☘️ Tiga ☘️
Seulas senyum licik tercetak jelas di wajah wanita dengan kisaran umur empat puluhan, ia melihat jelas jika Pelangi tengah memusatkan perhatiannya kepada sesosok lelaki yang duduk di seberang meja.
Sebuah kepuasan baginya melihat Pelangi yang hanya bisa diam membisu penuh luka, inilah keinginan terdalamnya. Membalas semua sakit hati atas perbuatan Ibu Pelangi. Ia bersumpah akan membuat hidup Pelangi tak bahagia dengan cara cantik.
Kembali ia menunjukan seringaian liciknya ketika Pelangi berlalu dari jangkauan pandangannya.
♥♥♥♥♥
Daripada harus dijemput Elang ke hotel, lebih baik mereka bertemu di rumah saja.
Selain menghindari gosip tak sedap antara Pelangi dan Elang, meski mereka adalah pasangan suami-istri tapi tetap saja tak ada yang tahu pernikahan mereka.
Pelangi memilih untuk menyembunyikan status barunya. Apa kata pegawainya jika ia ketahuan menikah diam-diam, terlebih secara mendadak. Bisa-bisa gosip ia hamil duluan bakalan menyebar keseluruh hotel.
Bisa jatuh martabatnya.
Dengan mengendarai Mini Cooper kesayangannya, ia melaju membela padatnya lalu lintas Ibu Kota. Meski jam menunjukan angka delapan beberapa ruas jalan masih mengalami kemacetan.
Hampir sejam lebih akhirnya Pelangi sampai juga di rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, dengan lesuh Pelangi memasuki rumah dan menjatuhkan tubuh letihnya di atas sofa yang berwarna coklat kopi susu.
Mencoba merileksasikan diri, bersandar di bantalan sofa dengan berselonjoran. Pelangi memejamkan mata sebentar, mengisitirahatkan lehernya yang sakit akibat terlalu banyak menunduk. Empuknya busa sofa sedikit membuatnya terlena untuk tidur saat ini juga.
"Kamu udah pulang?" tanya Elang yang berdiri tepat di depan kepala Pelangi.
Perlahan Pelangi membuka matanya. Menemukan sosok Elang yang tengah berdiri dengan kedua telapak tangan yang berada di saku celana. Posisi kepala yang sedikit mengantung membuat pandangannya ke Elang berada pada posisi terbalik.
Pelangi yang sadar dengan posisi tak lazimnya langsung terduduk dari tidur-tidurannya, beruntung ia memakai celana jadi memudahkan dirinya bergerak.
Pelangi cepat-cepat menegakkan tubuhnya. Memandang sekilas ke arah Elang.
Rapi it always. Kemeja hijau botol yang lengannya ditekuk hingga sesiku, dipadu dengan celana jins serta sepatu sneakers. Membuat Elang tampak ... gorgeous.
Mungkinkah dia ada janji di luar? Ah ... itu bukan urusan Pelangi. Siapa dia hingga mengurusi urusan Elang.
Wajah datar Elang tersaji di depannya, tapi tidak dengan Pelangi. Pikirannya penuh dengan tanda tanya, mengapa dia bisa berada di rumahnya.
"Ka-kamu, kok di sini?" Tanpa sadar Pelangi menunjuk ke arah Elang yang sudah sekarang duduk di sampingnya. Ia pikir akan bertemu di luar saja jika Pelangi sampai rumah. Nyatanya mereka malah bertemu di rumah.
"Bunda nyuruh aku tinggal di sini!"
Glek!
Pelangi menelan ludahnya spontan, matanya melotot tak percaya. "Kenapa?"
Elang menautkan alisnya begitu mendengar pertanyaan 'kenapa' terlontar dari mulut Pelangi. Wanita itu sendiri juga menunjukan ekspresi wajah penuh tanda tanya.
"Selama kakek di rumah sakit, aku bakalan tinggal di sini. Kalo bukan Bunda yang nyuruh, aku juga gak bakalan mau."
"Oh!"
Hanya mendapatkan jawab 'oh' ia menoleh dengan cepat ke arah Pelangi. Tak ada pembicaraan lagi. Keheningan tiba-tiba membuat kecanggungan di antara keduanya.
"Soal pernikahan kita ...," Elang diam sejenak mencoba melihat ekspresi Pelangi.
Pelangi mendesah pelan. Ia tahu bahwa pernikahan akan segera dibahas. Mau dibawa ke mana arah pernikahan ini? Pernikahan yang berlandaskan keterpaksaan.
Terlebih ia tahu bahwa Elang mempunyai kekasih. Bukan tak mungkin mereka bisa menjalani pernikahan layaknya pasangan kebanyakan.
"Jadi ..., apa harus kita menjalani pernikahan layaknya novel romansa kebanyakan?"
Elang menautkan kedua alisnya. "Maksudmu?"
Pelangi menyilangkan kakinya, dan menatap Elang tajam. "Kita sama-sama tahu pernikahan macam apa yang terjadi pada kita. Unsur keterpaksaan, lah, yang paling mendominasi. Apa menurutmu kehidupan rumah tangga yang bahagia ada pada kita?"
" .... "
"Aku tau kamu punya kekasih di sana. Apa harus kita berpura-pura jadi pasangan bahagia?"
"Pernikahan bukan hal main-main, Pelangi." sentak Elang.
Ia nyebut namaku.
Tak dipungkiri ada sesuatu yang menelusup saat Elang memanggil namanya. Dan itu menghangatkan hatinya.
"Jadi ..., kamu penganut menikah sekali seumur hidup?"
"Itu hal yang sakral, gak mungkin kita akan bermain-main sama pernikahan. Lebih-lebih keluarga kita sama-sama bahagia dengan pernikahan kita."
"Keluarga kita bahagia, tapi kamu enggak bahagia!"
Telak! Elang tak bisa lagi menyembunyikan wajah terkejutnya.
"Kamu tanggung jawab aku sekarang, Pelangi. Semenjak ijab qabul kamu udah jadi hak dan kewajiban aku."
"Terus mau kamu apa, Lang?"
"Kita jalani kehidupan pernikahan ini, sebagaimana mestinya."
Elang tidak bisa menerka-nerka apa yang ada di pikiran Pelangi sekarang, ia berusaha mengambil jalan tengah dari permasalahannya sekarang.
"Aku ingin hamil!"
Pernyataan Pelangi sukses membuat Elang melongo tak percaya, ada keterkejutan yang tercetak jelas di wajahnya. Ia tak mengira wanita yang sudah menjadi istrinya selama dua hari ini mengajukan hal gila seperti itu.
Hamil? Yang benar saja!
Dia tidak mencintai Pelangi, lalu bagaimana ia bisa menghamili pelangi? Ia bertekad untuk tidak menyentuh wanita yang tidak dicintainya.
"Bukannya kamu yang ngajuin?" Elang mengangguk lemah. "Aku cuma pengen punya kehidupan rumah tangga yang normal, suami yang normal dan juga sebagai istri yang normal seperti kebanyakan."
Kembali Elang mengerutkan keningnya. Pernikahan normal? Suami yanga normal? Kehidupan normal? Apa maksudnya coba? Bukankah dia terlihat normal!
"Aku menuntut hakku sebagai seorang istri."
Elang hanya terdiam, tatapannya menerawang ke arah Pelangi yang juga menatap kosong ke depan.
"Kita jalani pernikahan ini, dan hakku terpenuhi."
Glek!
Kali Elang mati kutu, ia tak menyangka wanita di depannya ini melemparkan pernyataan yang di luar perkiraan.
"Tapi gak mungkin secepat itu?" Suara Elang terdengar datar.
"Bukannya kamu yang meninginkan pernikahan yang normal? Kalo kamu gak ya udah, hari ini juga, kita cerai!" ucap Pelangi meninggalkan Elang yang masih terduduk di sofa.
.
.
.
Kata-kata Pelangi barusan membuat Elang tak bisa memejamkan mata barang sebentar saja, sekalipun dia sudah menguap berkali-kali.
Pernikahan normal? Memang mereka menikah dengan cara yang tak lazim. Mana ada pernikahan normal jika pengantinnya masih memakai baju kerja, di rumah sakit lagi. Seharusnya pengantin wanita memakai kebaya dan berdandan cantik dan pengantin pria memakai tuxedo. Bahkan tamu undangan yang menghadiri pun ikut berbahagia atas pernikahan tersebut, sedang pernikahan mereka hanya di hadiri para saksi dari KUA, kedua orang tuanya dan Kakak angkat pelangi. Tak ada kemewahan dan dekorasi indah nan glamor khas, seperti rumah yang mempunyai hajatan pada umumnya. Hanya ruang rawat inap yang menjadi tempat terlaksananya prosesi ijab qabul. Jelas sekali pernikahannya tidak normal.
Tak seorang pun yang tahu pernikahan mereka.
Suami yang normal? Kembali kata-kata itu menggaung di telinganya. What the ..., "dia kira aku gak normal? Yang bener aja, aku normal. Hanya saja aku gak cinta sama dia." Elang bermonolog sendiri dalam hati.
Ia kembali terduduk di pinggiran ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai keramik yang mendingin seiring semakin larutnya malam.
Elang mengacak rambutnya, ia kebingungan dengan keinginan Pelangi. Kalau dia bercerai besok ... apa kata bundanya? Bisa-bisa langsung syok dan penyakit jantungnya kambuh. Dia dan Pelangi menikah atas restu Ibunda, tak ada yang bisa merubah keputusan itu. Lalu bagaimana dengan Anna kekasihnya? Tahu begitu ia tak mengajukan usul yang akhirnya menjadi bumerang. Sial!
Aaargh!
Elang keluar dari kamarnya menuju dapur, sesaat ia ragu begitu mendengar suara yang cukup gaduh menerpa pendengarannya. Perlahan ia berjalan dan mengintip dari balik tembok penyekat antar ruang keluarga dan dapur.
Punggung Pelangi yang membungkuk di bawah keran wastafel terlihat melalui cahaya remang-remang dari atas rak kitchen set.
Elang mendekati Pelangi, mendapati wanita yang sudah memakai piyama berlengan panjang itu tengah membasuh muka di wastafel dapur.
"Kok belum tidur?"
Pelangi berjingkat mendapati suara yang masih asing baginya. "Oh, Elang?"
Elang melayangkan tatapan menelisik ke arah Pelangi yang wajahnya sudah basah kuyup oleh air, tanpa sengaja ia melihat lelehan darah segar keluar dari hidungnya.
"Hidungmu ...," tunjuk Elang yang langsung membuat Pelangi gelagapan.
Cepat-cepat ia membasuhnya dengan air, Elang tak bisa tinggal diam. Diambilnya beberapa lembar tisu dan menyodorkan pada Pelangi. Alih-alih mengambil tisu di tangan Elang, malah memandanginya ketika menyudahi kegiatannya.
Elang yang menyadari tatapan itu langsung meraih tengkuk Pelangi dan merapatkan tubuhnya. Ia meraih dagu wanitanya, dengan intens ia menatap Pelangi dan perlahan menyapukan tisu yang sedari tadi ia pegang, membersihkan lelehan darah yang kembali keluar dari hidung Pelangi.
Tanpa mereka tahu, bahwa masing-masing di antara mereka suatu perasaan yang tak biasa bergejolak perlahan.
"Apa yang kalian lihat adalah sesuatu hal yang belum tentu kebenarannya, bahwa sesungguhnya hal yang tak terlihat itulah kenyataannya." -anonim-
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
-Dean Akhmad-
07/03/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro