☘️ Satu ☘️
Mohon bimbingan dan krisannya. Jika ada ada typo yang terlihat maka mata authornya lagi siwer.
-terima kasih-
★★★★★★★★★
Sepasang mata elang tengah memindai situasi yang ada di depannya.
Di dalam ruangan VVIP di salah satu rumah sakit ternama masih terisi beberapa orang. Seorang pria tua berumur empat puluhan tengah berbincang-bincang dengan laki-laki muda dengan pria paruh baya berpeci hitam dengan sorban kotak-kotak merah, menghiasi pundaknya.
Pandangannya beralih ke sisi ranjang rumah sakit, yang di atasnya ada seorang pria tua tengah tertidur pulas, dengan selang infus menancap di tangan kiri, selang oksigen, dan alat detak jantung.
Tatapan Elang berakhir ke punggung seorang wanita yang rambutnya digelung rapi keatas, memamerkan leher putih nan jenjang. Berpakaian kantor.
Elang mendesah, tak mengira bahwa statusnya berubah hanya dalam dua jam terakhir. Iya cukup dua jam saja.
Semesta seakan mendukung persengkongkolan orang tuanya, guna mensukseskan penikahan dadakan ini. Bahkan Ibunya tengah asik berbincang dengan wanita berparas ayu, yang kini telah menjadi istrinya.
Cih, istri! Bahkan Elang tak suka memanggilnya istri. Bukan ia membenci Pelangi, hanya saja dia marah pada kedua orang tuanya, ia merasa dipecundangi. Namun ia sendiri tak mampu menolak keinginan sang Ibunda--Nurul.
Ia masih ingat siang tadi ketika Ibunya datang ke restoran dan mengajaknya untuk menjenguk relasi kerja ayahnya. Awalnya ia menganggap ajakan wanita berusia awal empat puluhan itu hanya untuk menemani, tapi kehadiran Ayah dan beberapa orang lainnya di ruangan rawat inap sebuah rumah sakit membuat ia mengerutkan kening. Bingung.
Kebingungan Elang semakin menjadi, ketika pintu ruang inap terbuka dan menampakkan seorang wanita yang tiba-tiba masuk. Dan seorang pria berjas abu-abu mengekori wanita yang juga masih memakai setelan jas kerja.
Elang mengerjabkan matanya, ia terkesima. Melihat wanita dengan surai hitam itu tengah tersenyum simpul ke arahnya. Elang mendadak grogi.
Udara seakan-akan serasa disedot habis dari paru-parunya, hanya bisa diam membeku ditempat ia berdiri. Membungkam semua inderanya, dan menyisakan indera penglihatannya yang bekerja ketika wanita itu menghampirinya dan menjabat tangannya dengan takzim.
Setelahnya Pelangi dengan wajah kuyuhnya itu menarik pria berjas abu-abu ke pojok ruan inap. Ada perdebatan di sana walaupun terdengar samar-samar, tapi ia tahu wanita yang sekarang bersendekap itu menampilkan wajah marah dan frustrasi sekaligus.
Elang mengalihkan pandangannya pada sang Ayah yang sedang berbincang-bincang dengan pria berpeci. Mencoba mengabaikannya, walaupun kebingungan menderah. Hingga sebuah suara bass menghentikan suara bisik-bisik, membuatnya mendongakkan kepala.
"Baiklah, sebelumnya perkenalkan saya Daniel Kim. Asisten pribadi tuan Broto Suseno dan juga cucu angkatnya." Ia terdiam sejenak, "Apa sudah siap?" Daniel menatap Ayah Elang yang kemudian mengangguk pelan.
Anggukan kecil itu tak luput dari mata Elang, ia menatap Ibunya yang telah mendesah pelan. Perlahan sang Bunda meraih tangan Elang dan meremasnya pelan. Mencoba menyalurkan ketenangan sebelum ia berbicara.
"Bun." Elang menatap wanita paruh baya tersebut dengan tatapan kebingungan.
"Maafkan Bunda, Lang. Kami terpaksa melakukannya," bisik Ibu. "Kami janji akan menjelaskannya nanti."
"Maksud Bunda apaan?"
"Hari ini. Kamu akan menikah, Lang!"
Syok!
Elang membelalakan matanya tak percaya.
Apa-apaan ini? Yang benar saja!
"Tapi, Bun?"
"Bunda mohon, Lang. Akan kami jelaskan nanti."
"Bun ini pernikahan, lho! Bukan acara lamaran ataupun pesta. Nikah, Bun! Aku gak mau, Bun. Ini bukan kemauanku un--"
"Udah siap?" potong Ayah yang kini berdiri di depan Elang.
"Apa maksud Ayah?"
"Saatnya ijab qobul."
What the hell! You must be kidding me, Yah!
Elang mengerang frustasi. Berpikir ini cuma ada di novel roman picisan yang sering Anna baca, nyatanya ia sendiri yang mengalaminya.
"Bunda mohon, Lang! Sekali aja nurut sama, Bunda."
Tatapan syok tadi kembali melembut, jika ia diperintahkan harus mati maka ia akan mati. Jika itu permintaan sang bundanya. Satu hal yang tak bisa Elang tentang adalah perintah sang Bunda.
.
.
.
Pelangi melirik jam tangannya, sudah pukul delapan malam. Setelah menata selimut dan memeriksa keadaan Kakek, ia beranjak dari tempat duduknya.
Menghampiri Daniel yang masih setia dengan tablet-nya, di sofa yang berada di seberang dekat kamar mandi.
"Aku mau pulang. Abang di sini, kan?" Pertanyaan Pelangi diangguki oleh Daniel.
"Kabari aku kalo ada perkembangan, okey."
"Aku antar," ucap Daniel seraya berdiri, tapi Pelangi menghentikannya.
"Gak perlu, aku bisa pulang dengan suamiku." Pelangi menekankan kata suamiku, yang diikuti dengan senyuman kikuk Daniel.
"Sorry," ucap Daniel tanpa suara.
Pelangi melengos, dan memilih keluar kamar. Ia ingin pulang dan mengistirahatkan diri, bukan hanya fisik yang lelah. Lebih tepatnya otaknya serasa kram memikirkan pernikahan yang mendadak ini.
Samar-samar ia mendengar perdebatan antara suaminya dan Ayah Mertua. Meski tak banyak mencuri dengar, ia tahu bahwa pokok perdebatan mereka adalah pernikahan hari ini.
"Jadi aku dijadikan tumbal untuk nikahin cucu kesayangan si tua bangka itu?"
"Elang! Jaga mulutmu. Kalo bukan karena Pak Broto, kita tidak akan pernah ada di posisi sekarang ini."
"Maksud Ayah?"
"Pak Broto yang memberikan Ayah modal, untuk memulai usaha kuliner yang saat ini kita nikmati hasilnya."
"Tapi gak berarti ayah maksa aku buat nikah sama cucunya," erang Elang frustrasi. "Lalu gimana dengan Anna? Apa yang harus aku bilang sama dia?"
"Putuskan Anna!"
"Tapi, Yah ...."
"Cukup, Elang! End disscusion. Ayah udah janji sama beliau akan nikahkan kamu sama cucunya. Tak ada yang perlu dibahas lagi."
"Elang! Antarkan Pelangi pulang." Kali ini Ibunya menyelah.
Elang menatap Pelangi dengan tatapan yang sulit diartikan, yang kini berada tepat berdiri di belakang ibunya. Tanpa basa-basi dan mencium telapak tangan orang tuanya secara bergantian, yang diikuti oleh Pelangi seraya melemparkan senyum simpulnya.
"Hati-hati di jalan, ya."
"Iya, Bun. Pelangi pamit, assalamualaikum."
Kebisuan membungkam mereka berdua, hanya suara klakson dan mesin kendaraan di jalanan menghiasi malam mereka. Pelangi mengurut pangkal hidungnya. Pusing yang menderah, membuat Pelangi memilih diam tanpa mau menoleh ke arah sang suami lebih fokus menyetir. Ia menyandarkan kepalanya di kaca samping. Mencoba meresapi kejadian hari ini.
Elang melirik Pelangi yang masih betah memandang keluar jendela, menatap lurus ke depan. Apa yang harus ia lakukan sstelah ini?
Sungguh ini suatu hal yang tak biasa, ia tak mengenal wanita ini. Bahkan ia baru saja bertemu hari ini. Haruskah ia bersikap seperti layaknya sepasang suami istri? Tentu tidak, yang ada canggung melanda.
Lalu apa?
Tak mungkin kan malam ini ia akan melakukan malam pertama.
Ini menggelikan!
Jauh di dalam hatinya ia merasakan kegusaran yang luar biasa. Bagaimana tidak, ia sudah merencanakan pesta pertunangan yang akan berlangsung seminggu lagi.
Lalu Hari ini ketika Bunda datang ke kantor Elang berniat memberitahukan rencana tersebut. Tapi, justru dia lah yang mendapat kejutan dari orang tuanya. Lalu, bagaimana dengan kekasihnya?
Pernikahan dadakan ini sama mengejutkannya bagi mereka berdua, tak ada persiapan apa pun, mereka bahkan menikah dalam keadaan sama-sama memakai pakaian biasa. Perfect!
Entah bagaimana caranya yang jelas pernikahan itu tejadi begitu saja, bahkan Elang masih bingung bagaimana mereka bisa mendapatkan buku nikah. Padahal butuh waktu paling lama sebulan untuk mendapatkan buku keramat tersebut.
Ingatkan aku untuk bertanya sama Bunda nanti.
Diam-diam Pelangi melirik ke arah Elang yang mendesah, ia tidak bodoh bahwa pernikahan ini tak diinginkan. Hanya karena keinginan aneh kakeknya demi melihat ia menikah.
Pelangi sendiri tak menyangka, bahwa kedatangannya ke rumah sakit guna menjenguk sang Kakek malah menjadi tempat ia menikah.
Pelangi merutuki keputusannnya ketika ia mengatakan setuju untuk menikah di hadapan kakek Broto yang terbujur lemah di ranjang. Sekarang ia wanita bersuami.
Ah ... suami! Ia masih tak menyangka jika dalam waktu beberapa jam dirinya sudah berganti status menjadi seorang istri.
Inilah ketakutannya. Ia masih mamang dalam pernikahan, tak yakin bahwa ikatan suci ini tak akan hancur di tengah jalan. Pasangan yang saling mencintai saja bisa bercerai apalagi yang tak saling mencintai.
Hufth!
Pelangi menghela napas panjangnya, bayangan masa lalu kembali berputar di otaknya. Ketakutannya, kegamangannya, ketidakpercayaannya, dan keresahannya bercampur menjadi satu.
Apa yang harus kulakukan setelah ini?
★★★★★★★★★★★★★★★★★
Ketjup tjantik
-Dean Akhmad-
02/03/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro