Bab 22
Semakin lihat kalian termewek2, semakin semangat aku lanjutinnya sampai selesai..
Whakakaka
------------------------------------
Aku akan tetap katakana baik-baik saja sekalipun tubuh dan hati ini penuh luka.
Sambil menyelesaikan kegiatan paginya, membuat sarapan dan membantu Zyva untuk kegiatan sebelum sekolah, Nada mencuri-curi tahu kegiatan Agam dan Zhafir di dalam kamar putranya itu. Dari bagian dapur, Nada bisa melihat langsung ke arah kamar Zhafir. Pintu kamar tersebut terbuka lebar, tetapi anehnya suara Agam dan Zhafir sama sekali tidak terdengar.
Sejujurnya ada perasaan tidak enak yang ia rasakan, namun sampai detik ini Nada mencoba untuk tidak mengikuti perasaan tersebut. Dia yakin semua ini hanyalah kesalah pahaman saja.
Masih menemani Zyva sarapan sebelum berangkat ke sekolah, tiba-tiba saja dari arah luar, suara salam terdengar memanggil. Nada mencoba mencari tahu siapa tamunya pagi ini. Perasaannya semakin tidak enak ketika mendengar keributan dari luar.
"Habisin makanannya, Ibu mau buka pintu dulu," ucap Nada pada putri kecilnya.
Memakai hijabnya yang diletakkan pada salah satu sofa ruang tamu, Nada membuka pintu rumahnya dan dikagetkan dengan amukan yang tidak bisa dikendalikan. Amukan yang sama sekali tidak pernah dia sangka sebelumnya.
"MANA ZHAFIR? MANA ITU ANAK!!! KENAPA ANESKA DIPULANGKAN DALAM BENTUK SEPERTI ITU!! JIKA MEMANG SUDAH TIDAK MENCINTAINYA LAGI, TOLONG KEMBALIKAN DIA KEPADA SAYA, IBUNYA, DALAM KEADAAN TERHORMAT."
Nada tidak berani berkata-kata, karena sejujurnya sampai detik ini dia sama sekali tidak tahu ada masalah apa antara Zhafir dan Aneska.
"Aneska terlahir ke dunia ini karena saya dan suami menginginkannya. Kami memberikan yang terbaik untuk dia. Tapi lihatlah, cara putramu memperlakukan dia. Dia mengembalikan Aneska dengan cara yang sama sekali tidak layak!"
Lila menangis tersedu-sedu sambil mengusap-usap perutnya. Dia beribu kali memohon kepada Tuhan, semoga tidak terjadi lagi kejadian-kejadian seperti ini kedepannya. Karena menurutnya sangatlah tidak layak kepulangan Aneska tadi. Seolah diusir tanpa ampun.
"Apa salahnya? Apa salah putriku?"
Nada menarik Lila masuk ke dalam rumahnya. Meminta Lila untuk duduk sejenak. Dia akan memanggil Zhafir untuk keluar, agar semua masalah ini selesai.
Setiap undakan tangga yang Nada tapaki menuju kamar Zhafir, hatinya terus beristighfar. Sungguh ini lebih mengerikan jika dibandingkan sewaktu ia bertemu Agam pertama kali dalam keadaan tidak tahu latar belakang suaminya itu seperti apa.
"Nak ..." panggil Nada pelan ketika tubuhnya berdiri di depan pintu masuk kamar Zhafir.
Kedua mata Nada melihat tatapan Agam berbias, seolah dia sedang menahan tetesan air mata yang sejak tadi laki-laki itu tahan.
Sedangkan Zhafir malah membuang pandangannya. Jelas sekali Nada tahu Zhafir tengah menangis. Tapi di sini dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
Putra yang dia lahirkan, setelah merasakan kehilangan, kini tengah menangis, menahan rasa sakit, yang Nada tidak ketahui itu apa.
Setiap langkah kaki Nada menuju kedua laki-laki terhebat dalam hidupnya, air matanya terus terjatuh. Sekalipun Agam dan Zhafir tidak bicara, hati Nada sudah tidak kuat melihat kesakitan ini. Dia ingin sekali merangkul kedua laki-laki itu ke dalam pelukannya, sambil berkata, aku selalu ada untuk kalian. Aku akan selalu di sini bersama kalian, sekalipun kalian menutupinya dariku.
"Astaghfirullah al'adzim, anakku."
Nada memeluk Zhafir erat. Dia mengusap lembut kepala Zhafir, sambil terus beristighfar.
Sejak melahirkan Zhafir, sampai putranya sudah sebesar ini, Nada belum pernah sekalipun melihat tangis kesakitan Zhafir.
Air mata mengalir, namun tidak ada suara.
"Ibu ada di sini, Nak. Ibu selalu ada bersamamu. Ibu selalu ada untukmu."
Mengusap lembut lengan Nada, Agam keluar dari kamar ini. Dia sama sekali tidak bisa menahan sesak di hatinya.
Ingin rasanya Agam mengikuti kata hatinya untuk berontak, memaki siapa saja demi membela putranya. Tapi dia tidak bisa.
Pikirannya mengingatkan kejadian masa lalunya. Dan jangan sampai kejadian seperti itu terulang lagi.
"Al Zhafir Baihaqi, putraku, katakanlah, Nak. Cepatlah katakan, kesakitan apa yang kamu rasakan kini? Katakanlah, Nak. Cukup sudah tangismu. Ada ibu di sini. Lihatlah, Nak. Ibu ada selalu untukmu. Ibu akan selalu memelukmu erat. Dan ayahmu ... ayahmu akan selalu membantumu. Jadi, berhentilah menangis, Nak. Berhentilah menangis."
Zhafir membalas pelukan Nada begitu erat. Kepalanya tenggelam dengan nyaman dalam pelukan ibu, yang selalu menyayanginya.
"Aku membuatnya pergi, Bu. Aku yang salah."
Memejamkan kedua matanya, Nada mulai paham ke arah mana kata-kata Zhafir.
Kepergian Aneska dipagi hari secara tiba-tiba, tanpa kerudung, tanpa alas kaki, lalu kedatangan Lila dalam keadaan emosi, hingga menangisnya Zhafir, membuat Nada bisa menyimpulkan semuanya.
"Hei, lihat ibu," ucap Nada sembari menangkup kedua pipi Zhafir dengan tangannya. "Jangan nangis, hadapilah, Nak. Jika memang kamu bersalah, minta maaflah. Ibu yakin sekalipun kata maaf terkadang tidak berguna, tapi setidaknya semua tahu kamu mengakui kesalahan tersebut."
"Ini bukan perkara maaf, Bu. Tapi tentang mengikhlaskan atau memaksakan."
Ekspresi Nada berubah. Raut wajah kesedihan yang tadi jelas tergambar, mendadak lenyap. Dia melepaskan pelukan pada tubuh Zhafir, bibirnya terkunci rapat.
"Bu ...."
"Maksudmu apa, Nak? Apa maksud mengikhlaskan atau memaksakan?"
"Jawab ibu, apa maksudnya?"
Zhafir menggeleng kencang. Dia tidak mau mengatakan apapun kepada Nada, ibunya. Dia tidak mau memicu bom waktu yang sekiranya akan meledak dan melukai banyak orang.
"Baik. Ibu akan tanyakan langsung kepada ayahmu!"
"Bu ...."
***
Terburu-buru menghampiri Agam, hampir saja Nada terjantuh pada anak tangga terakhir. Bibirnya mengamuk pada kebodohannya sendiri. Kini memang pikiran dan tubuhnya sama sekali tidak terhubung dengan baik. Otaknya sibuk beristighfar dengan semua kemungkinan yang terjadi. Tapi tubuhnya menolak. Dia tidak mau diam saja ketika orang yang dia cintai terluka, bukan hanya fisik tetapi hatinya juga.
Karena itu, kini dia perlu penjelasan. Dia butuh tahu secara detail masalah putranya kali ini.
"Mas Agam. Ada apa sebenarnya?" tanya Nada dengan emosi yang sama sekali tidak terkontrol.
Menarik napas dalam, Agam meminta Nada duduk sejenak. Tetapi Nada mengempaskannya. Nada sedang tidak butuh duduk saat ini. Dia butuh penjelasan. Dia butuh cerita detail mengenai putranya.
"TANYA SAMA PUTRAMU SENDIRI, ADA MASALAH APA DIA SAMPAI MENGUSIR ANESKA DENGAN TIDAK LAYAK!!"
Menghadapi dua orang ibu yang sama-sama sedang membela anak mereka, Agam merasa pusing menyerang kepalanya. Sudah banyak persidangan yang bisa dia hadapi, tapi untuk persidangan kali ini, entah kenapa dia tidak sanggup.
"Apa benar, Mas? Apa benar semua ini salah Zhafir, putra kita? Apa benar dia mengusir Aneska dengan tidak layak? Apa benar dia tega memperlakukan istrinya sendiri seperti itu?"
"Astaghfirullah al'adzim, jika sampai Zhafir benar-benar melakukan seperti itu. Sama saja dia sedang mengusirku, ibunya sendiri. Sama saja dia memperlakukanku begitu buruk."
Nada terus menjerit histeris, seolah tidak percaya dengan informasi yang dia dengar dari Lila.
"Sejak aku melahirkan Zhafir, sampai ia sebesar ini, aku tidak pernah mengajarkan hal demikian kepadanya. Zhafir masih punya ibu, Mas. Aku ibunya Zhafir. Dan Zhafir masih punya adik perempuan. Dia tidak mungkin berlaku kasar kepada seorang perempuan. Apalagi kepada istrinya sendiri."
Seolah tidak bisa menahan beban tubuhnya sendiri, Nada terjatuh di lantai. Hati dan bibirnya menjerit sedih. Seumur-umur dia tidak pernah merasakan sakit sehebat ini. Namun kali ini, sakitnya diberikan langsung oleh putranya sendiri. Al Zhafir Baihaqi.
"Nada ... Istighfar, Sayang."
Agam menarik Nada ke dalam pelukannya. Dia membalas tatapan Lila dengan gelengan kepala. Seolah mengatakan mereka pun tidak tahu pasti masalah rumah tangga Zhafir dan Aneska.
"Tenanglah, Sayang. Percayakan semuanya kepada anak-anak kita. Mereka pasti akan baik-baik saja."
Continue..
inget. cuma sampe bab 30 yaw...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro