2. Adira Rinanta
“Gerah banget, gila.”
Dira menyandarkan punggungnya di dinding dapur kafe. Gadis itu sambil mengipasi leher dengan topi di tangannya. Udara siang yang lembap dan pengap itu terasa semakin menyengat saat jam istirahat datang. Pekerjaan di kafe yang penuh hiruk-pikuk sejak tadi pagi sudah membuatnya lelah, tapi sesekali Dira menyelipkan sedikit waktu untuk bernapas.
Matanya menatap jendela dapur yang sedikit berembun. Jendela itu terhubung langsung menuju pelanggan-pelanggan yang ada di bagian depan. Mereka terlihat bahagia saat menikmati secangkir kopi panas dan beberapa camilan di meja. Sementara di suatu sudut dalam dirinya sendiri, ada perasaan asing yang masih berdiam di sana.
“Gue lihat akhir-akhir ini lo udah gak pake gelang lagi,” celetuk Jihan, rekan sekaligus seniornya di tempat ini.
Tanpa menghiraukan pertanyaan Jihan yang sedang sibuk merapikan piring, Dira menatap pergelangan tangannya yang kosong. Gelang kulit hitam yang biasa dia lingkarkan di pergelangan tangan kiri itu sudah dia lepaskan selama beberapa waktu belakangan. Itu adalah gelang pemberian Fadil. Dulu, gelang itu selalu dia kenakan saat mereka masih bersama bahkan sampai beberapa waktu selepas mereka putus. Saat itu, setiap matanya melihat gelang pemberian Fadil, hatinya menghangat. Seperti ada bagian dari lelaki itu di dekatnya. Namun, sekarang gelang itu lebih terasa seperti beban.
“Udah gue kasih ke adik gue. Lagian gue ngerasa lebih ringan kalau gelangnya dilepas. Ngapa-ngapain lebih enteng,”jawab Dira setengah tertawa.
Gadis itu mencoba terdengar santai meskipun ada ketidakyakinan yang samar dari kalimat terakhir.
“Yah, emang harus gitu. Biar cepet move on!” Jihan membalas dengan nada sedikit mengejek.
Dira tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap punggung Jihan yang sudah kembali ke pekerjaannya. Gadis itu tidak perlu repot-repot menjelaskan lebih jauh antara hubungannya dengan Fadil. Teman-temannya mungkin sudah muak karena sudah mengetahui dan mendengarkan cerita yang sama berulang kali. Dan sungguh, Dira juga sebenarnya bosan dengan semua itu.
Sudah setahun berlalu sejak perpisahan mereka. Meskipun terlihat seperti baik-baik saja, jauh di dalam hatinya ada bagian yang masih terus merindukan Fadil. Setiap membuka mata di pagi hari, ada perasaan kosong yang menghampiri, seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dicobanya untuk menutupi perasaan itu dengan melakukan berbagai kesibukan, apalagi perkerjaannya sekarang lebih memakan waktu.
Kafe ini kian hari semakin ramai berkat seorang influencer yang datang dan membuat vlog di sini. Pengunjung menjadi berbondong-bondong, entah sekadar nongkrong sepulang kegiatan atau bahkan melakukan pertemuan penting. Kini Dira hanya fokus melayani pelanggan, memberikan senyuman palsu yang diharap bisa membuatnya lupa.
Namun, kenyataannya Fadil tetap hinggap di kepalanya.
Dira bangkit berdiri, waktu istirahatnya sengaja dia pangkas. Gadis itu menyiapkan beberapa gelas untuk kemudian diisi rekannya yang lain. Matanya sesekali memandang ke arah jendela. Seperti menerawang jauh entah ke mana. Lalu kesadaran membawanya kembali ke dunia nyata. Tidak ingin berlarut-larut, Dira mencoba mengusir kesedihan dan penyesalan yang sukses membuatnya tertarik ke ruang kosong yang tidak berujung itu.
Dira mencoba kembali pada kesibukan yang sempat ditinggalkannya. Deru mesin kopi dan beberapa perintah dari Jihan kepada rekan-rekan membuatnya sejenak melupakan alasan-alasan yang membuatnya terus mengingat Fadil.
Sejenak. Hanya sejenak. Karena ketika kafe tempatnya bekerja itu tutup, tirai kenangan yang menyakitkan justru terbuka lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro