Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Fadilah Ibrahim

“Kamu yakin mau pindah?”

Pertanyaan di seberang telepon terdengar untuk ke sekian kalinya. Itu suara Mama. Sambil melipat pakaian terakhir, Fadil mengiyakan pertanyaan itu lagi, untuk yang kesekian kalinya juga. Tangannya sedikit bergetar saat memasukkan mobil-mobilan berwarna merah seukuran jempol kaki yang dia beli minggu lalu. Entah kenapa, Fadil membeli mainan itu tanpa alasan yang jelas. Setelah semuanya selesai, dia menutup tasnya. Helaan napas berat terdengar.

“Fadil berangkat, ya, Ma.”

Sambungan telepon diputus. Hening berlangsung merayapi kamar. Dinding hijau muda itu seolah berbisik, menceritakan kembali ribuan hal yang pernah dia lewati di sini. Bahkan sekarang, Fadil merasa kalau dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Detak yang terus melaju dan tidak terkendali. Detak yang selalu muncul setiap kali mengingat gadis itu.

Dira.

Meskipun sudah setahun mereka berpisah, nama itu seperti memiliki magnet tersendiri yang selalu menariknya kembali ke masa lalu. Apalagi setiap kali Fadil melewati tempat-tempat yang pernah mereka singgahi bersama. Kedai kopi di sudut jalan Perwira. Jembatan tua yang selalu menjadi rute pulang ke rumah Dira. Bahkan jalan setapak di taman kota tempat Dira pernah tertawa lepas saat tali sepatu Fadil terinjak dan hampir jatuh. Kemudian Fadil tertegun, lalu menggeleng.

Tidak. Dia tidak bisa begini terus-terusan. Fadil harus pergi sekarang, tidak ada pilihan lain.

“Baik-baik, ya, Ra. Aku pamit,” bisiknya. Terlalu lirih bahkan untuk didengar olehnya sendiri.

Dengan langkah yang berat Fadil meninggalkan kamar itu. Meninggalkan ruangan yang kini sudah tidak ada apa-apa lagi di sana, kecuali kenangannya yang tidak akan ke mana-mana. Dia berharap, meninggalkan tempat ini adalah keputusan yang tepat. Keputusan yang nantinya tidak akan dia sesali. Semoga saja begitu.

Sampai teras, Fadil disambut kicauan burung pemilik kost. Seorang bapak-bapak berbaju kaus putih sedang menyemprotkan air ke arah burung berwarna hijau itu, yang sibuk melompat dari satu sisi kandang ke sisi yang lain. Sejenak, Fadil tersenyum tipis. Kemarin sore burung itu sempat kabur, membuat pemilik kost panik setengah mati. Namun, pada akhirnya burung itu kembali ke kandangnya sendiri.

“Beneran jadi pindahnya?” Pemilik kost menatap Fadil, menurunkan semprotan air.

Fadil tertawa kecil menanggapi.

“Iya, Pak,” jawabnya sambil menaruh tas besar di kursi panjang, di samping pintu.

“Nanti kalau Neng Dira nyariin kamu, saya harus bilang apa?”

Fadil terdiam. Ada jeda beberapa detik sebelum dia menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba dari pemilik kost ini. Lalu, lelaki itu tersenyum dan menanggapi dengan nada bercanda.

“Bilang aja lagi umroh, Pak.”

Pemilik kost pun tertawa. Aldi, tetangga kamarnya tiba-tiba muncul dengan handuk yang disampirkan di bahu.

“Aamiin. Semoga beneran kesampaian, ya, Ustaz Ibrahim.”

Fadil menggeleng sambil tersenyum.

“Kapan interview, Di?”

“Nanti siang.” Aldi menjawab sambil menangkat bahunya. “Tapi lo yang penting lancar-lancar, ya. Jangan lupa kabarin kita kalau udah sampai.”

Suara klakson memotong percakapan mereka. Sebuah mobil hitam parkir tak jauh dari gerbang kost. Tanpa banyak kata lagi, Fadil berpamitan. Lelaki itu langsung menjinjing tas besarnya sambil melangkah. Dia menyempatkan untuk menoleh ke belakang, ke arah Aldi.

“Lancar-lancar, bro!”

Aldi mengacungkan jempol.

Tak lama mobil meninggalkan bangunan itu. Dari jendela mobil, Fadil masih bisa melihat burung hijau tadi. Fadil berharap dia tidak seperti burung itu, yang kembali ke “kandang” ini lagi. Namun, jauh di dalam hatinya, dia sangat tahu: ada beberapa kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi, bahkan tidak tahu caranya pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro