Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10


Kembali lagi...

Maapin lama.. lagi gak enak badan..

Semoga masih disukai


------------------------------------


Jangan sampai diakhir cerita aku harus menjauhimu, bukan karena aku ingin, namun karena sebuah keharusan.

Zhafir sempat terdiam ketika melihat kedua mertuanya di ruang keluarga sedang menikmati waktu santai mereka di malam hari. Lila yang berada dalam pelukan Karim menjadi fokus utama Zhafir. Apalagi ketika ada gerakan memutar di bagian perut yang terlihat masih sangat datar, seolah mengingatkan Zhafir sewaktu ibunya sedang mengandung Zyva.

Namun kali ini usia Lila berbeda cukup jauh dari kehamilan Nada pada saat itu. Dan otomatis resiko kehamilan yang harus Lila hadapi jauh lebih besar.

Sungguh kalau Zhafir pikir-pikir dirinya sangat tidak mengerti, mengapa selalu saja ada keributan antara Aneska dan juga mamanya sendiri. Padahal kalau Zhafir dengar-dengar, biasanya seorang menantu perempuan akan sering terlibat keributan dengan ibu mertuanya, bukan ibu kandungnya. Akan tetapi kenapa Aneska sangat berbeda?

"Udah makan, Fir?" tegur Karim ketika dia tahu menantunya baru saja keluar kamar.

"Belum, Pa. Mau keluar sebentar sama Aneska."

Langkah Zhafir mendekati keduanya, berniat untuk pamitan keluar sebentar, bersama Aneska tentunya.

"Wah, mama boleh nitip enggak? Duh, lagi pengen makan itu loh pecel lele yang ada di depan, samping indomaret, kamu tahu enggak Fir?"

"Pecel lele?" ulang Zhafir merasa tidak pernah melihatnya.

Maklumlah hampir setahun ini dia berada di Jerman. Sehingga kepulangannya kali ini memang masih sedikit kagok untuk semua kondisi yang ada di sekitarnya. Termasuk kagok melihat permusuhan antara Aneska dan Alya tadi.

"Emang jualan?" celetuk Aneska yang berjalan menghampiri Zhafir.

Tangan Aneska langsung saja merayap masuk ke bagian punggung Zhafir, mengusap-usap dengan gerakan naik turun di dalam jaket hangat yang Zhafir kenakan kini.

Memang semua itu terlihat sangat biasa, bahkan Lila dan Karim saja menunjukkan keintiman yang jauh lebih banyak dari sekedar mengusap-usap bagian punggung dibawah jaket.

Akan tetapi karena Zhafir tidaklah biasa menunjukkan semua itu di depan umum, perasaan risihlah yang terasa baginya. Dia menangkap tangan Aneska, lalu memberikan kode melalui tatapan kepada istrinya itu jika dia tidak suka melakukan hal-hal seperti didepan umum.

"Jualan kok. Beliin ya."

Dengan ekspresi jutek, Aneska mengangguk patuh. Dia berjalan lebih dulu sebelum Zhafir menyusulnya. Mendengar suara-suara gerutuan kesal yang sudah lama sekali tidak terdengar di telinga Zhafir.

"Kenapa lagi sih?"

"Emang dia enggak bisa minta papa beliin apa."

"Dia? Maksudnya, mama kamu?"

"Iya. Siapa lagi."

"Yah, mungkin mama kamu mikirnya sekalian. Karena kita kan mau keluar juga."

"Tapi kan kita enggak mau buru-buru pulang. Kalau dititipin begini mau enggak mau kita beli makan, terus bungkus, dan makan di rumah."

Mendumal begitu sebal. Zhafir mengusap lembut puncak kepala Aneska sebelum langkahnya berhenti di depan motor matic milik Aneska yang sudah lama sekali tidak dipakai.

"Pakai motor banget kita?"

"Iya. Kenapa?"

"Dih, itu motor kan udah lama enggak diservice. Nanti kalau mogok gimana?"

"Kita kan enggak pergi jauh-jauh."

"Tapi kan! Tetap aja enggak sih. Udah deh, pakai mobil aja. Aku mau duduk nyaman."

Melihat Aneska terus merengek, Zhafir sama sekali tidak bergerak. Dia masih setia duduk di atas motor matic yang mesinnya mulai dinyalakan.

"Yuk."

"Enggak. Aku ambil kunci mobil dulu di dalam."

"Ngapain? Kan aku juga yang bawa motor. Kamu tinggal duduk santai di belakang."

"Dih, enggak ah. Malem-malem kena angin, nanti aku sakit."

Kembali mengeluh, Aneska memutuskan tetap melangkah masuk untuk mengambil salah satu kunci mobil yang dimiliki ayahnya.

"Dia lucu. Dia yang sedang berdebat dengan kedua orangtuanya, aku yang mati-matian memperbaiki. Sekalinya aku memberikan pilihan agar dia bisa terhindar dari perdebatan kembali, dia sendiri yang malah mendatangi dan meminta bantuan dari orangtuanya."

"Maaf lama, ini kuncinya. Untung papa masih mau kasih, kalau enggak ...."

Aneska tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika tatapan Zhafir sangat mengunci gerakan bibirnya.

"Kenapa?"

"Enggak papa. Aku cuma mau kasih tahu ke kamu, seorang imam itu adanya di depan, bukan di samping. Lagi juga kalau kita naik mobil, ada jarak yang memisahkan kita. Bukannya kamu sendiri yang bilang enggak mau ada jarak lagi sama aku. Tapi kok ini malah sengaja memilih yang berjarak, jika sesungguhnya ada pilihan yang bisa mengikat erat."

Merasa sangat bersalah, Aneska kembali masuk ke dalam, meletakkan kunci mobil tersebut sambil berteriak kepada papa dan mamanya.

"AKU ENGGAK JADI PAKAI MOBIL, KARENA AKU ENGGAK MAU BERJAUHAN DARI ZHAFIR LAGI!!!"

Menanggapi keputusan dan teriakan Aneska, seribu syukur Zhafir agungkan di hatinya. Ternyata Aneska masih memahami keputusan apa yang Zhafir tunjukkan untuk kebaikan mereka bersama.

"Lets go! Kalau kayak gini aku jadi ingat masa lalu."

"Kamu rindu masa itu?"

"Iya."

"Emang kamu enggak kangen masa itu?"

"Enggak."

"Kenapa?"

Tanpa banyak bicara, Zhafir menarik tangan Aneska agar bisa memeluk tubuhnya dengan erat.

"Karena dulu aku tidak bisa melakukan seperti ini denganmu."

***

Sambil mendengarkan cerita singkat Zhafir selama di Jerman, Aneska terus disibukkan dengan kegiatan memindahkan beberapa makanan yang tidak dia sukai ke piring Zhafir. Mulai dari porsi nasi yang terlalu banyak. Lalapan yang tidak dia sukai. Sampai daging ayam bagian dada yang terlalu banyak menurutnya, ikut pindah ke piring Zhafir.

Selama 6 tahun menikah, moment seperti ini memang jarang sekali mereka lakukan. Sekalipun mereka sedang tidak terpisah jarak, namun waktu untuk dapat makan bersama saja sulit sekali mereka temukan. Hingga seiring berjalannya waktu, rasa romantis dari hal-hal kecil seperti ini terasa sangat hilang dalam hubungan mereka.

"Aiz kan mau kuliah lagi di Jakarta," ucap Aneska tiba-tiba.

Zhafir hanya diam, memberikan lirikan melalui sudut matanya sesaat kemudian melanjutkan kegiatan makannya.

"Terus aku tanya, emang mau pilih jurusan apalagi?"

"Kamu yakin enggak dia bisa ambil Teknik kayak kamu."

Menikmati menu makan malamnya, Zhafir mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa enggak yakin?"

"Ih, kamu mah. Dia tuh udah gagal di jurusan akutansi, terus ekonomi bisnis. Sekarang gila banget mau coba Teknik."

"Itu tandanya dia orang yang terus usaha walau udah gagal berulang kali."

"Masa sih?"

"Iya. Kamu enggak sadar? Dia udah ngelakuin itu ke kamu. Berusaha berulang kali dekatin kamu, tapi selalu gagal. Bukan gagal sih, dia kurang fokus dan kurang percaya diri. Sampai akhirnya aku yang lebih dulu bisa fokus dan percaya diri untuk meminangmu pada saat itu. Bahkan sampai detik ini, aku masih tetap fokus dan percaya diri, jika aku masih mampu membahagiakanmu."

"Jadi ... jadi, kamu tahu kalau Aiz ada rasa sama aku?" tanya Aneska yang tidak paham dengan jalan pikiran suaminya ini.

Mungkin jika suaminya bukan Zhafir, akan terjadi keributan dimana ada laki-laki lain yang menyukai istrinya. Namun anehnya Zhafir tidak bersikap seperti itu.

"Tahu. Tapi aku bisa apa? Memaki dia, membunuh dia? Aku enggak bisa, Sayang. Aku tidak mungkin bisa. Karena kenapa? Karena perasaan di hatinya itu fitrah. Dan hanya dia yang bisa memutuskan mau diapakan perasaan itu. Aku yang hanya orang lain, tidak bisa menghapus semua itu. Sebab perasaan itu hadir ketika Allah menghendakinya. Seperti halnya perasaan yang belasan tahun kupendam sebelum aku meminangmu. Memangnya aku bisa memaksamu untuk menyukaiku? Tidak seperti itu caranya."

"Belasan tahun?"

Zhafir mengangguk. "Iya. Perasaan itu dimulai ketika aku baru pindah ke sebelah rumahmu. Disaat aku dan kedua orangtuaku datang ke rumahmu, saling berkenalan satu sama lain, disaat itu pula aku melihat seorang adik kecil, bermata bulat yang sibuk menatapku dari dalam gendongan hangat mamanya."

"Mungkin kalau aku ceritakan sekarang terlihat sangat tidak mungkin. Namun rahasia jodoh tidak ada yang pernah tahu, Sayang. Buktinya belasan tahun aku tidak pernah memberitahukan perasaanku ini kepada siapapun. Hingga kupikir inilah saatnya, langsung kupinang engkau menjadi bidadari hatiku. Menjadi tempatku menumpahkan segala perasaan yang selama ini hanya bisa kupendam. Sadarkah kamu atas hal itu, Sayang? Sadarkah kamu selama ini dicintai diam-diam oleh seorang laki-laki? Sadarkah kamu selalu didoakan olehku setiap malam agar kebahagiaan selalu menghampirimu? Dan pahamkah kamu sayang tentang kehidupan seorang penjuang cinta dalam diam? Jika kamu bersedia memahami semuanya, maka tataplah aku dalam-dalam, dan cobalah rasakan sendiri untuk jawaban yang muncul dihatimu."

Tidak ada sentuhan-sentuhan nakal, seperti yang biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki kepada perempuan, malam ini Zhafir tampil memukau di mata Aneska hanya dengan kata-kata dan penjelasannya.

"Semoga penjelasanku ini belum terlambat."


continue...
Acieee.. kok meleleh yawww


Tatap mata aku....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro