Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Satu Pelukan.

Maula serasa berada di dua belahan dunia berbeda ketika akhirnya berhasil mendorong terbuka pintu minimarket untuk menemukan kulit telanjangnya yang semula dingin bak dilumuri es kembali dijilati dengan ganasnya oleh sinar ultraviolet kota Jakarta yang naga-naganya sanggup membakar hingga ke jiwa.

Fiyuuuh!

Maula yang waktu berangkat ke mall lupa pakai sunscreen itu lantas mengusap-usap kulit bagian lengan atasnya yang sedikit panas menggunakan tangannya yang padahal udah penuh buat memegangi kresek hasil belanjaan.

Huh, inginnya sih Maula berlama-lama berdiri di depan showcase cooler, tapi semakin lama dia di dalam tentulah semakin besar kemungkinan Rikas bakalan pingsan di jalanan.

Sekarang saja cowok itu tampak masih lemas duduk di bangku yang tersebar di sekitaran halaman minimarket. Bahu tegapnya terlihat jatuh, belum lagi kepalanya yang dia taruh secara sembarang di meja, mana beberapa kali sekali Maula bisa menangkap kalau napas lelaki itu juga terhela berat. Dih, gayanya udah macam baru dapat pengumuman kalau dunia besok bakal kiamat!

Namun, Maula tak akan menilainya lebay sih. Kendati semua kerugian akibat kecelakaan yang tadi melibatkan mereka bisa ter-cover asuransi, tetapi dari pengalaman Maula sendiri yang dulu pernah belajar naik motor lalu menabrak pohon mangga di pekarangan tetangga, mana sukses nyemplung ke got, dan langsung diamuk oleh Mbah Nung pula, wajar jika Rikas merasa shock serta ketakutan.

Meski kalau boleh jujur Maula masih agak dongkol karena sejak tadi Rikas hanya sembunyi di balik keteknya. Dia mana tahu betapa busuk bau mulut orang yang mereka tabrak, yang ludahnya muncrat-muncrat pas mengomeli Maula. Rikas cuma bisa mengkerut kayak balon kurang ditiup pas Maula berkali-kali minta maaf, dan berjanji bakal mengganti semua kerugian yang ada asal mereka nggak perlu membawa-bawa pihak berwajib ke dalamnya. Oh, bukannya apa-apa, tapi Maula malas ribet, toh mending ganti rugi seberapa pun jumlahnya sebab kan yang dipakainya nanti duitnya Si Rikas, hehe.

Ngomongin soal duit Si Rikas, termasuk kresek yang kali ini Maula letakkan di meja hingga sebelah-menyebelah bersama kepala cantiknya Si Rikas juga Maula beli menggunakan duit dari dompetnya lelaki itu yang nggak tahu sejak kapan udah Maula genggam di tangannya. Um, mungkin sejak pria bertubuh seterek bak atlet gulat yang ditabrak Rikas mulai gedor-gedor kaca mobil mereka dengan tak nyantai?

Hih, kalau diingat lagi Maula jadi merinding. Bisa-bisanya dia menghadapi manusia yang jelas-jelas bahkan tiga kali lipat lebih besar dari dirinya. Udah gitu mukanya juga lebih nyeremin dari Mbah Nung kalau murka. Masih untung Maula nggak terkecing-kencing di celana begitu dibentak-bentak melalui suaranya yang kayak bunyi kentut kuda nil.

Sumpah ya Rikas sama Si Teddy yang udah kabur duluan ke kantor naik Grab utang banyak pada Maula hari ini!

"Nih, gue beliin air sama roti. Kalau masih lemes makan dulu," ujar Maula sembari mengempaskan bobot tubuhnya yang ringan ke atas kursi kosong di depan Rikas yang masih saja tampak melas.

Ck!

Namun, kendati Maula menunggu dengan mata yang tak lepas mengawasi Rikas. Pria itu toh tetap bertahan dalam posisinya semula seolah dia nggak dengar apa yang Maula kata.

Sebenarnya ya bodo amat sih kalau dia mau nggak makan apa yang udah Maula beli barusan di minimarket. Cuma, mau sampai kapan coba mereka duduk-duduk di sana? Emangnya Rikas nggak ditungguin sama kerjaannya di AlphaReturns? Malah seingat Maula, Rikas belum ada nyentuh hapenya untuk mengabari kantor tentang apa yang sempat dia alami. Maula tentu nggak senekat itu buat mewakilinya karena dia bahkan baru sekali ke kantor Rikas, dan sama sekali nggak ada kenal sama orang-orang di dalamnya. Jadi, ya, Maula hanya berharap sama Si Teddy yang semoga dia masih ingat buat menghubungi salah satu kenalan Rikas.

"Udah kelar. Tadi lo juga denger sendiri kan kesepakatan sama orangnya? Udah damai. Dia udah mau nerima kompensasinya, dan janji nggak bakalan bikin drama. Jadi, bukannya sebaiknya kita pulang kalo lo emang nggak kepengen balik ke kantor?" ungkap Maula. Tak akan menampik, dia gregetan karena semakin dibiarkan Rikas malah cuman diam mirip patung!

Sialannya, perkataannya lagi-lagi dicuaikan Rikas. Jangankan sahutan, gerak dikit saja dia enggak!

Bener-bener deh!

Maula berpikir buat meninggalkannya saja di sana, tapi dia ingat lagi betapa nelangsa suara tangisan Rikas yang tadi mendekapnya erat saat di mobil. Apakah itu betul-betul tangisan gara-gara dia takut menghadapi orang yang dia tabrak? Atau ....

Rikas emang suka mendadak awkward jika mesti bersinggungan sama Bang Miko sih, tapi selama dua tahun mereka bareng-bareng, Maula rasanya nggak pernah melihat Rikas jadi sepenakut tadi.

Apa jangan-jangan asumsinya keliru? Ada hal lain yang ternyata bikin Rikas mendadak ciut dan takut?

Maula masih lurus-lurus menatapi puncak kepala lelaki itu yang menunduk. Pikirannya sontak berkecamuk. Namun, seluruh kegundahan tersebut tak berlangsung lama berkat suara deringan ponsel milik Maula yang tiba-tiba menyela mengudara.

Dengan sedikit gelagapan Maula meraba-raba kantung celana jeans-nya sebelum akhirnya dia bergerak menepuk kasar dahinya sendiri sewaktu sadar bahwa dia menyimpan ponsel itu di dalam saku tas. Tak lagi memandangi Rikas sebagai satu-satunya pusat atensi, Maula meliarkan matanya ke arah layar ponsel yang berhasil diraihnya dari dalam tas selempang yang sejak tadi membelit badannya guna menjumpai nama 'Mami Ursula' terpampang secara nyata di daftar panggilannya.

Ough, ya ampuuuun!

Maula masih sempat berdeham demi melonggarkan tenggorokannya yang seperti terganjal duri ikan sebelum akhirnya menggeser icon hijau di atas layar.

"Mami? Iya, ini Ula. Kenapa, Mi?" sambut gadis itu ceria yang mungkin berkat keceriannya itulah—atau, Maula sih lebih percaya gara-gara dia sebut-sebut Mami di telepon—Rikas yang tadinya kayak ayam kena flu burung mendadak bugar.

Dih, dih, emang dasar anak Mami sejati dia tuh!

Maula mengabaikannya saja untuk mendengar suara Mami di seberang sana terkesan udah sesehat normalnya. Nggak heranlah makanya kemarin pagi dokter udah ngizinin Mami buat pulang.

"Ula hari ini sibuk nggak? Kalau ada sedikit lowong boleh dong Ula mampir ke tempat Mami bentar. Ada yang Mami pengen gosipin nih sama Ula."

Maula sengaja menepuk-nepuk mulutnya ringan. "Uhh, gosip apa tuh?"

"Ya makanya sini biar kita bisa sharing-sharing." Kikikan merdu Mami lantas mneyusul setelahnya. "Oh, iya, Rikas oke kan, La?"

"Hm?"

"Iya, hari ini Mami hubungin Rikas, tapi dari pagi nggak diangkat-angkat. Apa mendadak dia ada agenda ke luar kota, ya?"

Maula spontan mengerutkan ujung alisnya. Tumben-tumbenan Rikas nggak mau ngangkat telepon dari Mami. Apa karena hari ini dia udah terlanjur berencana buat balikan sama Si Teddy jadi dia merasa bersalah kalau mesti ketawa-tawa sama Mami yang tiada henti dia kibuli? Namun, ya masa iya sih? Biasa juga dia oke-oke aja kok. Emang aneh banget nggak sih Rikas seharian ini?

Menahan segala asumsi itu, Maula menggumam, "Rikas ya, Mi?" Bersama mata yang berhasil saling bertalian dengan milik Rikas yang sejak dia menelpon dengan Mama tiada henti memandanginya awas, dia lantas menjawab diplomatis, "Nggak keluar kota kok. Mungkin ada sibuk rapat, Mi? Ntar kalo Rikasnya udah balik Ula ingetin deh buat lihat hapenya terus hubungin Mami balik, hehe."

"Oke oke makasih ya, Sayang. Oh, iya, Mami tunggu loh ya! Agak sorean juga nggak papa. Yang penting Ulanya lagi lowong. Jadi, Maminya nggak ngerepotin."

Maula menyengir meski Mami tak dapat melihatnya. "Nggak repot kok, Mi. Siap nanti Ula kabarin lagi ya, Mi, kalo udah mulai jalan."

Dan, setelah basa-basi singkat termasuk Mami yang nanyain Maula mau dimasakin camilan apa, Mami lantas menutup teleponnya.

Meninggalkan Maula serta Rikas yang masih saling bertukar lirikan. Saking lama pun intensnya Maula bahkan sanggup memindai jika bekas-bekas luka bonyok di wajah Rikas telah agak memudar. Maula nggak sempat melantur memikirian kira-kira lelaki itu memakai krim apa hingga efeknya bisa se-magic itu sampai tiba-tiba suara Rikas yang lirih sekaligus serak berkata patah-patah, "Papi gue mati pas gue umur empat belas."

Maula sudah tahu mengenai itu. Mami banyak cerita pas mereka baru awal-awal menikah sambil mengasih lihat Maula album-album foto dari Rikas pas masih bayi hingga lulus S2.

Tapi, satu yang Mami belum pernah cerita hingga begitu Rikas lantas menyambung Maula sukses dibuatnya terhenyak hebat, "Gue yang udah bunuh Papi di kecelakaan kayak yang barusan aja terjadi."

Maula masih melihatnya. Sekelebat kabut di mata Rikas yang kontras memerah, embun-embun tipis di dalamnya yang membayang dan siap luruh, Rikas bukan menangis karena dia Banci Cengeng yang kelewat takut diomelin sama pemilik mobil di depan mereka yang ditabraknya, tetapi tanpa Maula sadari dia ternyata terkena panic attack. Kakak iparnya, salah satu orang terdekat Maula, bahkan telah kenyang dengan ini, mengapa Maula bisa terlambat menyadarinya?

Maula udah berdiri bukan untuk lari sebab ngeri menghadapi pengakuan Rikas. Dibanding itu, Maula justru bergerak makin rapat demi menerima pria itu untuk kembali menyembunyikan dirinya yang hancur di dalam satu dekap hangatnya. Karena, memang hanya inilah yang dapat Maula beri untuk hati yang terlanjur tersakiti dan tak sepenuhnya mampu terobati.

Sungguh, lebih dari apa pun, Maula paling tahu rasanya saat terkoyak-koyak, tapi tak ada orang yang datang tuk mengulurkan meski itu sekadar satu pelukan.

***

Makasih udah baca Ula dan Bences yaw 💛💚💛

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro