part 5
"Kondisinya semakin memburuk, Akashi-sama !"
"Akashi-sama ! Otot jantungnya semakin melemah !"
"Akashi-sama ! Paru-parunya tak berfungsi dengan baik !"
Seruan-seruan dari para anak buah Akashi tentang kondisi Takao terdengar. Beberapa anak buahnya berlalu lalang, membawa tumpukan dokumen. Seisi ruangan tersebut tampak sibuk.
"Akashi-sama, apa yang harus kita lakukan ?"
Akashi terdiam. Sorot matanya terlihat tenang.
"Yang kita persiapkan kemarin---"
"Tunggu perintahku. "
----------------------------------------------------
Takao benar-benar mirip mayat hidup. Wajahnya benar-benar pucat, dan ia seakan tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Ia hanya bisa berbicara dan menatap, melirik.
Midorima hanya bisa mengajak berbicara Takao untuk sekedar mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Karena hanya itu yang mungkin bisa dilakukan oleh Midorima.
"Takao, apa yang sekarang kau rasakan ?"tanya Midorima pelan. Karena ia tahu, Takao butuh ketenangan sekarang. Bertanya dengan suara panik hanya akan membuat Takao makin lemah.
"Aku...m-merasakan se...luruh tubuhku m-mati rasa, Shin-chan... Bahkan...b-bagiku mulai su...sah u-untuk sekedar...berbicara..."
Nafasnya terputus-putus. Sepertinya pemuda itu mengeluarkan banyak sekali tenaganya hanya untuk berbicara.
"Istirahatlah, nanodayo,"kata Midorima pelan. Dan setelah mendengar kalimatnya, Takao mulai menutup matanya dan dadanya mulai naik turun secara teratur. Alat yang ditidurinya menyala kuning.
Kuning redup.
Artinya kondisinya semakin memburuk. Midorima tak tahan melihatnya. Ia segera beranjak keluar dari ruangannya. Sebelum dia keluar, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"K...kau ma...u ke...mana Shin-chan ?"Takao berusaha bangkit dari ranjangnya.
"Takao ? Bukankah kusuruh kau istirahat ?"Midorima berbalik, kembali memasuki ruangannya.
"Aku sudah memintamu...untuk selalu menemaniku...kan ?"
"Kau berbaring saja dulu nanodayo," Midorima segera kembali duduk disamping Takao--dibalik dinding kaca yang memisahkan mereka. "Aku tidak kemana-mana, aku akan disini menemanimu nanodayo,"
Takao melirik Midorima sekilas. Perlahan matanya yang sayu itu tertutup. Deru nafasnya tak teratur. Kasihan sekali. Pikir Midorima. Midorima segera keluar dari ruangannya. Ada pekerjaan lain yang harus ia lakukan.
Saat Midorima keluar, siapa yang tahu bahwa seseorang masuk ke ruangan Takao, lewat sebuah pintu tak kasat mata di ruangan Takao, dengan sebuah alat suntik yang tabungnya terisi penuh oleh cairan berwarna biru pekat.
"Halo, Kazunari. "
"Ah---"Takao tak dapat melanjutkan kata-katanya saat sebuah jarum suntik menancap di nadinya secara paksa. Rasa sakit segera menjalari seluruh tubuhnya.
Cairan biru pekat tersebut mengalir didalam tubuhnya secara perlahan. Pandangan matanya mulai memburam, dan hal terakhir yang ia lihat sebelum semuanya memburam adalah seringaian dari orang tersebut. Orang tersebut kemudian segera pergi.
Sejenak, Takao tak merasakan apa-apa. Hingga akhirnya ia mulai merasakan seluruh tubuhnya mengalami kejang hebat, dan tak bisa digerakkan. Bahkan ia tak bisa berteriak. Pita suaranya seakan menegang terlalu keras sehingga ia tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Tubuhnya seakan remuk redam.
"Takao ?"
Midorima terkejut saat mendapati tubuh Takao mengejang hebat.
"S-shin-chan..."
Midorima melihat Takao dengan mata membulat, kaget melihat kondisi Takao saat ini.
"Ta-Takao ?!"
Midorima segera bangkit dari kursinya, melangkah keluar menuju ruang para anak buah Akashi.
'Dimana mereka ? Padahal aku sudah menghubungi mereka sejak 15 menit yang lalu. Tapi mereka tak kunjung datang...'
Namun, ruangan tersebut kosong. Tak ada siapapun disana. Yang ada hanyalah komputer dan beberapa peralatan lab lainnya.
Dengan langkah gontai, Midorima kembali ke ruangan Takao dengan harapan Takao sudah tidak kejang lagi.
"Shintarou,"
Midorima berjengit kaget mendengar suara tersebut. Ia berbalik, mendapati Akashi sedang menatapnya datar.
"A-Akashi ?"
"Shintarou, hari ini adalah hari terakhirmu bersama Kazunari. Besok, kau tak boleh menemuinya lagi. "
"A-apa ?"tanya Midorima kaget. "Kenapa, nanodayo ?!"
"Ini perintahku. Bukan urusanmu untuk mengetahui alasannya. Tugasmu sebagai pengawasnya akan berakhir. "
Akashi berjalan menjauhi Midorima, sebelum pemuda itu sempat protes. Midorima segera kembali ke ruangannya.
"Shin-chan..."suara Takao lirih, nyaris tak terdengar.
"Ada apa nanodayo ?"suara Midorima sama lirihnya dengan suara Takao. Suaranya juga serak, Midorima seperti terdengar sedang menahan nangis.
"Aku tidak apa-apa, sungguh. Sebagai gantinya, selalu temani aku...bisa ?"
Midorima meringis. Tangannya mengepal kuat. Pemuda itu hanya bisa mengangguk, setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan sebagai pengawas.
Lagipula, besok ia takkan berada disini lagi. Menyaksikan Takao kesakitan seperti itu membuat hatinya sakit. Seolah ia ikut merasakan penderitaan yang dialami Takao.
"T-tentu, nanodayo,"jawab Midorima pelan. Menguatkan hatinya sendiri, lebih tepatnya.
--------------------------------------------------------
"Shin-chan tidak datang..."gumam Takao sambil menempelkan telapak tangannya ke dinding kaca. Matanya menatap pintu yang berada di seberang dinding kaca. Berharap dari balik pintu disana, Midorima muncul dan duduk di kursinya seperti biasa.
Sementara itu, Midorima yang berada diruang kerja Akashi merasa gelisah tak karuan. Pikirannya terus melayang memikirkan Takao. Sedang apa dia sekarang ? Apa dia baik baik saja ?. Pertanyaan itu terus muncul dibenaknya.
Dan, alasan sebernarnya Akashi melarangnya untuk mengawasi Takao lagi adalah...
....karena Takao akan dibunuh, sebentar lagi. Ia dianggap percobaan yang gagal. Sekuat apapun Midorima berusaha membujuk Akashi untuk tidak membunuh Takao, pemuda beriris ruby itu tetap bergeming.
Padahal ia sudah berjanji pada Takao untuk selalu menemaninya. Setidaknya sampai saat terakhirnya.
"Akashi-sama, tabungnya sudah terisi penuh !"
"Akashi-sama ! Tekanannya sudah cukup !"
"Baik, baik. Reiji-san, tolong anda periksa lagi selangnya. Aku tak mau rencana ini gagal---"
---BRAK !
Seisi ruangan terlonjak kaget ketika mendengar suara dobrakan pintu tersebut. Midorima sudah kabur dari ruangan tersebut, berlari kencang menuju ruangannya bersama Takao, dan tak memedulikan teriakan para penjaga yang menyuruhnya berhenti.
Begitu ia sampai di ruangannya, ia segera mengunci pintu tersebut. Memastikan tak ada siapapun yang bisa masuk ke ruangannya.
"Takao !"
"Ada apa Shin-chan ? Tenanglah..."Takao memasang wajah khawatir. Sementara Midorima menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca.
"Mereka...mereka akan membunuhmu, Takao,"Midorima mendekat ke dinding kaca, menempelkan tangannya ke kaca tersebut.
Suara Midorima terdengar serak. Sementara Takao malah tersenyum, membuat Midorima terperangah melihat senyumannya.
"Ap-apa-apaan senyummu itu, nanodayo ?!"
"Aku tersenyum karena akhirnya aku bisa pergi, melepaskan diri dari penderitaan menyakitkan ini,"Takao ikut menempelkan tangannya, sejajar dengan tangan Midorima.
"Kau tidak bisa pergi semudah itu, nanodayo !"
"Lalu aku harus bagaimana, Shin-chan ? Dinding kaca ini tak bisa kupecahkan,"Takao mencoba memukul dinding kaca tersebut namun tak bereaksi apapun.
"M-mereka akan membunuhmu dengan gas ! Jangan hirup gas tersebut, nanodayo !"jawab Midorima penuh harap.
Takao tersenyum sendu. "Tapi...maaf Shin-chan. Sebenarnya, saat kau melihatku kejang-kejang kemarin, itu adalah obat yang mematikan seluruh fungsi sarafku secara perlahan. Jadi meskipun aku tidak menghirup gas itu, tetap saja aku akan mati karena saraf-sarafku tidak berfungsi lagi. Lagipula, Akashi-sama akan menyemprotkan gasnya cukup lama, bukan ? Aku tidak bisa menahan napasku selama itu,"
Midorima terkejut. Takao menatapnya penuh arti sambil menampilkan senyum lebarnya. Air mata mengalir dari kedua sudut matanya.
"Terima kasih,"bisik Takao lirih. "Aku sangat bersyukur pernah menemui orang sebaik Shin-chan. Dari sana aku akan berdoa untuk kebaikanmu. Jika ada manusia percobaan lagi disini, mereka juga pasti akan senang bertemu pengawas yang baik hati,"
Air mata ikut mengalir di pipi Midorima. Ia bersumpah itulah kali pertama ia melihat Takao menangis. Takao menangis sambil tersenyum. Dan Midorima akan merindukan senyum matahari tersebut.
Tiba-tiba lampu darurat di ruangan tersebut menyala. Kemudian terdengar pengumuman di pengeras suara.
'Mempersiapkan gas XY, 10, 9, 8, 7,...'
"Takao..."bisik Midorima lirih. Kedua insan tersebut tampak menangis bersama.
"Arigatou, Shin-chan. Untuk semuanya,"
"4,3,..."
"Sampai jumpa lagi, Shin-chan. Aku akan merindukanmu. Terima kasih telah menepati janjimu untuk selalu berada disisiku."
Seisi ruangan dibalik dinding kaca segera diselimuti asap tebal berwarna putih keabuan. Isakan Midorima pecah, tubuhnya merosot, jatuh berlutut ke lantai. Kepalanya bersandar di dinding kaca.
Setelah beberapa lama, asap itu perlahan menghilang. Midorima sudah harap-harap cemas, berharap kalau Takao masih hidup dan akan kembali memamerkan cengirannya---
---namun semuanya sirna ketika matanya menangkap sosok yang terbaring dengan wajah pucat, bibir membiru, dan ujung-ujung jari membiru.
Takao sudah meninggal.
"Sayonara, Takao."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro