Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2: Seoul Love Story

Bab 2

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Setelah melakukan pertolongan pertama semampu aku, mobil ambulance datang, dan membawa pergi si korban yang syukurnya kembali bernapas setelah dilakukan RPJ dan napas buatan.

“Kamu keren, Sakura.” Nenek berseru sambil menepuk pundakku.

“Jangan meremehkan kemampuan cucuku,” cetus kakek, yang menariku masuk ke dalam rangkulannya.

Air mata hendak jatuh dari pelupuk mataku mendengar pujian mereka barusan. Mana pernah aku dipuji seperti ini oleh kedua orang tuaku yang lebih memperhatikan kakak-kakakku? Aku selalu dianggap tidak berguna dan pembangkang karena melakukan hal yang aku suka, itu hak-ku. Apa salah aku bernyanyi, apa dosa mengikuti konser bersama teman-temanku? Apa tidak boleh aku memiliki band kecil untuk cita-citaku? Aku hanya ingin menjadi diriku, mengikuti apa yang aku mau alih-alih dokter seperti ketiga kakakku.

Mas Keffas adalah dokter spesialis bedah di Surabaya. Mbak Sania tengah sibuk dengan PPDS Internis tingkat akhir. Lalu, Mbak Lani baru saja menyelesaikan Koass-nya dan sibuk memilih rumah sakit untuk intership. Sedangkan aku? Mungkin karena ini mama malu. Aku terus gagal masuk Kedokteran setelah dua tahun berturut-turut mencoba di mana saja. Pada akhirnya, aku memilih banting setir ke Kesehatan Masyarakat.

Aku juga berulang kali memberitahukan keinginanku kepada ayah dan mama tentang cita-citaku menjadi penyanyi, tetapi jawaban mereka tetap sama.

“Mau jadi apa kamu dari nyanyi? Kamu pikir bisa bertahan dengan suaramu itu? Lagian jadi dokter itu bagus, kamu bisa melanjutkan perjalanan kami!” Padahal faktanya sudah ada ketiga kakak-kakak aku yang melanjutkan perjalanan mereka.

Hasil akhir selalu sama, aku kalah dan mereka menang dengan segala argumen. Hanya satu pertanyaan aku setelah itu, apa salahnya menjadi penyanyi? Aku tidak meminta mereka untuk berhenti menjadi dokter—padahal aku bersungguh-sungguh dengan ini—atau menghalangi mereka ketika pergi ke OK atau Kamar Mayat!

Mengusap wajah, aku harus melupakan kepahitan itu, dan meresapi kebebasan ini agar nikmatnya semakin bertambah. Hari ini untuk pertama kalinya aku diberikan kebebasan. Meskipun hanya satu tahun di Korea, itu lebih dari cukup untuk mengembalikan kewarasanku.

Aku, Sakura Kim Saputro, anak keempat dari sepasang suami-istri Dokter Spesialis yang terkenal di Jakarta—memiliki rumah sakit swasta. Anak dari ketua IDI cabang Jakarta—Farhan Saputro.

Detik ini pula, aku mendeklarasikan diri sebagai wanita—beberapa hari lalu baru saja bebas dan menyambar lulusan terbaik Kesehatan Masyarakat—yang bebas memilih langkahnya selama setahun ke depan sebelum kembali masuk ke dalam lubang cacing yang sesak, gelap, dan apak.

••••

Akhirnya kami sampai juga di rumah Kakek bersama nenek, di distrik Seodaemun-gu. Wilayah yang terkenal dengan populasi orang asing, juga mahasiswa. Oleh karena itu, kakek memiliki beberapa One Room¹ dan Goshiwon². Sehingga orang-orang yang bersekolah atau turis, bisa menyewanya.

Tadi, dalam perjalanan pulang, aku menemukan banyak bangunan bertingkat tinggi. Hampir mirip dengan gedung tinggi di Jakarta kalau dilihat dari kaca jendela mobil Kakek yang gelap. Daerah ini dekat dengan Univesitas Ehwa, Universitas Kyonggi, Universitas Yonsei dan Universitas Seni Chungye.

Baru saja kami menginjakkan kaki di depan rumah dan betapa terkejutnya aku ketika pemilik mata itu--yang tadi kutemui di bandara--tengah berdiri di samping rumah kakek. Rumah ini berada di tengah-tengah lantai satu yang diapit oleh dua unit one room¹ dan dua lantai di atas adalah gabungan one room dan goshiwon².

Jantungku tak terkondisikan, lagi hal yang kurasakan tadi terulang kembali. Tidak. Kenapa aku bereaksi aneh, hanya karena melihat matanya yang mirip dengan ..., ck. Aku Mendengkus jengkel tanpa sadar.

Matanya yang melebar ketika kami saling berpandangan, tetapi detik berikutnya ia terlihat biasa saja. Bahkan, bertingkah seperti kami belum pernah bertemu. Seharusnya ia berkata saja kami bertemu tadi di bandara, agar tidak ada drama perkenalan diri. Meskipun, aku sedikit malu mengingat kejadian konyol tadi.

“Dari mana, Cu?" Nenek yang ada di samping aku menyapanya dengan seutas senyum manis.

"Iya, Nek. Habis dari Bandara." Pradipta menjawab sambil melirik-ku sepintas lalu, dan kembali fokus pada nenek dengan senyumnya yang manis.

Nenek menepuk pundak dan menatapku sejenak, dari tatapannya bisa kutebak niat terselubung beliau apa. "Kenalkan, ini cucu nenek, Sakura."

Pradipta mengangguk pelan, pandangan yang aneh itu kembali menimbulkan penasaran di otakku. Ada sesuatu yang menyuruhku untuk bertanya, tapi apa yang ingin ditanyakan? Sialan.

"Sakura, ini Pradipta. Cowok yang pernah nenek cerita ke kamu minggu lalu. Ingat, kan?”

Memiringkan kepala, otakku membuat kilas balik, waktu itu listrik di rumah nenek dan kakek sedang bermasalah. Lalu, kata nenek ada seorang pria yang menolong mereka dengan suka rela. Bukan hanya sekali, namun beberapa kali. Ah ..., ternyata dia orangnya, Pradipta.

••••

Meletakkan nasi kuning, ayam goreng, ayam kecap, sambil tempe, tahu dan sambal bawang di atas meja makan, aku kembali ke dapur.

Makan malam kami sangat Nusantara. Kata nenek hari pertama aku di Korea harus makan makanan Indonesia. Tentu aku dengan senang hati menerimanya. Di rumah, kami jarang sekali seperti ini, karena mama dan ayah lebih suka makanan western. Entah ketiga kakakku itu suka atau tidak, mereka hanya makan tanpa pernah mengutarakan ketidaksukaan.

"Sakura? Panggil Pradipta."

"Huh?" Pergerakan tanganku yang meletakkan senduk di atas piring terhenti.

"Iya. Kita makan malam bersama," jawab Nenek, menjelaskan maksudnya.

Meneguk saliva dengan kasar, aku tidak mungkin menolak perkataan nenek. Bersama langkah berat, gugup tanpa alasan khusus, aku berjalan keluar rumah.

Baiklah. Tidak masala. Jangan berlebihan, Pradipta hanya manusia biasa. Aku terus menenangkan diri di setiap langkah hingga pria itu membuka pintu kos, menampilkan pakaian hitam tanpa hoodie, dengan celana panjang. Sekali lagi, aku menarik napas dalam-dalam.

“Btw, kamu keren.” Pradipta berseru pelan ketika aku memutar rumit kaki, hendak kembali ke rumah.

To be Continued

Catatan kaki:

1. 원롬 merupakan tempat yang lebih besar dari pada gosiwon. One room berarti "satu kamar" yaitu tempat tinggal yang hanya memiliki 1 kamar saja. Fasilitasnya cukup lengkap yaitu berupa kasur, lemari, kamar mandi, dapur, dan mesin cuci. Untuk harganya sendiri berkisar antara 400.000 won hingga 1.000.000 won perbulan.

2. 고시원 atau yang bisa disebut gosiwon merupakan tempat tinggal yang paling kecil di Korea. Kamar tersebut biasanya berukuran 2×3 meter. Saking kecilnya gosiwon hanya dapat dimasuki oleh satu orang dengan kasur dan meja belajar yang menyatu menjadi satu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro