4. Panik
Ayla Mentari
Malang, empat tahun lalu.
-----------
Genap enam bulan sudah, Dewa menjebloskanku pada bisnis hitam, di mana posisi yang kutempati adalah pemilik modal terbesar.
Bukan, tentu saja aku nggak bicara soal uang. Yang jadi modal di sini adalah kemolekan tubuhku sendiri, sedangkan uang adalah imbalan yang dicari Dewa dari bisnis itu. Atau mungkin harus kuralat istilah tadi, bukan seorang investor, tapi akulah pekerjanya.
Malam ini seorang laki-laki memesan tubuhku untuk 2x24 jam yang uang mukanya tentu sudah langsung masuk ke rekening Aksadewa, si mucikari yang sialannya aku cintai.
Alih-alih seperti lelaki hidung belang kebanyakan yang akan langsung gelap mata dan lupa daratan untuk langsung melampiaskan nafsunya, laki-laki yang lengan kemejanya sudah digulung sesiku ini hanya diam, menatap lurus ke depan dengan matanya yang kosong.
Sepertinya ada begitu banyak beban pikiran dalam kepala itu.
"Apa ada yang salah dengan penampilanku malam ini?" Aku menurunkan pandangan dari atas ke bawah lalu ke atas lagi, mengamati tampilan di balik cermin di kamar mandi.
Sepotong lingerie warna maroon terlihat kontras membalut kulit putihku. Berpotongan loose tapi dengan sangat jelas mampu mempertontonkan lekuk tubuh dibalik bahannya yang transparan. Mustahil rasanya mata laki-laki yang melihat tak akan tersulut gairahnya.
Oh, jangan-jangan dia impoten, pikiranku memprovokasi. Tapi dia terlihat masih sangat gagah. Biar kutebak, umurnya pasti belum sampai kepala tiga.
Ah terserahlah, mungkin dia belum mau buru-buru. Masih banyak waktu Ayla, dua hari itu waktu yang panjang, ini bahkan baru satu jam yang kamu habiskan di kamar ini.
"Kamu harus bisa menarik perhatiannya, berusahalah lebih menggoda. Pekerjaan ini harus selesai dengan baik, kalau gak mau dapat hukuman dari Dewa karena komentar pelanggan yang mengaku kurang puas," ucapku mewanti-wanti pada pantulan sosok yang berdiri di depan cermin.
No. Aku menggeleng-gelengkan kepala membayangkannya. Bekas lebam yang terakhir saja belum luntur dari punggungku. Aku nggak mau jadi bulan-bulanan Dewa lagi kali ini.
Bergegas keluar dari kamar mandi, kudekati laki-laki itu yang kini duduk di ranjang. Berdiri menantang, tanganku bergerak meloloskan tali lingerie dari pundak kiri saat laki-laki itu menghentikanku dengan suaranya.
"Duduk," titahnya sambil menepuk sisi ranjang di sebelah kanan.
Aku yang kaget kemudian menurut saja. Memutari sisi ranjang dan mengambil posisi duduk di pinggir kasur. Tanpa sadar, jemariku memilin ujung kain. Entahlah, aku merasa gugup menghadapi pelanggan kali ini.
Enggak biasanya begini.
Tatapan itu baru kali ini kutemui di mata lelaki dari sekian belas kaum Adam yang pernah menghabiskan waktu denganku. Sementara yang sudah-sudah akan menatapku bagai serigala lapar, hanya laki-laki ini yang tatapannya asing. Menerawang. Mungkin bisa disebut begitu. Sialnya bukannya risih, yang ada aku jadi salah tingkah. Malu-malu nggak jelas, sudah seperti gadis lugu saja tingkahku dibuatnya.
Lima menit terlewat dalam keheningan hingga kemudian akhirnya ia bertanya, "Siapa namamu?"
"Em ... aku Ayla," jawabku.
Pria itu bergerak mendekat. Kurasakan tangan kanannya menyentuh pundak kiriku seiring tubuhnya yang semakin terasa mengikis jarak. Aku sontak menutup mata, mengantisipasi pergerakannya. Pasti akan menciumku.
"Sexy." Suaranya pelan terdengar.
Mataku yang terpejam lantas terbuka. Arah pandangku refleks mengikuti gerakan jemarinya yang menaikkan tali di bahu. Rupanya tadi aku belum menariknya kembali ke posisi semula.
"Ya?" tanyaku memastikan, "Apa yang sexy?"
"Itu, tahi lalatmu," jawabnya sambil mengedikkan dagunya ke tulang selangka tempat di mana tahi lalat itu berada.
"Oh ...," balasku yang mendadak miskin kosakata. Bisa-bisanya aku salah mengira, kupikir hendak mencium, ternyata malah membetulkan posisi baju. Pipiku pasti sudah merona karena menahan malu.
Duh laki-laki ini. Bukankah ia terlalu sopan untuk ukuran lelaki hidung belang?
"Berapa usiamu?" tanyanya lagi.
"Aku sebentar lagi 17 tahun"
Kulihat laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban yang terlontar.
"Jadi kamu masih sekolah?" Ia lanjut menginterogasi.
"Hmm, tinggal menunggu pengumuman kelulusan," jawabku pelan.
Kugigit bibir bawah melihat ekspresinya. Sepertinya dia enggak terlalu suka dengan fakta yang kusebut barusan. Mau bagaimana lagi, memang masih di bawah umur. Kalau mau protes, salahkan saja orang yang membuatku terpaksa melakukan hal ini.
Laki-laki itu kembali diam. Lagi-lagi terlihat berpikir. Membuatku jadi bingung saja.
Selama ini setiap laki-laki yang datang memang membawa segudang penat di kepalanya, tapi itulah tujuan mereka membeli seorang perempuan. Mencari kesenangan dan meringankan isi kepala. Terutama kepala bawahnya.
"Maaf Nona, kamu terlalu muda untukku ... dan aku bukan pedofil," ucapnya tenang sambil tersenyum.
Penolakan yang sayangnya justru membuat hatiku hangat.
"Temani saja aku selama dua hari ini. Mungkin besok kamu bisa mengajakku jalan-jalan. Belum banyak tempat yang aku kunjungi selama di sini."
Laki-laki itu kemudian beranjak turun dari ranjang, menyalakan sebatang rokok yang diambilnya dari atas nakas. Kepulan asap tipis terkumpul di udara.
Dia bergerak ke arah luar, menuju beranda kamar ini. Mungkin ingin menyesap habis rokoknya di bawah pemandangan langit senja.
Hotel yang kali ini kami tempati berdesain minimalis dengan balkon mini di balik pintu geser berbahan kaca. Suasana ruangan terkesan nyaman ala rumahan.
"Malam ini kamu tidurlah lebih dulu. Aku mau cari angin," katanya begitu kembali masuk ke kamar dan menghampiriku di tengah ranjang. Kulihat rokok yang tadi dihisapnya sudah tak ada lagi. Ia terus berlalu menuju pintu keluar.
Belum sampai ke depan pintu, laki-laki itu berbalik. Berjalan menuju lemari dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ia mendekatiku yang masih bingung di atas ranjang.
"Ini, pakai saja untuk pesan makan malam. Sisanya untuk melunasi uang muka yang sudah kutransfer kemarin. Siap-siap, besok kamu harus jadi tour-guideku seharian," ucapnya lancar, berbanding terbalik dengan aku yang melongo tak mengerti.
"Kalau ada yang kamu butuhkan beli saja, aku rasa itu lebih dari cukup," lanjutnya sambil melempar amplop coklat ke atas kasur.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Kemudian laki-laki itu benar-benar meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Bergerak mendekat, kuraih amplop itu dan mengintip isinya.
Wow. Bayaran yang lumayan untuk jasa seorang tour guide dadakan yang bahkan belum memulai pekerjaannya.
***
Kuletakkan gawai ke atas nakas setelah sebelumnya kulihat jam di layar sudah menunjuk angka 10 malam. Sudah lima jam sejak laki-laki yang bahkan belum kutahu namanya siapa itu meninggalkanku di kamar ini.
Sengaja tak kuberi tahu Dewa tentang keberadaan laki-laki itu yang entah kini di mana. Malas sekali jika nanti malah dia menghampiri untuk menemaniku di kamar ini. Biarlah, untuk sebentar saja aku terbebas dari belenggunya.
Untungnya dia juga enggak sekalipun menghubungi sejak sore tadi, setelah mengantar langsung ke ruangan ini, bertemu dengan calon pelanggan yang sudah memesan untuk dua hari ke depan.
Dia memang gak pernah menginterupsi bila aku sedang melayani pembelinya. Sopan sekali dia sebagai seorang pacar yang tega menjual kekasihnya sendiri pada laki-laki hidung belang.
Ah sudahlah, membicarakan Dewa hanya membuatku malas saja. Paling-paling saat ini dia juga sedang menikmati waktunya menghitung berapa banyak uang yang masuk ke rekening dalam seminggu terakhir.
Tentunya hasil keringatku dari bekerja di atas ranjang.
Kuraih jaket hoodie dan memakaikan kupluknya menutupi kepala. Lingerie yang tadi sore kukenakan juga sudah berganti dengan celana panjang dan baju kaus bertangan pendek.
Perutku sudah terasa lapar saat ini. Daripada memesan room service, lebih baik aku cari makan di luar saja. Suntuk sekali rasanya terkurung di ruangan sendirian.
Aku yang sudah siap keluar, berniat membuka pintu kamar dengan lebar. Tanganku yang sudah menggenggam kenop, menarik daun pintu, mencipta celah berjarak sejengkal. Suara ribut-ribut di luar langsung terdengar. Refleks, kudorong lagi pintu dan menguncinya dari dalam.
Tubuhku menegang. Ku intip keadaan di luar dari celah kecil di pintu.
Lima orang pria berpakaian serba hitam dengan gaya preman dan satu orang wanita berambut pendek, keluar dari kamar di depan. Dua orang laki-laki berseragam hotel, menunggu di depan pintunya.
Kulihat dua orang pria lain ditarik keluar kamar dengan posisi kedua tangan terborgol di belakang tubuh mereka. Pria-pria yang berpakaian gelap itu terus menggiringnya.
"Amankan semua barang bukti, jangan ada yang terlewat!" komando salah seorang yang bertubuh paling tinggi.
"Siap Ndan." Yang lain terdengar menyahut.
"Ayo cepat jalan."
Dua orang laki-laki yang tak bisa berkutik itu kemudian digiring menuju lift. Seorang lagi anggota terlihat mengamankan sebuah bungkusan. Sedang wanita yang berambut pendek terlihat membicarakan sesuatu dengan kedua pegawai hotel itu sebelum akhirnya pergi menyusul rombongannya.
Napasku patah-patah. Dengan badan yang gemetar, ku langkahkan kaki menuju ranjang dan mengempaskan bokong disana.
Dewa ditangkap. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?
Sabu. Ya, pasti barang haram itu yang menjeratnya. Dalam kondisi panik begini, otakku menerka-nerka kemungkinan besar penyebab dua orang itu sampai diamankan petugas.
Jawaban yang paling mungkin bisa kupikirkan saat ini, ya pasti urusan barang haram.
Bodoh. Padahal sudah berulang kali kuingatkan dia akan bahaya hukuman yang mengancam. Tepatnya sejak sebulan lalu saat gak sengaja aku mendengar percakapannya dengan Kang Emil, orang yang kutahu sebagai pemasok barang haram tersebut.
Entah apa yang ada di benaknya waktu itu. Apa uang yang didapat dari menjual tubuhku enggak pernah cukup baginya? Atau memang bisnis racun perusak itu bernilai fantastis dan sulit untuk dilewatkan oportunis seperti Dewa?
Ketakutan yang menyergap membuatku tak sadar menggigiti kuku ibu jari. Selalu begini jika panik menyerang. Saat sudah tenang, biasanya baru bisa kurasakan perihnya.
Aku takut. Bagaimana seandainya jika nanti polisi ikut menangkapku?
Meskipun sama sekali enggak terlibat, bahkan menyentuh serbuk putih itu pun aku gak pernah, tapi bagaimana jika polisi ikut menahanku bersama Dewa?
Aku enggak bisa berpikir jernih, pikiranku kacau. Yang terlintas saat ini hanyalah aku harus pergi sekarang juga sebelum rombongan polisi itu ikut mencari tahu keberadaanku.
Kuambil tas jinjing dari atas nakas, memasukkan handphone, charger, dompet serta amplop coklat ke dalamnya.
Kurapatkan kembali kupluk sambil memasang masker di wajah. Setidaknya nanti di dalam lift orang-orang gak bisa melihat curiga pada wajahku yang mungkin sudah sepucat mayat karena begitu takutnya.
Saat sampai di drop out area depan lobi, langsung kunaiki taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Hanya satu alamat yang bisa kuingat sekarang. Dengan waspada, kutengok keadaan di luar mobil, memastikan semuanya aman. Setelah menyebut alamat yang akan kutuju, pengemudi taksi segera melaju.
Perjalanan ini mungkin akan terasa lama, tapi semoga bisa menenangkanku dari semua ketakutan ini. Berniat mengabarkan kedatangan di malam yang hampir larut, kuketikkan sesuatu di layar.
Bu, tolong. Ayla takut.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro