☘️ Dua ☘️
Maaf, lagi-lagi banyak revisian sana sini. Hehehehe... demi kemaslahatan bersama, mohon krisannya ya... *ketjup cantik*
-terima kasih-
★★★★★★★★★★★
Silauan matahari menerjang netra cokelat milik Elang, sesaat ia membuka mata. Kepalanya berdengung, kala memaksakan tubuhnya untuk berdiri langsung.
Setelah jiwanya yang tercecer genap, barulah ia memindai suasana sekitarnya. Kamar tidurnya bercat abu-abu mudah, lebih ke cowok banget. Tak ada ornamen tambahan. Hanya sofa single bentuk bola sepak, dan meja kursi yang Elang yakini adalah meja kerja. Mata Elang berhenti di nakas sebelah kanan, ada pigura kayu ukuran 8R berisi foto Daniel dan Istrinya.
Ah ... istri! Mereka bahkan tak tidur sekamar. Padahal sudah pasangan halal.
Agak cukup sulit bagi mereka untuk beradaptasi dengan status masing-masing. Mungkin akan butuh waktu lama. Siapa yang bisa membayangkan bahwa mereka menikah tanpa berkenalan dulu. Tahu-tahu sudah main ijab qabul saja.
Meski dalam sekali tarikan dia mengucapkan ijab qabulnya, tapi pagi ini ia lupa siapa nama istrinya selain nama Pelangi yang digumamkan bundanya.
Pelangi! Ia secantik namanya.
Elang beranjak dari ranjang menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Semalam ia mengantung kembali celana bahan dan kemejanya.
Didekat wastafel ia melihat satu setel baju yang seperti ia pakai semalam, beserta celana dalam juga.
What the ...?
Elang benar-benar tak percaya ini. Ada satu setel pakaian yang sama, dan itu sesuai ukurannya.
Dari mana ia tahu ukuranku?
Dia gak mungkin seorang stalker, kan?
Atau ia nyewa detektif buat nyari informasi tentangku.
Elang begidik ngeri membayangkan hal itu. Jangan-jangan ia menikahi wanita psikopat.
Terlebih dia juga tahu dalemannya juga. Amazing sekali wanita ini.
Selesai mandi Elang melangkahkan kaki ke lantai bawah. Rumah keluarga Suseno bahkan tak sebesar rumahnya, hanya sebuah perumahan yang memang berada di kawasan elit, tapi tak semegah rumah-rumah lainnya dengan pilar putih yang menjulang tinggi.
Keluar kamar Elang disuguhi oleh pintu kamar bercat biru mudah, tepat di depan kamar yang semalam ia tempati. Ia bisa menebak bahwa itu adalah kamar Pelangi.
Batin Elang berperang antara mengetuk pintu atau tidak, tapi suara itu benar-benar menginterupsinya dengan keras. Dan mengutuk perutnya yang tak mau kompromi.
Memilih menuruni tangga, Elang disuguhkan dengan pemandangan yang tak biasa. Ini masih pukul enam pagi, tampilan Pelangi yang menggunakan daster rumahan membuatnya sedikit kikuk.
Pelangi pake daster? Yang benar saja?
Ia bahkan tak risih, meski wara-wiri di depan Elang. Biasanya wanita akan jaim menjaga penampilan, apalagi ada pria asing di dekatnya. Namun, sepertinya Pelangi tak mau bersusah payah mengaja image-nya. Nyatanya ia santai-santai aja, walau Elang meiliriknya sesekali.
"Sarapan dulu." Tawaran Pelangi disambut baik oleh perut Elang, bahkan kakinya pun menghianati pikirannya menuju dapur, padahal ia ingin langsung pulang.
"Udah rapi aja," sapa Pelangi yang meletakan sebakul nasi putih dengan kepulan asap membumbung di atasnya.
"Eh, iya. Aku mau pulang dulu." Elang mencoba menetralkan suaranya. Mati-matian ia menyembunyikan rasa kikuknya di depan Pelangi.
Usaha penolakan Elang tak berhasil, karena suara perutnya kembali berontak. Pelangi tertawa tertahan menyadari perut Elang berbunyi, tanda bahwa ia lapar.
"Duduk,qlah, sarapan aja dulu, baru setelah itu pulang." Pelangi masih asik mondar-mandir menata meja makan.
Elang menggaruk tengkuknya yang tak gatal, memilih diam dan mengambil tempat duduk persis di depannya.
Dalam diam mereka sarapan, tak ada pembicaraan. Hanya suara dentingan sendok bertemu dengan piring.
Pagi ini Pelangi menyiapkan sarapan paginya, untuk pertama kali dalam hidup, ia makan bersama pria yang baru dia kenal dalam kurun waktu sehari.
"Teh atau kopi?"
"Teh aja," jawab Elang sekenanya.
Pelangi beranjak dari duduknya, dan kembali ke dapur, kemudian membawa dua cangkir teh.
Secangkir teh hangat tersaji di depan Elang, aroma lemon dan mint menguar berbarengan dengan kepulan asap tipis. Ia menghirup aroma tersebut sebelum akhirnya meneyesap perlahan-lahan. Menikmati sensasi dingin yang tersisa di pangkal tenggorokan, sedangkan sepasang mata Elang mengikuti arah gerak Pelangi yang mulai memakan sarapannya.
Sedikit terburu-buru Elang menyelesaikan sarapannya, dan memilih segera pergi dari rumah ini.
Ia hanya ingin kembali ke rumahnya.
.
.
.
Pelangi melihat tampilan layar ponsel pintarnya, dan menekan logo amplop.
+628155678990
Pulang kerja jam berapa? Aku jemput. Ada yang mau aku bicarain. Elang
Pelangi masih tak percaya dirinya sudah menikah, padahal ia mati-matian menolak perjodohan tersebut. Akan tetapi begitu melihat kondisi Kakeknya yang tak berdaya, Pelangi memilih menuruti hal tersebut. Walaupun ia tak tahu berapa lama sang Kakek betah tertidur pulas seperti sekarang.
Setelah membalas chat dari Elang, Pelangi melangkahkan kakinya melewati koridor sepanjang konter resepsionis. Begitu ia berbelok, ada kolam renang menyambut matanya. Ini masih pukul tujuh pagi, kolam renang tak begitu ramai, hanya sepasang suami-istri bule yang sedang asik berjemur, dan dua anak bermain di kolam renang anak.
Langkah Pelangi terhenti dan mendadak tubuhnya menegang. Dadanya berdegup kencang, keringat dingin mulai mengintai dari balik kulitnya. Ada sesuatu dalam diri Pelangi yang bangun dari tidur panjangnya. Sesuatu yang terakhir kali ia rasakan dua puluh tahun silam.
Ia masih berusaha mematikan rasa itu, rasa yang berhasil ia kuasai. Akan tetapi pemandangan yang berada dalam jarak lima belas meter membuat ia kembali mengingatnya.
Sebuah keluarga bahagia. Ayah dan Ibu dengan kedua anaknya, satu perempuan yang mungkin seumurannya dan satu laki-laki, mungkin berusia dua tahun di bawah perempuan tadi. Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata, ia tak mau kembali ke kubangan masa lalu yang begitu menghancurkan hidupnya.
Beruntung ada lembaran kaca tebal yang menghalanginya, jika tidak bisa saja Pelangi menerjang ke sana dan memaki mereka. Namun, sayangnya itu hanya bisa ia lakukan di dalam hati.
Pelangi memandang sebuah keluarga yang tengah bersenda gurau. Pikirannya melayang kepada sosok wanita yang sudah meninggalkan dirinya, apa yang sudah dilakukan Mama Hilda hingga lelaki di seberang sana meninggalkan mereka berdua. Hanya demi wanita yang duduk di seberang meja. Matanya mengabur, hingga setitik butiran kristal menjatuhi pipinya.
Airmata kurang ajar!
Ia turun tanpa permisi dari sang pemilik, Pelangi menghapus kasar sisa air matanya. Menghilangkan jejak kerapuhannya. Dengan perasaan yang acak-acakan, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju lift yang hanya berjarak setengah meter dari tempat ia berdiri.
Pelangi menghela napas lega ketika pintu lift tertutup, setelah memencet tombol tujuannya. Ia kembali menunjukan wajah datar seperti biasa, berusaha mengatakan pada dunia bahwa ia baik-baik saja. Hingga lift yang naik ke atas terhenti seketika karena memang itu kehendaknya.
Dadanya terasa nyeri, teramat sangat nyeri. Ada rasa sesak yang menyeruak. Tubuhnya merosot ke bawah di pojokan lift, tangisannya pecah. Ia tak bisa lagi menahan semuanya.
Dengan brutal ia memukuli dadanya, berharap rasa sesak itu akan hilang, ia terbatuk di antara tangisannya yang sudah sesengukkan. Rasa itu benar-benar menyakitkan.
Matikan saja rasa ini, Ya Tuhan. Sungguh aku gak sanggup lagi, ini begitu menyesakkan untukku.
Sekali lagi air mata sialan itu tak mau berhenti malah semakin deras keluar dari mata belok-nya. Deru napasnya tak lagi beraturan, dadanya naik-turun dan pandangannya mulai mengabur. Pelangi menarik napas beratnya, mencoba bertahan dalam cekikan oksigen yang mulai menipis.
Tubuhnya melemas, dan tangannya mulai kebas. Susah payah Pelangi meraih tombol yang menghentikan pegerakkan lift tersebut. Hingga sisa tenaga yang ia punya, liftnya berhasil berjalan kembali. Namun, semuanya mulai menggelap.
"Tuhan, sedikit aja beri aku kekuatan untuk membencinya. Aku ingin melupakan semuanya."
Pelangi tak lagi bergerak, hingga kegelapan merenggut kesadarannya.
Di sisi lain, seorang pria tergesa berlari menghampiri satu-satunya lift yang tersedia di lantai tersebut, ia harap-harap cemas menunggu pintu lift terbuka. Semenit rasanya sejam jika itu adalah sesuatu hal tentang menunggu.
Ia langsung meringsek ke dalam lift begitu pintunya terbuka. "Rain!" Teriakannya menggema ke seluruh koridor. Pria berjas itu dengan cekatan mengendong tubuh Pelangi yang melemas, dan membawanya pergi dalam keadaan panik dan sedikit berlari.
"Ayolah, Rain! Kamu pasti kuat," ucap Daniel begitu melihat darah segar mengalir dari hidung Pelangi.
"Sekuat apa dirimu mencintai dan menyanyanginya? Ketika kamu tersakiti, saat itu lah kamu tahu sebesar apa rasamu." -anonim-
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
-Dean Akhmad-
03/03/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro