1. Teman Serumah.
Why do people get married?
Atau, dalam hal ini ....
Why did she want to marry him?
Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara pesta pernikahan yang digelar mantannya—augh, Giri malah masih berstatus sebagai pacarnya sih pas ujug-ujug memberinya sepucuk undangan, dan meninggalkannya tanpa pamit buat nikah sama cewek lain. Seolah enam tahun kebersamaan mereka cuma pariwara iklan yang bisa dengan mudahnya dia abaikan.
Sementara, Ezio ... laki-laki itu emang nggak pernah secara de facto maupun de jure mengemban predikat sebagai kekasihnya. Tapi, kan ya tetap aja toh itu nggak lantas menggugurkan fakta kalo pernikahan pria itu juga sempat—fatalnya mungkin justru masih—bikin Maula sakit hati. Di samping itu, biar pun bukan mantan pacar, tapi Ezio tetaplah mantan first crush and kiss-nya kan?
"Kaos polo ijo kenapa nggak langsung ditaro keranjang cuci?"
"Baru sekali dipakai."
"Ya terus mau lo pake lagi?"
"Iya."
"Bau asem kali! Ih jorok banget! Keringet dan bakterinya walau dipake sekali tuh tetep nempel tahu nggak sih lo?! Nggak usah dipake lagi, pake yang lain aja!"
"Oh."
"Ini lagi kolor birunya Si Teddy, ya?!" Di sofa sedang menghadap layar laptop yang menyala, satu-satunya lelaki di rumah itu cuma melirik malas ke arah Maula yang barusan saja terdengar mengegas. Detik berselang dia bahkan udah langsung sibuk balik ketak-ketik. Memperdengarkan suara sentuhan keyboard yang cukup berisik.
"Kenapa nggak dia bawa balik aja sih?!" Namun, ternyata Maula masihlah sangat semangat mengomel.
"Ntar gue yang nyuci."
"Ya bukannya perkara lo yang nyuci, ya! Lagi, siapa juga mau nyuciin celana yang banyak lendir keringnya begitu?"
"That was pre-cum, Maula."
Di depan pintu kamar Maula refleks memberi gesture muntah. "Bodo amat! Lagian, ngapa sih pacar lo kebiasaan banget ninggal-ninggalin bekas percintaan begini? Biar apa coba?!"
"Gue cuci. Oke?"
Menanggapinya, Maula hanya menjejalkan secara kasar handuk basah yang tadi berhasil dia temukan di atas kasur kamar bawah ke dalam keranjang yang dia pakai mungutin baju-baju kotor.
"Bodo!" Perempuan yang masih mengenakan piyama dalam ukuran dua kali lebih besar dari tubuh kurusnya itu nyaris berlalu ke ruang laundry buat mengawali harinya dengan aktivitas cuci-cuci, tapi sontak berhenti karena dari arah sofa dia mendengar lelaki itu kembali mengajaknya bicara.
"Oh, ya. Semalem Nyokap lo nelpon."
"Gue punya hape. Mama bisa nelpon gue ke nomor gue sendiri."
"I know. Tapi, untuk acara anniversary orang tua lo, Mama juga berharap gue datang." Lelaki itu mengatakannya tanpa sedikit pun berhenti dari kegiatannya, lebih-lebih menoleh ke arah orang yang diajaknya mengobrol.
"Gak usah. Lagian, acaranya barengan sama ultah pacar lo. Bukannya kalian udah janjian mau ke Bali?"
"Teddy yang bilang?"
Maula mengedikan bahunya—tak peduli bahwa lelaki itu nggak bakal melihatnya—sambil kemudian membalas, "Ntar gue cari alasan."
"Gue bisulan di bokong dan mau pecah? Seriously? Nggak ada yang lebih proper? Tahun lalu lo pakai alasan itu!"
"Gue pake alasan lo mati aja gimana?"
Diawali dengan dengkusan, lelaki itu memutar bola matanya.
"Kenapa sih sensi banget pagi-pagi? Kan udah biasa juga Teddy nginep. Cemburu?"
"Cemburu?" Maula ternganga-nganga. "Dih! Bodo amat sama Si Teddy! Hubungan kalian gak ada urusannya sama gue!" Dia lantas mengibas-ngibas wajahnya yang terasa panas, mungkin gara-gara kesal. "Udahlah. Gak usah datang. Di tempat Mama ntar lo ketemu Bang Miko malah jadinya berabe! Dia masih nggak percaya lo nikahin gue tanpa alasan terselubung. Sekali lihat lo aja dia pasti bakal langsung tahu apa yang lo sembunyiin."
"Gue? Bukannya kita?"
Maula terhenyak. Ya, benar kita.
"Ya pokoknya gak usah datang!"
"Oke. Ntar gue transfer ke elo buat beli kadonya Mama sama Papa."
Maula hanya diam. Mau nolak, tetapi ya kali dia mesti beli 2 kado menggunakan uangnya sendiri demi bikin framing mantu idaman buat lelaki itu? Rugi bandar dong! Mana gajinya juga agak telat turun bulan ini. Terus, kalo dibiarin nggak ada kado dari mantunya, malah nanti keluarga besarnya khususnya Mbah Nung bakal curiga. Tahun lalu aja sebagai pengantin baru yang ke mana-mana sendiri, dia dikulitin habis-habisan sama Bude-Bude super-julidnya. Dih!
"Lo nggak ngajar?" Lelaki yang kalau diperhatikan telah bersiap ngantor dengan kemeja katun klimis berwarna army-nya itu tiba-tiba bertanya. Mungkin habis nananina dia langsung gercep mandi kali ya? Maula sih nggak ingin mikir jam berapa kira-kira. Yang jelas, pacarnya yang semalam datang, begitu Maula bangun sudah tidak lagi dia temukan kehadiran batang hidungnya di rumah.
"Gue mau ke tempat Bang Miko," Maula lantas menjawabnya secara terus terang.
"Ngapain?"
"Kayak biasalah. Dia mau nitip Kaisar."
Lelaki itu manggut-manggut. Sementara Maula yang masih menggotong-gotong keranjang lantas berjalan ke arah jendela. Mungkin gara-gara suhu tubuhnya mendadak naik saat berdebat bersama lelaki itu, dia merasa pengap. Mana tirai-tirai di rumah tak kunjung dibuka meski jelas-jelas pagi mulai menyingsing pula. Bikin tambah gerah aja!
Menggunakan sebelah tangannya yang bebas, Maula kontan menyibakkan kain-kain yang membingkai rapi jendela ruang depan.
Dan, detik ketika seluruh cahaya berbondong masuk ke dalam rumah, mata perempuan itu sontak melotot.
"Kenapa lo nggak bilang?" Maula hampir-hampir menjerit. Lelaki di depannya spontan menaikkan sebelah alisnya yang Maula tahulah kalau itu artinya dia lagi nanya. Jadi aja Maula ngelanjutin, "Kalo kita tetanggaan sama Ezio?!"
"Ezio? Who?"
"Itu tetangga depan rumah?!" Jari Maula mengacung tegang. Menuding satu rumah dari balik jendela rumah mereka yang terpasang lebar-lebar.
"Oh."
"Kenapa cuma 'oh'?!"
"Em. Ya mana gue tahu?"
"Kenapa lo bisa gak tahu?"
"Ya emangnya lo Ibu RT? Gue Bapak RT? Mana gue tahu kalo ternyata kemarin banyak mobil box di depan bukan sibuk ngebawa-bawain barangnya Pak Tirta."
"Rikas, harusnya tuh kita nih ya belajar dari pernikahannya Bang Miko!"
"Belajar apa? Kita kan cuma teman serumah."
Maula mendesah panjang. Tapi, nggak bisa mendebat. Karena, ya benar. Apa yang barusan dibilang sama Pramadaya Rikas Harsodjo memang kenyataan.
Maula sekali lagi melirik ke rumah yang jauh lebih besar dan megah di seberang jalan. Ada sosok tinggi Ezio—dari betapa necis penampilannya pagi ini, agaknya dia hendak berangkat ke ME entertainment atau justru rumah sakit—beserta seorang cewek yang berdiri saling bersisian persis di depan pagar.
Bagaimana Maula yakin jika itu Ezio? Padahal, jarak rumah mereka dipisahkan oleh jalanan kompleks?
Percaya deh! Meski jarak yang misahin satu kilo, Maula akan tetap mengenali Ezio. Siluetnya bahkan telah dia untit sedari remaja. Bagaimana Maula bisa lupa? Postur Ezio seolah terpatri abadi dalam kepalanya. Dan, setelah, bertahun-tahun belakangan ini ....
Bahkan, setelah mereka sama-sama sudah menikah. Maula ternyata masih saja lebih payah, ya?
Lihat tuh!
Ezio yang minim ekspresi. Yang dulu dia goda-goda sampai-sampai dia kayak reog, tapi cowok itu malah kalem saja. Siapa sangka coba jika sekarang dia bisa elus-elus rambut cewek dengan lembut seperti apa yang saat ini sedang Maula saksikan dari balik jendela rumahnya? Ezio sama sekali nggak malu melakukannya. Sama sekali nggak kelihatan kaku apalagi kepaksa.
Eh, tapi, kok bisa Ezio di sana, ya? Bukannya terakhir kabarnya mereka menempati rumah Tante Ane? Haruskah Maula korek info dari Bang Miko atau Bang Rega sekalian? Tapi buat apa?
Ya, buat apa? Emangnya kalo dia tahu, terus mau ngapain? Memangnya Ezio bakal pindah? Emangnya tetangga depan rumahnya yang baru bisa batal diisi oleh Ezio dan istri, bukannya tetap Pak Tirta yang udah uzur serta sering nawarin Maula buat pergi jogging pagi ala-ala bareng sambil pulangnya beli bubur ayam depan kompleks?
"Heh, Ula!" panggilan ini bikin Maula menoleh malas-malasan. "Why?" tanya lelaki itu. Dahinya yang selalu digosok skincare high end tampak samar terlipat.
"Kenapa lo gak pernah usap-usap rambut gue?" gusar Maula kemudian.
"What?!"
"Kita udah nikah setahun setengah. Jangankan usap rambut, pegang tangan gue aja lo gak pernah!"
"Hah?"
"Emang lo Dasar Pramadaya Rikas Bencong Mampang Jahaaaat!!"
Maula lalu ngacir dari sana. Meninggalkan Rikas yang mungkin bertanya-tanya ada apa sama Maula, teman serumahnya yang ujuk-ujuk menuntut pengen diperlakukan kayak istri beneran?
Sesuatu yang sejak awal mereka berkenalan jelas dengan tegas tak pernah Rikas tawarkan.
"Ula, mau gue tebengin ke rumah Miko nggak?"
"Ogah naek mobil bekas lo nananina!!"
Oh, My God! Frontal! But, ya as always, Maula.
Dan, toh, Rikas yang kembali mengetik tetap ringan terkekeh.
***
Berhubung jempol akyu belom tergerak buat ngeluniasin utang-utang cerita yang nunggak. Yuk temenin aku di sebelah dan di sini bareng Maula. Ceritanya ringan aja kok. Udah 8 bab. Di sini mungkin update seminggu sekali yo. Besok di anu kita jumpa lagi 💅
Terima kasih 💚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro