Bab 1: Seoul Love Story
Bab 1
•°•°•°•°•°•
Seoul, 2019
Baru saja aku keluar dari konter imigran dan bea cukai dengan gontai, setelah mengurusi berkas-berkas berupa paspor dan administrasi lainnya setiba dari bandara internasional Soekarno-Hatta ke bandara internasional Incheon. Mataku berat, dan perutku meminta untuk diisi, sedangkan aku begitu lelah untuk mencari makanan di sini.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kembali aku melirik ponsel yang sejak tadi diam tanpa notifikasi satu pun dari keluargaku. Apalagi, mama. Padahal sebelum berangkat ia berjanji akan menghubungiku, tetapi apa? Ia malah membuat status di Instagram bersama sesama koleganya, dokter-dokter tidak waras, menurutku. Mereka tertawa bahagia, seakan-akan beberapa jam yang lalu ia tidak menangis di bandara karena aku pergi. Di mana raut sedih yang kemarin dibuatnya?
Iseng-iseng, penuh harap, aku meneleponnya. Namun mama sekali mematahkan semangatku. Mau bagaimana lagi? Mama adalah mama, wanita yang tidak peduli denganku, anak buangan, yang membuat keluarga malu dengan segala tingkahnya di masa lalu.
Melirik jam di pergelangan tangan telah menunjukkan waktu untuk pergi dari bandara ini, aku segera mencari stasiun bawah tanah, kereta akan tiba, dan aku belum membeli tiket. Untungnya aku hanya membawa satu tas ransel, yang isinya hanya beberapa lembaran pakaian, dan sisanya adalah makanan favoritku yang tidak bisa aku dapatkan dengan mudah di Seoul, peyek, kue nastar, biskuit kesukaanku rasa keju.
Menarik napas panjang, aku melangkah dengan kegerahan, kepenatan, dan kantuk yang menyerang, hingga kurasakan keseimbangan tubuhku menghilang. Dalam sekejap aku limbung. Refleks aku memejamkan mata, siap menerima semua sentuh lantai di tubuh ini. Namun sebuah tangan menarik pinggangku, hingga aku tersentak untuk kedua kalinya dengan keadaan yang tidak kuduga.
Pupil mataku melebar, bersama desiran aneh yang memacu pompa darah di jantungku yang berdegup kencang ketika mata kami bertemu. Tatapan tajam, dengan lekukan garis mata yang sama itu mencuri kesadaranku untuk beberapa detik. Mengapa mata mereka sama? Begitu mirip hingga kurasakan bahwa dia tengah melihatku secara nyata. Hingga aku tersadar dengan orang-orang di sekitar kami, dan segera menarik tubuh darinya.
“Awh!” Sial, bokongku dengan sempurna merasakan dinginnya lantai di minum dingin ini. Ingin detik ini aku mengumpat semua jenis hewan di Taman Margasatwa Ragunan. Namun aku tahan di ujung lidah.
Sebuah tangan yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan aku terulur tepat di wajahku.
“Need help?” ujarnya pelan, suaranya sedikit serak seperti orang flu.
Menerima uluran tangannya dengan ragu-ragu, aku pun bangkit berdiri. “Thanks.”
“Pradipta! Come on!” seorang pria yang berdiri beberapa langkah di depan berseru ke arah kami, lebih tepatnya kepada pria yang sekali lagi membuatku tidak lepas dari matanya.
“Sampai berjumpa kembali.” Seru pria yang aku pikir berdarah western itu, lalu pergi meninggalkan aku dengan keterkejutan. Barusan ia berbicara bahasa Indonesia kan?
Segera aku bergegas ke lantai bawah, di mana aku harus memesan tiket terlebih dahulu.
•°•°•°•°•
Setelah menempuh perjalanan hampir 1 jam dari Incheon ke Seoul. Akhirnya aku semakin dekat dengan kasur. Berjalan keluar Stasiun, setelah berpapasan dengan banyak orang. Aku dihadapkan dengan butiran-butiran halus salju yang turun, langit pun tertutup awan tebal. Di balik kacamata yang beruap, aku berusaha mencari kedua orang paruh baya yang menjemput.
Kenapa kakek dan nenek belum datang?
Menuruni tangga stasiun yang berundak-undakkan. Puluhan meter di depanku, berdiri sebuah gedung tinggi berwarna jingga, mencolok di antara bangunan di belakangnya yang standar seperti biasa—gedung-gedung yang letaknya di seberang jalan.
“Haacim!” Hidungku berair sekarang. Jari-jari tangan pun terasa kaku. Ini seperti meredamkan diri di bak berisikan es batu.
Sebagai orang Indonesia yang terbiasa dengan panas, suhu 1 derajat Celsius adalah hal yang luar biasa. Karena demi selai nanas yang sangat kusukai, setibanya di rumah, aku harus tidur di depan tungku api.
“Sakuraa!”
Tidak menunggu waktu lama bagiku untuk menoleh, mencari sumber suara yang sangat aku kenal.
Benar saja, itu kakek dan nenek—sedang melambaikan tangan. Melebarkan senyum dan langkah, aku berjalan cepat ke arah mereka yang juga terharu memandangiku. Rasa bahagia ini membuahkan butir-butir air di ujung mataku. Lima tahun, kami tidak bersua secara langsung.
Menghamburkan pelukanku pada Nenek yang merentangkan kedua tangannya. Nyaman sekali. Aroma minyak panas, wangi citrus, dan tubuh nenek tercium dengan jelas. Sangat berbeda dengan mama. Percayalah aroma mama kadang kala membuat kepalaku pening, apalagi setelah keluar dari kamar mayat. Mama Dokter Ahli Forensik—yang senang bersama orang meninggal berhari-hari.
“Ah ..., kangen banget sama Halmoni.” Aku berbisik masih dalam posisi berpelukan. Percayalah bahwa nenek adalah wanita yang paling memberikan rasa percaya dan kenyamanan bagiku. Meskipun kami terpisah jarak, kebaikannya tetap terasa.
“Kau tidak merindukan Kakek?” celetuk kakek sambil melirik aku dengan tatapan sedih yang dibuat-buat.
Melepaskan pelukanku dari nenek, kini waktunya berpindah ke kakek. Kakek adalah ayah bagiku. Selalu membela aku ketika orang banyak orang terlalu keras. Tidak salah kalau ada orang yang berkata bahwa nenek dan kakek adalah orang yang paling menyayangi dan mengerti cucu-cucunya melebihi orang tuanya sendiri.
“Hm. Kakek! Aku juga sangat merindukanmu!” ujarku sambil meneliti aroma tubuh kakek yang lebih maskulin dan sangat nyaman. Tubuh kakek yang menjulang tinggi dan sedikit besar memang benar-benar membuatku hangat. Dibandingkan berkunjung ke rumah kakek nenek, aku merasa pulang ke rumah sesungguhnya.
Bruk! Suara gemuruh tumbukan dua benda yang kemudian jatuh di aspal.
Tepat, tidak jauh dari tempat kami berdiri, terjadi kecelakaan lalu lintas antara mobil truk dan sepeda motor yang sepertinya adalah seorang kurir karena box di jok belakang motornya masih tertempel.
Melepaskan pelukan dengan terburu-buru, secara naluri aku berjalan mendekati si pengendara motor yang terlentang begitu saja, kulayangkan mata di sekitar lokasi, apakah ada bahan bakar yang mengalir dari motor atau mobil. Syukurlah tidak ada. Namun kening pria itu berdarah.
Gerombolan orang-orang di sekitar mulai mendekat, dan mengerumuni si pengemudi motor dan mobil truk, meminta si pemilik mobil untuk keluar karena membawa mobil dengan ugal-ugalan.
“Haraboji [kakek], tolong hubungi rumah sakit terdekat!” seruku, yang langsung dilakukan oleh sang kakek sambil mengikuti dari belakang.
“Saya seorang tenaga kesehatan!” Sebelum melakukan tindakan apa pun, aku berujar kepada orang-orang di sana agar memberikan ruangan agar lebih leluasa dalam menolong si korban.
Mengambil posisi di samping pria bermotor, aku berseru, “Ahjussi? [Paman] Kau dengar suaraku?!” Mengganti pergerakan dada dan jalan napasnya, aku kembali berseru dengan lebih keras. “Jika kau mendengar suaraku, buka matamu! Ahjussi! Kau dengar?!”
Tidak ada respons. Spontan aku meletakkan tangan dengan hati-hati di dahi si korban dan miringkan kepala dengan lembut, kemudian kuangkat dagu dengan dua jari dan memajukan pipiku di dekat mulutnya untuk merasakan jika orang tersebut masih bernapas atau tidak bernafas. Hasilnya tidak ada. Aku kemudian berpindah, memeriksa dada korban untuk melihat apakah gerakannya naik turun, dan tidak ada.
“Lalukan RJP, Sakura!” seru kakek yang berdiri di belakangku, dugaanku dan kakek tidak mungkin salah dengan jalan pernapasan pria ini.
Tidak menunggu lama bagiku untuk meletakkan tangan di atas dada pria itu, menyamakan posisi bahu dengan tanganku sebelum memompa dadanya sejauh 15 cm.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro