Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. When You Were Here.

"Mau yang merah apa yang ini aja?"

Maula udah berhenti berlarian dan menggoda-goda Rikas. Namun, napasnya masih sedikit terengah. Dengan tangan yang bertolak di pinggang dia mengintip ke arah jari Rikas yang menunjuk satu sayur hijau dengan ujung daun-daun yang keriting, tampak crispy andai digigit, terpajang cantik di rak fresh market yang mereka sambangi.

"Emangnya mau bikin apaan sih?" tanya Maula karena sehari-hari dia jarang makan selada kecuali kalau Rikas sedang sok mau hidup sehat dan menghidangkan salad lengkap pakai bermacam-macam dressing buat sarapan di jadwalnya memasak.

Rikas terlihat mengangkat cuek pundaknya. "Samgyeopsal, maybe? Lo mau?"

"Yang manggang ntar siapa?" timpal Maula. Mulai membayangkan betapa bakal ribet kalau dia mesti menyiapkan ya hot plate, ya kompor, ya seluruh perkakas BBQ-an di atas meja makan mereka.

Tetapi, datang memecah gelembung ngenes itu, suara serak Rikas yang dengan yakin berkata, "Gue."

Senyum Maula pun kontan terbit sesegar daun-daun organik terbungkus plastik di sepanjang rak yang mereka susuri. "Oke deh, boleh kalo gitu mah. Tapi, nambah perilla dong satu pack."

"Sure."

Rikas lalu meraih sayur-sayur yang mereka sepakati dalam diskusi singkat ke dalam troli yang juga memuat sosok Agnia—gadis kecil itu lagi menjilati cone es krim, tampak bahagia, sambil sesekali saling bertukar candaan absurd bareng Maula.

"Apalagi yang habis?" tanya Rikas sembari kembali mendorong troli menyusuri rak-rak berisi sayuran yang ujungya seakan nggak kunjung ketahuan-saking luasnya tuh fresh market.

"Emangnya elo gak ada nge-list?" tanggap Maula.

"Dan, lo juga nggak nge-list?" ujar Rikas skeptis, kepalanya dia tolehkan ke arah Maula sehingga detik berselang laki-laki itu langsung bisa melihat betapa lebar cengiran macam kuda yang tercipta di bibir merah bata milik Maula. Uh, Sweet Jesus, itu sedikit bervolume dan sexy. Hampir-hampir Rikas terdistraksi.

"Beli yang mau dimakan tiga hari nyampe seminggu ini aja. Besok pas giliran gue masak biar gue belanja lagi kalo ada yang ke-skip gak kita beli," usul Maula, menggerakkan kembali bibirnya, serta bikin Rikas serasa dipaksa mendarat darurat di alam nyata.

"Berasnya kayaknya masih ada kan?" tanya pria itu lagi seusai berdeham ringan, melegakan tenggorokannya yang entah mengapa bak tercekat.

"Lupa, ya? Belakangan kan lo jarang banget makan di rumah. Pulang pagi melulu. Kayaknya sih tuh beras di rumah malah bakalan cukup buat dimakan dua bulanan deh."

Rikas kontan melempar tatapan tak menyangkanya.

"Udah gitu kan pas itu elo beli, gue juga beli. Jadi stock-nya double," jelas Maula kalau-kalau Rikas lupa bahwa mereka pernah miskomunikasi khususnya sewaktu dia sedang sibuk-sibuknya sayang-sayangan sama Si Teddy.

Laki-laki itu spontan mendesah lelah saat akhirnya berhenti di rak yang memajang daun bawang. Tanpa bicara dia mengambil beberapa ikat untuk dia pindahkan pada troli.

"Stoknya suka cepat abis. Diam-diam lo sering ngerebus mie instan, ya?" tuduh Rikas, lagi-lagi dia menengok ke arah Maula seolah hari ini cewek itu bahkan lebih menawan dari ranumnya sayur-sayur yang sedia mereka bawa pulang.

"Enak aja!" Maula mendelik. "Gak kok. Gue biasa masak daun bawang pake telor doang. Enak tahu!" bela Maula dengan lengan yang lantas dia lipat di dada setelah sebelumnya sibuk mengelap-elapi noda es di sudut bibir Agnia.

"Digoreng atau direbus?" kejar Rikas entah benar-benar mau tahu atau memang hanya ingin mengobrol panjang saja.

Maula sendiri tampak nggak keberatan untuk meladeni. Dia sambil sedikit menerawang-mungkin membayangkan wujudnya-berkata antusias, "Direbus. Daun bawangnya yang banyak. Pake kaldu, terus saos pedes. Beuh, mantap! Tambah nasi jadi makin-makin bikin kenyang!"

"Praktis banget ya hidup lo," komentar Rikas sambil lalu.

"Di kosan dapurnya gantian make soalnya kalo masak yang ribet-ribet ntar yang lain keburu pada modar kelaparan! Terus, menu itu juga murah meriah, mana merakyat jelata pula, hehe."

"Lo pernah ngekos?" tanya Rikas. Nadanya terkesan baru tahu sekaligus penasaran.

Maula pun menganggukinya tanpa jeda. "Pas gue jadi Guru honorer di Malang. Gue belum cerita?"

"Lo ... rasanya jarang cerita." Rikas nyaris tersenyum sumir. Mengingat waktu mereka biasa habis buat debat, buat ngomongin Teddy, dan hal-hal random lain. Yang pasti kehidupan pribadi Maula jika pun Rikas tahu maka, selalu diam-diam dia cari tahu sendiri. Of course Rikas tahu tentang Maula yang pernah jadi Guru di Malang, cuma dia nggak tahu hingga se-detail misal tempat tinggalnya. "Anyway, kenapa nggak di tempat Mbah Nung?"

Maula mengedik ringan bak itu bukanlah suatu masalah besar. Kendati, apa yang dia ucapkan selanjutnya tak terasa seringan reaksinya bagi Rikas, "Karena, pas itu adiknya Mahija kuliah di Malang dan tinggal di rumah Mbah Nung juga. Dia cewek, muda, pinter, dia punya banyak kerja sambilan termasuk jadi influencer. Gaji gue 3 bulan yang gak ada sejuta itu sama dengan gajinya buat 30 menit bikin video."

"Lo iri?" tukas Rikas hati-hati.

"Bukan sih." Maula pelan menggeleng.

"So?"

Bahu perempuan itu lagi-lagi terkedik asal. Kesannya nggak peduli, tapi di mata Rikas, Maula seakan sedang bingung baik dalam menjelaskan atau pun mendeskripsikan mengenai perasaan yang sesungguhnya dia alami. "Gue gak mau aja ngotorin trophy Mbah Nung," cicitnya kemudian.

"Trophy?" salin Rikas.

Maula mendesah pendek. Sayangnya, matanya sama sekali nggak mau memandang balik Rikas sewaktu dia bicara, "Lo ingat apa yang dibawa Bulik Kemala ke acara selamatan kemarin?"

"Range Rover baret," singkat Rikas.

"Yang elo lecetin?" timpal Maula dengan menghadirkan satu ringisan mengejek.

Pria itu pun sontak mendengkus. "Sumpah itu udah lecet dari awal. Sebelum kita datang. Nyatanya, Bulik mungkin memang gagal parkir atau kena krikil yang mental."

Lalu, giliran Maula lah yang lantas mengekeh-ngekeh pelan. Jelas tak ada indikasi hendak membahas mengenai baret mobil Bulik lebih lanjut. Daripada itu, dia justru mulai bercerita, "Dibanding semua keluarga bisa dibilang keluarga Bulik Kemala lah yang keuangannya paling terbatas. Tapi, apa yang dia punya?" Maula menjeda guna tersenyum dan bergeleng-geleng kepala takjub.

"Semua anak Mbah Nung termasuk cucu-cucunya katakanlah sukses. Kalo gak kerjaan mereka bagus, seenggaknya mereka pasti masuk kampus bergengsi. Abang aja di UGM. Itu udah paling minimal. Tapi, gue? Di kampus swasta yang pas gue sebut namanya gak ada yang tahu. Mana di sana IPK gue cuma 2." Kali ini perempuan itu terlihat meringis layaknya tengah menahan rasa sakit. "Bahkan Mama sebelum beliau jadi ibu rumah tangga yang serba bisa, honestly, she was a banker. See? Gak ada yang gagal. Lama-lama gue di tempat Mbah Nung, yang ada dia bisa ngedadak stroke kalo banyak tetangganya yang ngegosip dan ngecacatin. Dia gak bisa jadi perfect winner kalo gak punya trophy yang sama sempurnanya buat dipajang."

"You're facing a challenging time. It's so damn hard," gumam Rikas entah apa sesungguhnya yang kiranya pantas dia katakan dalam situasi ini untuk menanggapi.

"Itu cuma sesuatu yang em, normal. Karena, sejak awal emang gak ada yang lancar kok di hidup gue."

Rikas mengamati wajah Maula. Memerhatikannya secara penuh dalam bungkam. Cewek ini sangat suka melucu bahkan tanpa dia sendiri sadari. Hobinya rasanya ya itu menghibur orang. Alhasil nggak sedikit orang yang justru menganggap bahwa dia nggak punya beban dan masalah. She never faced tough time or even anything. Dia tidak butuh dihibur. Tetapi, Maula adalah manusia. Mustahil ada manusia yang hidup tanpa punya masalah untuk mereka hadapi.

Dan, lebih daripda itu .... "Tapi, lo selalu membuat lancar hidup gue sejak kita ketemu," gumam Rikas. Bukan bermaksud menghibur, dia tulus.

Maula tertawa kecil menanggapinya. "Kayak jimat ya gue?" Dia jelas-jelas punya niat bergurau, tapi Rikas langsung menganggukinya tanpa ragu.

"That's why gue nggak ingin ngelepasin lo," aku pria itu.

"Itulah kenapa tiba-tiba elo ngaku suka sama gue? Karena, lo gak mau kehilangan keberuntungan lo?" simpul Maula dengan mata yang kini lurus-lurus menatap Rikas.

Pria itu sejenak membasahi bibirnya. "Kalau gue bilang gue benar suka. Lo percaya?" Dia lalu bertanya.

Dan, Maula tanpa perlu berpikir kontan menggeleng satu kali. "Gak."

Rikas pun tak kuasa membendung kekehannya. Maula still Maula. Dia sangatlah frontal.

"Kalau gue bikin lo percaya. Lo mau izinin nggak? I mean apa lo mau kasih gue kesempatan untuk buktikan apa yang gue katakan?" ujar Rikas.

"Bahwa lo suka cewek?"

"Bacause, I like you," ralatnya.

Maula berdecak rendah. Matanya udah nggak lagi terarah pada Rikas melainkan kepada Agnia yang lagi main-mainin sayuran dalam troli. "Hm ... mungkin bakal gue pertimbangkan sih. Asal ...." Cewek itu sengaja menggantung kalimatnya.

Namun, Rikas yang terlanjur berharap begitu nggak sabarannya ketika memburu, "Mau gue gantiin jadwal masak sama beberes lo selama sebulan penuh?"

"Ogah," tolak Maula kilat.

"Then?"

"Jawab satu pertanyaan gue. Lo sama Mas Linggar itu ada hubungan apa?"

"Mantan rekan setim," jawab Rikas kalem.

"Gue udah tahu kalo itu mah!" sergah Maula. "Selain itu? Dia keliatan langsung nurut pas ngelihat mata elo. Kalian pacaran?"

"Satu pertanyaan dan gue udah jawab."

Maula mendesis. "Oh, gitu? Oke deh. Gak bakalan gue kasih kesempa—"

"Fine! The answer is no." Rikas menggelengkan kepalanya tegas, berusaha meyakinkan. "Kami nggak pacaran."

"Terus? Pernah pacaran?" Namun, Maula bersama asumsinya tentu belum kenyang untuk disuapi.

"Never. Dia suka cewek. Dan, sekarang gue sukanya sama lo."

Maula memutar bola matanya malas. "Terus kenapa dia nurut pas udah lo pelototin?"

"Pertama gue nggak pernah pelototin. Terakhir, I dunno maybe because I know his little secret?"

"Rahasia apaan?"

"Actually, secret is no longer a secret once someone knows it, right?"

Maula mendengkus. "Bener gak mau bilang?"

"Bukan nggak mau, tapi nggak bisa."

"Tapi kan gue—"

Maula belum berhasil merampungkan desakkannya saat dia justru keburu dipanggil oleh Agnia. Anak itu minta pipis. Maula akhirnya memutuskan buat menyerah terhadap usahanya menginterogasi Rikas demi segera menggendong anak itu buat cari toilet.

Namun, ketika akhirnya Maula kembali seorang diri ke area fresh market karena Agnia—namanya anak-anak ya mendadak aja dia pengen sama Maula, terus pengen lagi bareng-bareng sama Papanya—selesai dari toilet dia dijemput oleh Mas Linggar, Maula juga sempat menemani untuk mampir beli roti sebentar.

Dan, di sini, selepas beberapa menit saja dia tinggal, perempuan itu nggak bisa nemuin Rikas. Cuma tersisa troli mereka yang hampir penuh di dekat rak sayuran. Tetapi, tanda-tanda kehadiran laki-laki itu nggak ada di mana pun di sepanjang matanya menerawang.

Maula hendak mulai mencoba cari di luar, tapi tiba-tiba dia mendengar suara tumpukan kayak kotak-kotak yang berjatuhan. Nggak pakai mikir lama, Maula sontak mengeceknya.

Di dekat display kotak-kotak buah mangga yang lagi musim dan ditumpuk sedemikian cantik, kini beberapa ada yang jatuh, Rikas tampak lagi duduk sambil memeluk lututnya di sekitar kekacauan itu.

Shit! It was a panic attack.

Kakak iparnya, Sandara, sering mengalaminya. Maula beberapa kali pernah melihatnya. Buru-buru mencari benda yang sekiranya bisa dia gunakan guna membantu Rikas di situasi ini, Maula lantas memutuskan untuk menuang semua roti dalam kantong kertas pemberian Mas Linggar yang sedari tadi digenggamnya ke lantai untuk kemudian dia gegas ikut jongkok di samping Rikas.

Maula mengarahkan kantong tersebut ke sekitaran mulut Rikas sambil meminta lirih, "Inhale and exhale. Just breathing slowly, deeply, and carefully."

Rikas dengan gemetaran ragu-ragu tunduk menuruti. Sedang, Maula terus memerhatikannya dalam cemas.

What the hell happened here? Tadi pria itu baik-baik aja waktu dia pamiti.

Pertanyaan itu Maula simpan bahkan hingga saat akhirnya Rikas berangsur tenang dan bisa bernapas dengan lebih teratur.

Maula secara hati-hati lantas menangkup wajah laki-laki itu yang dia angkat guna sedikit tengadah. Dingin kontras terasa di kulitnya yang bergesekan dengan kulit milik Rikas yang berkeringat.

Namun, hal itu sama sekali tak menyurutkan niat Maula untuk kemudian berbisik menenangkan, "Hei? Lo ... oke?" Dia seka melalui jari peluh Rikas yang menetes di pelipis.

Napas Rikas masih cukup putus-putus. Netranya pun tampak mengerjap dengan layu. Kendati demikian, Maula tahu bahwa pria itu udah lumayan sadar untuk lantas balas mengujar rendah, "You were here. Beside me. So, I will be okay, Maula. Sama seperti yang lo bilang, lo jimat gue."

Rikas lalu memeluknya erat sekali. Maula masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi sampai dia melihat benda yang sepertinya selembar kartu nama, yang telah diremat hingga lecek, jatuh di dekat mereka berpelukan.

Pelan Maula memungutnya, menggenggamnya tanpa ada yang melihat, seraya terus menepuk-nepuk lembut punggung Rikas. Saat ini, dia mencoba semampunya guna menenangkan pria itu di bawah beberapa mata pengunjung swalayan yang terang-terangan menengoki mereka dengan penuh curiga.

***

Extra babnya juga udah mulai tayang yaps di sebelah. Versi cetaknya juga akan ada ready stocknya di shopee barang kali teman-teman ingin memeluk Maula yang udah diedit sedemikian rupa sampai gemas ulala.

Anyway, siapa sih tokoh paling nyebelin di cerita ini menurut kamu? 😳

Makasih udah baca Ula sama Rikas ya 💛💚💛

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro