Bab 4
Masih baca?
Berapa banyak?
Komen coba di sini...
------------------------------------------
Sendiri bukanlah jalan yang kupilih, namun anehnya sampai kini itulah yang terus dirasakan oleh hati.
"Kenapa lagi?"
Laki-laki berkulit sangat putih tiba-tiba saja menghampiri Aneska yang sedang terdiam di taman rumah sakit.
Setelah meliriknya sekilas, Aneska langsung memfokuskan tatapannya kembali ke hamparan rumput hijau yang membentang bak primadani di depan matanya.
Indah. Dan sangat menyejukkan hati. Sangat sesuai dengan apa yang dirinya butuhkan kini.
Lalu ditambah lagi dengan suara laki-laki bawel yang sudah duduk di sebelahnya, seolah menjadi pelengkap semuanya.
"Gue bosen."
"Gila kali lo. Bosen langsung maksa gue harus ke sini. Lo enggak tahu gue sibuk?"
"Sibuk?" ulang Aneska dengan tatapan marah.
"Iya. Iya. Gue enggak sibuk. Cuma mau daftar kuliah."
"Lagi?"
Kepalanya mengangguk. Caranya menatapp Aneska masih sama. Tidak berubah dari 6 tahun lalu. Dia masih begitu nyaman memberikan tatapan seperti ini untuk Aneska. Walau dirinya tahu status mereka kini sudah sangat berbedaa.
"Kali ini gue bener-bener pengen lulus."
"Mau ambil jurusan apalagi emang lo? Akutansi? Enggak lulus. Ekonomi bisnis? Enggak lulus juga. Terus apalagi?"
"Yang jelas gue enggak mau ambil Teknik!"
Aneska mencibir. Laki-laki itu tertawa.
"Gue enggak mau nama gue bergelar di belakangnya, Raqila Athafariz, ST, MSc."
"Cuih. Lo juga enggak akan mampu."
Laki-laki yang biasa dipanggil Aiz itu melirik Aneska, kemudian tertawa.
"Tapi gue mampu hilangin rasa sepi lo, kan?"
"Dih. Apaan sih lo. Lo tadi nyindir gelarnya suami gue. Sekarang lo ngomongnya gini."
"Owh, masih anggep dia suami toh!" celetuk Aiz kasar.
"Bajingan lo!"
Aneska memukul kepala Aiz dengan sangat kencang. Sebelum mulutnya mengucapkan sebuah nasihat yang berhasil memancing kenangan indah dulu.
"Coba lo seriuskan satu hal. Biar hidup lo enggak begini terus."
"Lo ngomong tentang keseriusan sama gue? Lo lupa, Nes? Selama 6 tahun ini gue masih serius buat bahagiain lo! Lo lupa atau amnesia?"
"Ya karena itu gue panggil lo sekarang. Gue mau bahagia," ucap Aneska melirih.
Aiz langsung meliriknya. Aneska yang sudah begitu dia kenal sejak kecil, sampai detik ini ternyata tidak berubah. Walau tampilannya sudah jauh lebih tertutup, tapi hatinya masih sama.
"Lo nyesel, kah?"
***
Adskhan bro
Buruan balik deh. Perasaan gue enggak enak.
Menerima pesan singkat yang sangat mengkhawatirkan membuat hati Zhafir menjadi tidak terkendali. Biasanya jika ada perlu, Adskhan selalu bicara di forum umum, alias di dalam grup keluarga mereka. Namun siang ini, pesan singkat itu tertuju pribadi untuknya. Apalagi jika ditelusuri history pesan pribadi dari Adskhan adalah tepat kurang lebih 6 tahun lalu ketika Zhafir menikahi Aneska. Kala itu Adskhan mengirimkan pesan secara pribadi karena tidak enak dengan hari berkabung dari Aiz, yang merupakan sepupu mereka juga. Lalu kini, pesan singkat itu seolah terulang lag.
Entah ada maksud apa dari pesan tersebut. Yang jelas Zhafir menebak dua alasan mengapa Adskhan mengirimkan pesan secara personal.
Bisa jadi karena urgent, ataukah ... sengaja agar tidak diketahui oleh PIHAK LAIN.
Karena itulah, demi menenangkan hatinya, Zhafir berusaha menghubungi istrinya itu. Jika kini sudah pukul 10 pagi, maka di Indonesia saat ini pukul 3 sore. Yang itu tandanya Aneska sedang berada di rumah sakit.
"Halo, Assalamu'alaikum," salamnya saat terdengar deru napas Aneska sewaktu mengangkat panggilan ini.
"Kenapa?"
"Wa'alaikumsalam, Sayang. Kamu sekarang lagi di mana?"
"Di rumah sakit. Nungguin Athar kelar tindakan."
"Sendirian?"
"Enggak."
"Sama kak Shafa?"
"Enggak."
"Sama Adskhan?"
"Bukan."
"Sama Kafi?"
"Dih, ngapain sama dia."
"Terus?"
"Aku sama Aiz."
"Siapa? Aiz?"
"Iya. Kenapa? Cemburu? Ngapain kamu cemburu. Kamu aja lagi dimana tau. Buat apa coba kamu cemburu. Aneh."
"Nes. Aku serius," ucap Zhafir penuh penekanan.
"Iya. Aku juga serius. Aku sama Aiz. Dia lagi beliin aku makan. Mau video call?" tantang Aneska tanpa ragu.
"Enggak perlu."
"Ough, jadinya udah enggak cemburu lagi aku dekat Aiz?"
"Nes, bukan gitu."
"Terus apa? Ini udah hampir seminggu ya dari terakhir kali aku hubungi kamu karena masalah mama. Dan sekarang kamu baru hubungi aku lagi? Bahkan balas WA ke aku aja cuma 5 kali sehari. Emangnya aku puas dengan 5 kali WA gitu!"
"Nes ..."
"Apa? Jangan cuma berani panggil nama aku doang!"
"Nes, ayolah. Jangan karena ...."
"Jangan karena hal kecil kita ribut, kan? Kita tuh udah kayak RAJA dan RATU nya LDR. Jadi harusnya hal-hal kayak gini bukan malah jadi kendala untuk hubungan kita. Ya, ya, ya... aku paham kok AL ZHAFIR BAIHAQI!"
"Aneska!" bentaknya cukup kencang.
"Kali ini aku enggak akan minta kamu pulang lagi. Karena PERCUMA."
"Aneska ..."
"Nih buat kamu yang enggak pakai cabe, kan?"
Suara seorang laki-laki mendadak menjadi fokus Zhafir dalam sambungan teleponnya kali ini dengan Aneska. Dia memasang pendengaran dengan sangat baik. Agar bisa mengetahui sedang melakukan apa Aiz, yang diduga laki-laki itu, bersama Aneska.
"Kok gitu?"
"Jangan ngeyel deh. Aku trauma ngeladenin kamu kalau sakit perut!"
Aku?
Perlahan-lahan rasa emosi menghantui hati Zhafir. Dia menjauhkan sejenak ponselnya dari telinga, lalu beristighfar berulang kali.
Ingin rasanya dia tidak mendengarkan percakapan itu. Tapi rasa penasaran semakin kuat menguasai dirinya.
"Itu kan sakit perut karena menstruasi. Bukan karena magh."
"Sama aja!"
"Udah ya. Aku mau makan dulu."
"Loh, kamu lagi teleponan sama siapa?"
"Sama AL ZHAFIR BAIHAQI!"
***
Dalam hidup mengambil keputusan yang tepat adalah masalah terbesar yang sering kali dihadapi manusia. Kadang karena sikap egoisnya, manusia ingin semuanya dijalani tanpa memikirkan salah satunya pasti akan terbengkalai bahkan jadi binasa. Namun tetap saja jika slogan ini, jika bisa mendapatkan keduanya, kenapa harus pilih salah satu, masih terpatri dalam pikiran setiap manusia, maka sampai kapanpun masalah dalam menghadapi pilihan hidup terus akan dirasa.
Itulah yang kini dirasakan oleh Zhafir. Setelah sambungan teleponnya diputus sepihak oleh Aneska, dia merasakan dilema yang luar biasa. Padahal jika Aneska mau bertahan sedikit lagi, maka impiannya akan segera terwujud. Dan dia pun hanya akan fokus membahagiakan Aneska ke depannya.
Tapi masalahnya perempuan itu tidak pernah mau mengalah dan menunggu. Lalu apakah harus Zhafir kembali yang mengalah? Seperti beberapa tahun lalu ketika dia yang datang menyusul Aneska ke Amerika.
Adskhan bro
Tolong beristighfar, agar perasaan enggak enak lo, tidak menjadi nyata.
Malam ini gue balik ke Jakarta.
Pesan singkat itu langsung Zhafir kirimkan ke nomor Adskhan, sepupu yang sudah memperingatkannya saat ini.
Zhafir tahu dia harus bertindak. Namun dia tidak mungkin menyakiti Aiz untuk kedua kalinya.
continue....
ENENG, ABANG PULANG NIH
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro