang kecil-kecil. Harga perhiasan meskipun ukurannya kecil, bisa sampai ratusan juta."

Aku menggaruk ujung mataku serba salah. Pergi dengan Lian hanya akan terjebak dalam kecanggungan. Saat aku sedang berpikir, Lian keluar dari kamarnya.

"Sini, Li. Perhiasannya biar Siwi yang simpan. Kamu cukup antarkan Siwi sampai rumah Tante Stella. Sampai di sana, jangan langsung pulang. Kalau diajak mampir, ya, terima karena kalian bukan kurir. Kepala Mama pusing sekali. Mama butuh tidur untuk meredakannya."

"Mama harus benaran istirahat," kata Lian. Dia menuntun tangan mamanya ke kamar.

"Ayo, Wi."

Dalam perjalanan ke rumah Tante Stella, Lian hanya melihat ke jalanan di depan kami. Lian sangat irit berbicara. Aku paling bingung saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Sepertinya Lian biasa saja. Aku berkali-kali mengembuskan napas ketika melirik dia yang begitu fokus ke jalan.

"Lihat ponselku, Wi, ini nomor rumahnya benar 32C atau bukan?"

Aku mengambil ponsel Lian di dashboard.

"Terkunci," kataku.

"Merpati."

"Apa?"

"Kuncinya. Merpati."

Ketika mengaktifkan layar ponsel Lian, aku kaget dengan wallpaper ponselnya, punggung wanita berhijab. Jantungku berdetak beberapa detik kemudian segera kucari nomor rumah Tante Stella di pesan dari Mama Nora.

Tante Stella menyambut kami bagaikan teman anaknya. Dia menceritakan hubungan pertemanannya dengan Mama Nora. Beliau begitu kaget ketika kukatakan bahwa aku anak Pratiwi. Kata Tante Stella, dunia begitu sempit. Mamiku dan Tante Stella dulu pernah berebutan lelaki. Mamiku yang akhirnya mendapatkan cinta papi. Tante Stella menganggap lucu hal itu hingga sepanjang bercerita ia banyak tertawa.

"Tante jadi iri. Nora dan Pratiwi kenapa bisa beruntung terus? Kalian begitu cocok. Coba saja kalian punya saudara perempuan, akan Tante jodohkan dengan anak laki-laki Tante. Jadi, kapan rencananya kalian menikah?"

"Kami tidak seperti itu, Tante. Lian memang akan menikah tapi bukan dengan Siwi."

"Jadi bukan kamu?" tanya Tante Stella dengan kedua mata melebar. "Ah, syukurlah. Tante bisa jadikan kamu menantu Tante. Pinjam ponsel. Tante harus simpan nomor kontak kamu."

Aku tersenyum. Bukankah menarik? Apa salahnya aku mencoba? Bisa saja anak Tante Stella menarik hatiku.

"Kamu dosen?" tanya Tante Stella sambil mengetik nomornya di ponselku. "Anak Tante polisi. Kalian pasti akan jadi pasangan serasi."

Kalau setampan Allan, aku tidak akan menolak.

"Tante, kami harus pamit dulu. Saya harus mengurus sesuatu sepulang dari sini," kata Lian memutus khayalanku.

"Aah, begitu. Siwi, kalau sedang tidak sibuk, main ke rumah Tante, ya. Lain kali Tante akan minta anak Tante jemput kamu."

Aku mengangguk.

"Kalau begitu permisi, Tante." Lian berdiri. Posisinya tidak seberapa jauh jika aku berdiri.

"Siwi juga pamit Tante."

"Kamu kelihatan tertarik dengan tawaran Tante Stella?" Lian bertanya padaku saat kami telah duduk dalam mobil menuju ke rumah.

Aneh. Biasanya dia selalu diam.

"Aku mencoba ramah dengan teman lama mami."

"Kelihatannya tidak seperti itu."

Aku tertawa dengan menampakkan gigiku.

"Aku punya teman seorang polisi. Tadi aku memikirkan kalau anak Tante Stella setampan temanku itu."

"Kamu sudah tidak cocok mengkhayal seperti anak remaja."

"Yaaa aku tahu. Aku harap, aku juga akan segera bertemu jodohku."

Lian tidak menanggapi. Tapi aku senang. Aku bisa melanglang buana dalam khayalanku secara bebas tanpa gangguan manusia irit bicara di sebelahku itu.

***

"Kamu pilih gaun yang mana?"

Aqila memamerkan dua gaun yang tempo hari berhasil aku bawa pulang. Waktu itu aku harus naik taksi karena sepeda motorku hilang. Ulah terlampau panik, aku salah sebut alamat. Taksi berhenti di kompleks yang sangat jauh dari kompleks perumahanku. Aku jadi parno lalu keluar tanpa membayar taksi.

"Hoi Siwi! Melamun! Mana gaun yang bagus menurutmu?"

"Aku suka yang putih."

Aqila memisahkan gaun putih tersebut dan menaruh gaun yang satu lagi ke dalam lemari.

"Kurasa jodohmu juga semakin dekat."

"Kamu membuatku berharap."

"Jadi, pernikahan seperti apa yang kamu impikan, Siwi?"

***

Aku bertemu Allan ketika ingin mengambil sepeda motorku di Pengadilan Negeri. Kami memilih tempat minum kopi di kafe dekat PN. Wakasek Reskrim AKP Allan Hanafi Syaid. Begitu yang kulihat di ruangan Allan dahulu. Dia orang hebat. Dia mampu menarik hatiku. Tapi juga membuatku takut dengan karismanya. Dia harus kutunjukkan kepada mami. Allan mungkin bisa menggeser posisi Lian dari khayalan mami. Namun, apa yang harus kulakukan agar Allan mau denganku?

Percaya diri sekali kamu Siwi! Apakah menurutmu Allan belum memiliki kekasih? Seperti apa kira-kira wanita yang menjadi pasangan Allan?

Mengobrol dengan Allan membuatku jadi lupa waktu. Aku sampai melalaikan janjiku kepada Aqila untuk membantu persiapan pernikahannya. Ketika bertamu ke rumah Lian, lelaki itu tidak bicara sepatah kata pun. Dia menggiringku menuju ruangan televisi. Di sana ada Aqila dan Mama Nora. Mereka tengah merangkai bunga.

"Assalamualaikum, Mama. Hay, Qi."

"Siwi." Mama Nora meraih tanganku untuk duduk di sebelahnya. "Aqila katanya ingin belajar merangkai bunga."

"Oh, ya? Bagaimana persiapan pernikahan kalian?"

"Beres. Sekarang aku tinggal mempersiapkan diri." Aqila berkata tanpa melepas pandangan dari bunga di tangannya.

"Sebenarnya Mama ingin pernikahan mereka sederhana saja. Mengingat Lian dan Aqila sama-sama sibuk. Jika memang mau pesta yang lebih besar, baiknya mereka memakai tenaga bantuan. Tapi Lian dan Qila bersikeras melakukan semua sendirian. Mama bisa apa. Padahal semakin cepat mereka menikah, semakin cepat Mama menggendong cucu."

"Sebentar lagi, Ma. Boleh aku berbicara dengan Siwi di luar? Aku ingin memberitahu hal yang dapat dia lakukan." Aqila berdiri. Diikuti diriku, Aqila menuju ke belakang rumah. Dia mengunci pintu dari luar.

"Aku tidak bisa menikah sekarang. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan Mama. Kamu harus membantuku."

"Apa ada masalah yang terjadi? Tidak biasanya kamu berkata seperti ini. Bukankah pernikahan adalah tujuan hidupmu?"

"Kamu pasti sangat mengerti bahwa aku sangat mencintai Lian. Tapi aku tidak bisa memberikan dia kebahagiaan itu. Aku mohon, bantu aku!"

"Kamu sendiri merupakan kebahagiaannya selama ini. Setelah menikah, aku yakin kebahagiaan kalian akan berlipat ganda. Kamu harus tenang. Ini hanya sindrom pranikah."

"Aku mengajukan permohonan ke maskapai luar negeri. Aku akan pergi."

"Jangan bercanda! Pernikahan kalian hanya tersisa satu minggu lagi."

"Aku sudah membicarakannya dengan Lian. Jelas dia marah besar. Tapi aku sudah tidak bisa mengubah keputusanku. Aku harus dan wajib pergi. Untuk itulah, aku membutuhkan pertolonganmu."

"Kukira kamu sangat mencintai Lian, tapi ternyata kamu berniat menghancurkan semua yang sudah kalian rangkai bersama."

"Terserah kamu ingin mengataiku seperti apa. Keputusanku mutlak. Aku harus pergi. Kamu satu-satunya yang bisa membantuku saat ini. Berjanjilah kamu akan mekakukan permintaanku!"

"Aku tidak bisa berjanji. Aku takut tidak bisa membantumu karena kamu mengambil langkah yang keliru. Pikir lagi, kalian akan menikah. Persiapan juga telah rampung. Dengan gampangnya kamu bilang mau menunda pernikahan kalian."

"Aku tidak akan menunda pernikahan itu. Kapan aku bilang menundanya?"

"Terus maumu apa? Aku mulai berspekulasi jika kamu malah ingin membatalkannya."

"Tidak. Aku tidak akan menunda apalagi membatalkan pernikahan. Boleh sekarang kamu berjanji demi mama Lian?"

"Kamu tidak akan menjebakku setelah aku bilang iya?"

"Aku hanya minta tolong. Please?"

"Oke, insya Allah aku akan membantumu. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan!"

"Menikah dengan Lian."

Angin dari pepohonan di belakang kompleks perumahan tiba-tiba menyerang wajahku. Aku mengerjap-ngerjabkan mata menghalangi debu yang masuk.

"Kamu tidak salah? Kamu memintaku menikah dengan Lian? Kamu pikir aku segila itu? Walaupun aku sangat ingin menikah, tapi aku tidak akan pernah menikah dengan calon suami orang."

"Aku punya alasan. Aku tidak akan melakukan hal gila seperti ini jika keadaan tidak memaksaku."

"Kamu sendiri yang memilih pergi. Kamu tidak bisa menyalahkan keadaan. Keadaan saat ini, kamu sendiri yang memintanya terjadi. Jangan pergi. Lanjutkan pernikahan kalian. Jangan minta hal yang mustahil kulakukan."

Semakin tinggi suaraku, Aqila pun melakukan hal yang sama. Dia tidak mau kalah. Kami berdebat panjang tanpa menghiraukan apakah ada seseorang yang mendengar pembicaraan kami atau tidak. Aku saat ini sangat kesal karena keputusan tak masuk akal itu.

Aqila menangis. Entah kenapa aku bisa merasakan kefrustrasian dan kedilemaannya. Aku menurunkan sedikit intonasiku. "Kamu bisa menceritakan kepadaku alasannya," ucapku mengalah.

"Janji dulu, kamu akan menikah baru aku akan bercerita."

Dengan berat, bibirku kubuka untuk berkata iya. "Baiklah."

"Katakan kamu berjanji menikah dengan Lian."

"Ya, insya Allah. Aku akan menikah dengan Lian."

Aqila tersenyum. "Sebenarnya aku tidak bisa hamil. Aku tidak bisa memberikan penerus keluarga Juanda."

"Apa kamu yakin? Kamu masih bisa melakukan pengobatan, Qila. Anak bukan halangan untuk menikah. Aku juga belum tentu mampu membantumu jika itu yang menjadi tujuanmu memintaku menikah."

"Tidak, Wi. Mama sangat ingin mendapatkan anak dari Lian. Aku tidak bisa memberikannya. Ada hal yang membuatku begitu takut untuk mengandung dan aku tidak bisa menceritakannya kepadamu. Aku yakin bahwa kamu mampu. Kamu wanita sempurna."

"Kalian bisa melakukan jalan lain untuk mendapatkannya."

"Percuma. Aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Lian."

Aku diam memikirkan semua rencana tolol dari Aqila. Isi kepalaku begitu kusut hingga tidak mampu memikirkan jalan terbaik untuk hubungan mereka.

"Jangan katakan masalah ini kepadanya. Aku tidak ingin mengecewakan mama Lian. Dan Lian sudah setuju menikahimu."

"Dia menyetujuinya karena emosi."

"Kalian harus menikah. Nanti jika aku kembali, kuharap kamu mau berbagi sedikit kebahagiaan itu."

*** 

Besambung 


OKI, 10 Maret 2020


Malaaam. Nggak nyangka, ada yang rela baca ulang cerita ini. Dan... Selamat membaca bagi pembaca baruuu. Semoga betah. Koment yang banyak ya di tiap part. Sarangheo... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro