🦚 | Bagian 09
🦚 Bagian 09 🦚
Tahun ini akan segera berakhir, hanya menghitung jam. Semoga hal-hal buruk terbawa pergi, dan semua yang baik mengikuti langkahku ke tahun baru.
Salah satu hal baik datang lagi, video yang direkam pelanggan di Christmas Market viral di Korea dan Indonesia. Dampaknya adalah media sosialku yang awalnya sepi menjadi sangat ramai, jumlah follower bertambah. Juga DM banyak orang yang meminta aku meng-cover lagu lainnya.
Karena itu, pagi-pagi sekali mama langsung menelpon, memberikan wejangan dan omelan seperti biasa kepadaku. Tidak berbeda, ayah melalukan hal yang sama. Setelah itu, mereka berbicara kepada kakek dan nenek yang merespon ala kadarnya.
Malah nenek dengan santai berkata. “Dia sudah besar, biarlah Dia berjalan menggunakan kakinya sendiri. Mau sampai kapan kalian memakainya alat bantu berjalan? Memangnya Dia lumpuh? Cukup ketiga cucuku saja. Yang ini jangan!”
Aku hampir menjatuhkan air mata mendengarkan kata-kata nenek. Tuhan adil, aku percaya ini karena setidaknya ada mereka berdua yang mendukungku. Tidak bisa terbayangkan jika mereka sama seperti ayah dan mama.
“Eonnie! Lihat sudah 10 juta orang yang menonton di YouTube dalam waktu seminggu! Daebak!” Mina menunjuk layar ponselnya.
Aku mengulum bibir, menahan senyum lebar. Dibandingkan ingin tersenyum aku sepertinya hendak menangis terharu. Setetes air mata lolos dari balik kelopak mata. Mana pernah aku berharap bisa seberuntung ini? Seumur hidup, aku belum pernah memimpikan bahwa video-video itu akan seterkenal ini. Jika level harapan untuk menggapai cita-cita sungguh ada, maka aku berada di deretan 0,99 persen—dulunya, namun sekarang tidak.
Realistis saja, mau mengembangkan diri di mana? Di media sosial? Tentu aku pernah mencobanya dan sekalipun tidak ada tanda like di videoku selain diriku sendiri. Mana berani memposting di aku asliku jika beberapa menit kemudian telpon dari mama akan masuk. Aku bingung kenapa mama begitu benci dengan musisi? Sepertinya ia memiliki dendam besar dengan profesi Itu.
Yang aku tahu dari cerita nenek, ayah pernah memiliki mantan kekasih seorang penyanyi, yang mana setelah mereka putus, ayah langsung menikahi mama. Sepertinya ini cerita yang komplek sehingga mama begitu anti musisi. Ayah sama saja, kata nenek dulu ayah dikhianati musisi tersebut, makanya ia benci. Aneh.
“Eonnie? Kau tidak apa-apa?” Mina memegang pundakku.
“Gwenchana, Mina-ya.” Aku tersenyum lebar seraya menghapus jejak air mata. Emosional sekali aku hari ini.
“Sebagai perayaan video Sakura yang viral lagi, kita akan minum hari ini! Sekalian acara penutupan akhir tahun!” Seruan itu datang dari bibi Ahn-jong yang tiba-tiba mengangkat gelas kopinya tinggi-tinggi.
“Yes!” Ji-Sung dan Katarina saling bertos-ria dan mengucapkan beberapa kalimat yang membuat aku menggeleng kepala.
Can't Take My Eyes Off You hari ini cukup ramai, hiasan pohon natal masih terpasang di ujung ruangan, kelap-kelip lampu hias yang menghiasi ruangan ini begitu menambah keindahan, juga lampu neon di sudut-sudut ruangan.
Memutar kepala ke sisi lain dari kafe ini, aku mencari-cari keberadaan Pradipta yang ternyata sedang sibuk melayani pelanggan. Kebanyakan pelanggan adalah wanita. Aku bingung kenapa mereka terus menatap Pradipta seakan-akan di sini tidak ada pria lagi.
“Diptaaa!” Seruan melengking itu datang dari arah pintu.
Aku memutar kepala dan tampak seorang wanita bertumbuh tinggi bagaikan gitar spanyol berlenggok masuk. Semua mata menjadikannya titik pusat. Benar-benar seperti model yang berjalan di atas catwalk JFW.
“Any Dipta here? Pradipta, my honey?” Ia berseru lagi sambil mengedarkan padangan mencari ... Pradipta? Spontan aku ikut mencari keberadaannya dengan mata menyipit.
Tak lama kemudian setelah panggilan itu, Dipta pun melepaskan seragam semacam apron khusus pelayan dengan terburu-buru. Lalu ia pergi dengan wanita itu keluar kafe.
Sorot mataku berubah sendu. Jadi, benar wanita itu mencari Pradipta. Lalu ada hubungan apa di antara mereka? Kenapa tadi ia memanggil Pradipta dengan sebutan honey? Apa jangan-jangan Pradipta sudah memiliki kekasih?
Menarik napas gusar, aku pun meneguk kopiku hingga tandas. Kembali aku melirik dindingnya yang transparan—terbuat dari kaca tebal—sambil menebak-nebak apa yang mereka bahas di luar sana. Mereka terlihat begitu serius. Sangat serasi, wanita itu cantik dan Pradipta tampan.
Keningku perlahan mengerut ketika wanita itu memeluk tubuh Pradipta. Beberapa detik kemudian aku membuang wajah ke seberang arah bersama berdenyut nyeri di dada. Wanita itu ... kenapa ia mencium Pradipta? Memangnya dia siapa? Mereka bercumbu, dan aku melihatnya.
Bangkit dari tempat duduk, aku berjalan ke toilet dengan mata memanas. Ah. Ini salah satu penyebab hingga sekarang aku malas berhubungan serius. Setelah mengetahui rasa sakit ditinggal mati, ada hal lainnya yang sama menyakitkan, seperti yang mereka lakukan.
Apa aku memiliki hak untuk menangis di saat kami tidak memiliki hubungan? Sadar Sakura. Namun, hatiku terus menerus memberikan aku rasa sakit. Aku kesal, dan marah karena tindakannya yang terus-menerus memberikan harapan. Jika ia memiliki kekasih, seharusnya ia menjaga jarak.
Terlintas di kepalaku untuk keluar dan menarik jauh tubuh wanita itu, menamparnya dan menendang kemaluan Pradipta. Namun apalah dayaku selain menangis.
🦚🦚🦚
Karena masih jengkel dengan Pradipta, aku tidak mau berbicara atau menanggapi ucapannya. Jangankan itu, meliriknya saja tidak. Aku bener-bener menjaga mata dan keinginan lidahku untuk berbicara dengannya, menanyakan banyak hal hingga ia pusing sendiri.
Kini di depanku sudah tertata rapi beberapa set panggangan. Ada Samgyeopsal, sayur seledri, bawang putih, dan saos. Ayam goreng, dan masih ada beberapa lagi. Jangan lupa Bir dan Soju.
Acara berjalan dengan meriah, bibi Ahn-jong dan paman Ha-Jun begitu romantis, saling menunjukkan kepedulian mereka dengan cara menyuapi satu sama lain. Sedangkan Mina dengan kekasihnya juga tampak serasi, lalu katarina dan Ji-Sung yang makan dengan lahap.
Merasa gerah dengan Pradipta yang tidak memanggilku sejak tadi untuk menjelaskan apa yang terjadi di luar, aku pun meneguk segelas bir hingga tandas. Selajutnya aku memekik tertahan, sensasi aneh yang sama sekali tidak enak memenuhi tenggorokanku.
“Gwenchanaseyo?” Bibi Ahn-jong di sampingku menepuk punggungku.
Aku mengangguk mantap. “Gwenchana.”
Aku tidak tahu berapa gelas telah aku teguk malam ini, yang jelas aku benar-benar ingin mabuk. Mengabaikan semua mata yang menatap ke arahku, termasuk Pradipta, aku tidak peduli.
Hingga tiba-tiba, entah gelas ke berapa di genggamanku, ditahan oleh seseorang. Pradipta yang mengeraskan rahangnya.
“Cukup, Sakura! Ayok pulang.”
Heh? Memangnya siapa dirinya melarangku?
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro