Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Tragedi

Beberapa tahun kemudian.

Suara derap kaki terdengar gagah menyeret lantai. Langkah itu terhenti di depan sebuah pintu yang langsung diketuk dari luar. Begitu pintu dibukakan, sosok laki-laki yang muncul di sana.

Sedikit menelengkan kepala ke arah sumber ketukan, seorang gadis di dalam kamar itu yang tubuhnya terbungkus selimut dengan posisi meringkuk, sudah tahu siapa si pengetuk pintu. Laki-laki dengan wajah tanpa ekspresi.

Salah sekali jika sang gadis sempat berharap paling tidak ada sedikit saja sorot penyesalan yang tampak di wajah itu. Hal yang rasa-rasanya ... mustahil.

Karena sebaliknya, mungkin saja di balik raut tenang yang ditampilkan, tersimpan senyuman tak kasatmata. Ekspresi bahagia seorang penjaja yang dagangannya laris terbeli.

Seorang pria bertubuh sedikit gemuk membuka lebar pintu, tersenyum menyambut laki-laki yang bertamu di kamarnya. Mengenakan pakaian serba hitam mulai dari kaus, jaket hingga celana berbahan jeans dan topi, tak menjadikan laki-laki yang berperawakan tinggi di hadapannya sekarang terlihat menyeramkan.

Tamunya ini bukanlah orang yang ditunggu-tunggu hadirnya, akan tetapi sang pria paham, waktunya memang telah berakhir sesuai perjanjian yang mereka berdua sepakati. Maka tanpa protes, dipersilakannya sang tamu masuk lebih jauh ke dalam ruangan.

"Thanks Bro, yang ini sesuai janji lo. Memuaskan. It's worth the wait," puji si pria terhadap tamunya.

"Siap bro, thank you transferannya. Kalau butuh lagi, kontak aja. Anytime," balas si lawan bicara.

Setelah sebelumnya pamit membersihkan diri di kamar mandi, pria pembuka pintu kini sedang merapikan kembali tampilannya.

Menyisir kemeja dengan tangan dan mengancingkan kembali celana. Sempat melirik ke arah ranjang dan menemukan bahwa gadis teman kencannya tadi masih tak sudi menatap, membuat ia tersenyum miring.

Ia kemudian bergerak ke arah lemari membereskan barang-barang dan memastikan tak menyisakan jejak sebelum akhirnya bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

Di atas ranjang berukuran queen size, seorang gadis terbaring lemah. Apa yang baru dialaminya tadi menguras emosi dan tenaganya. Ia sudah tidak punya daya lagi bahkan untuk memungut pakaiannya yang entah kini ada dimana.

Bodohnya, ini bukan kali pertama.
Rasa malu, sakit dan harga dirinya sudah lama tergadai.

Semua yang jadi permintaan dari orang yang ia cintai selama dua tahun ini seolah adalah mantra yang membuat gadis itu terbuai. Rela melakukan apapun yang diperintahkan kekasih hatinya itu. Tanpa ia sadari, cinta itu bisa saja menghancurkan dirinya.

Laki-laki tinggi yang baru saja tiba itu sudah duduk di samping gadis. Kini, hanya tersisa mereka berdua sebagai penghuni kamar. Jemarinya terulur mengusap pipi halus perempuan yang masih betah di posisi rebahan, dirangkum dengan kedua tangannya.

"Good girl. Makasih sayang, kamu memang gak pernah ngecewain aku," katanya mencoba merayu.

Gadisnya masih diam di tempat, tak berminat membalas apapun, sedang si laki-laki akhirnya beranjak ke kamar mandi.

Tak begitu penasaran, sang gadis sudah bisa membaca situasi. Sudah jadi kebiasaan bahwa lelaki itu hendak mengisi penuh bathtub dengan air hangat, kemudian melarutkan bath bomb keluaran toko franchise kosmetik yang cukup terkenal di Indonesia belakangan ini.

Wangi manis yang lembut dan menenangkan, menguar di udara. Laki-laki itu tahu betul aroma favorit yang akan memanjakan gadisnya nanti. Strawberry.

Keluar dari kamar mandi, ia berjalan mendekat menuju gadis yang masih terbaring di atas ranjang, lalu duduk membelai halus rambut panjang yang tergerai.

Tangan kirinya yang bebas menunjuk ke arah nakas, memancing sang gadis ikut menoleh ke arah yang dituju. Sebuah bungkusan putih terlihat diletakkan di atas sana.

"Jangan lupa minum pills kamu. Jaga-jaga walaupun dia tadi pakai pengaman."

Dalam hatinya si gadis berdecih. Jaga-jaga? Benarkah dirinya dijaga?

Tentu saja kata-kata yang tertangkap telinganya tadi bukan ditafsirkan sebagai bentuk perhatian, ia lebih sudi mengartikan itu sebagai perintah. Perintah yang tak boleh dibantah.

Tapi tenang, dirinya memang tak sudi jika harus kebobolan. Tubuhnya adalah aset untuk bekerja, dibayar untuk memuaskan, tak ada kamus cuti hamil di peraturannya.

Lagi pula siapa wanita yang sudi mengandung benih laki-laki hidung belang yang entah berentah itu? Jadi demi keamanan, seperti yang laki-laki itu bilang, ia harus berjaga-jaga.

Tubuh laki-laki itu lantas membungkuk, mensejajarkan bibir dengan dahi sang gadis. Dikecupnya kening yang masih berpeluh itu cukup lama.

"Aku beli makanan dulu ya?"
Tak ada jawaban.
"Kamu pasti lapar kan?"
Masih tak ada jawaban.

Diembuskannya napas lewat mulut, laki-laki itu pasrah menghadapi sikap sang gadis.

"Yasudah, mandi saja dulu. Nanti aku yang suapin," katanya akhirnya, tak lagi berminat kembali mengajukan pertanyaan.

Rentetan kata yang terdengar, hanya berbalas hening. Seolah hanya ada satu orang di ruangan itu sedang bertanya pada dirinya sendiri. Mengasah kemampuan bermonolog. Jika memang gadisnya butuh waktu untuk sendiri, dengan senang hati kali ini dia akan mengabulkan. Laki-laki itu memilih meninggalkan ruangan.

Sekejap pintu itu tertutup, luruhlah sungai dari netra yang sayu. Gadis itu tahu cintanya telah salah memilih, tapi ia terlalu takut untuk melepas. Pantaskah orang seperti nya mengharap kebebasan? Sementara cinta yang dia punya belum juga sirna.

***

Entah sudah berapa lama dirinya terlelap. Saat matanya terbuka dan mengedarkan pandangan ke sekitar, gadis itu langsung sadar dia masih berada di kamar yang sama dengan tadi malam, tempat dimana dia melewatkan pergumulan menjijikkan itu.

Sekelebat bayangan kejadian beberapa jam yang lalu muncul, membuat perutnya bergejolak, mencipta sensasi mual yang tiba-tiba hadir.

Dia bangun dari tidur mengambil posisi duduk, menghilangkan mualnya. Selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kini merosot sampai ke lutut, memperlihatkan kaus kebesaran yang dikenakannya sampai ke batas paha. Celana segitiga yang membungkus asetnya terlihat mengintip di bawah sana.

Gadis itu mengernyit, kapan dia memakai pakaian itu? Seingatnya tadi malam saat kekasihnya pergi, dia menghabiskan waktu membersihkan diri di kamar mandi.

"Sudah bangun Ay?" Suara berat laki-laki membuatnya menoleh ke sisi kiri.

Ia mendapati lelaki yang sangat dikenalnya terbaring di kasur yang sama. Hal itu juga menjawab pertanyaan dalam benak gadis itu tadi. Pasti laki-laki ini yang memakaikan pakaian di tubuhnya setelah dia tertidur di kamar mandi saat merilekskan tubuh dalam hangatnya air di bathtub. Sehabis puas menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan.

Laki-laki itu kemudian mengambil posisi duduk sama seperti si gadis. Matanya masih terlihat sama mengantuknya.

"Lapar gak? Kamu kan belum makan semalam?" tanyanya sambil bersiap turun dari ranjang.

"Aku beli sate ayam, pakai lontong. Aku panaskan dulu ya di microwave," katanya lagi sambil beranjak ke lemari pendingin.

Ia mengeluarkan bungkusan dari sana yang dipindahkan isinya ke dalam piring keramik, kemudian memasukkan nya ke dalam microwave fasilitas hotel.

Tidak sampai dua menit, sepiring sate ayam yang sudah hangat itu tersaji di atas meja. Wangi gurih saus kacang dengan aroma smoky menusuk indra penciuman, menghantarkan gelombang udara yang lumayan memancing nafsu makan.

Wajar saja perut gadis itu keroncongan, seingatnya terakhir memasukkan makanan ke dalam perut, dia lakukan kemarin siang. Lantas saat ini? Sayangnya sudah pukul dua dini hari.

Laki-laki itu mendekat, memindahkan makanan ke atas kasur. Bantal dijadikannya sebagai alas menaruh piring yang masih hangat itu.

"Makan, ya," pintanya sambil mengelus-elus kepala gadis berambut hitam.

"Kamu gak makan Wa?" Gadis itu akhirnya mendongakkan kepala karena si lelaki masih berdiri di tepi ranjang.

"Enggak, Sayang. Aku sudah tadi," jawabnya sambil tersenyum hangat. Jemarinya mengelus sayang pipi gadis itu.

"Mau disuapin?" tawarnya.

Sang gadis yang terkesima menganggukkan kepala sebagai jawaban. Laki-laki itu segera duduk dan membantu sang gadis menghabiskan makanannya.

Saat ini mereka sudah bersandar pada kepala ranjang sambil duduk berdampingan menyaksikan televisi yang dibiarkan menyala tanpa benar-benar ditonton.

Sang gadis membenamkan kepala pada dada laki-laki itu yang terasa sangat nyaman baginya. Wanita memang menyukai kehangatan seperti ini. Ditambah lagi, perhatian yang diberikan sang laki-laki sejak kedatangannya tadi malam, pada akhirnya memang selalu berhasil meluluhkan hati.

Hubungan mereka yang sudah berjalan dua tahun ini, juga tidak mungkin terjalin andai saja hati sang gadis tak tersentuh karena kasih sayang yang diberikan si lelaki.

Selama 17 tahun hidupnya, laki-laki bernama Dewa inilah satu-satunya tempatnya menemukan sandaran. Tetapi, sesuatu sungguh mengusik pikirannya beberapa bulan belakangan.

Benar apa yang dikatakan orang, waktu mengubah segalanya. Sedangkan perubahan, tak selamanya ke arah yang lebih baik.

Mungkin dalam hal ini perasaan keduanya masih tetap sama, saling mencintai. Setidaknya, begitu yang coba diyakini sang gadis.

Hanya saja, cara mencintai itu yang kini berubah. Yang ia tahu, seharusnya orang yang mencintai tak kan pernah menyakiti bukan? Tapi mengapa hal yang dialami dirinya kini serasa begitu menyakitkan?

Sebuah pertanyaan besar memenuhi kotak penasarannya; masih pantaskah perasaan ini disebut cinta?

Gadis itu kehilangan harga diri, kehilangan hak atas tubuhnya sendiri dengan cara yang kejam. Semua itu karena laki-laki yang sekarang sedang mengelus-elus lengannya sambil sesekali memberi kecupan di kening.

Ya, lelaki ini pula yang setiap menjual tubuhnya dengan tega, akan segera melimpahinya dengan perlakuan manis penuh kasih sayang sebagai sebuah penebusan atas segala rasa bersalah dan dosa.

Lagi dan lagi.

Pola yang selalu berulang, membuatnya mempertanyakan tentang hal itu terus menerus.

Mengembuskan napas pelan, sang gadis tergerak menyuarakan isi pikirannya.

"Wa ...." Gadis itu menggigit bibir, sadar pertanyaan yang akan diajukan berisiko terhadap ketenangan suasana saat ini. Namun, bagaimanapun juga, ia masih ingin percaya keajaiban itu ada.

"Hmm?" balas laki-laki itu.

"Sampai kapan kita akan kayak gini Wa?"

Suara gadis itu terdengar bergetar. Usapan di lengannya tiba-tiba terhenti. Ada keheningan yang menguar di ruangan, menambah syahdu waktu subuh kali ini.

Laki-laki itu masih diam, maka sang gadis melanjutkan ucapannya.

"Aku udah gak kuat Wa. Gak bisakah kita cari pekerjaan lain?" tanyanya yang mulai terisak.

Sialnya sang gadis, pertanyaan itu justru bagai cambuk yang memecut kemarahan sang lelaki.

"Tahu apa kamu Ayla? Kamu gak tahu sulitnya aku terpaksa melakukan ini. Kamu pikir mudah cari pekerjaan, huh? Anak sekolahan kayak kamu enggak pantas mengajari aku. Paham kamu!" bentak laki-laki itu.

Tangannya sudah mencengkeram rahang sang gadis kemudian mengempaskannya begitu saja, membuat gadis itu terhuyung di atas kasur.

Keberanian Ayla bersuara memang harus dibayar dengan banyak tanda yang membekas pada tubuhnya, lebam di mana-mana. Masih untung kali ini hanya cengkeraman di wajah, hal yang lebih parah pun sudah pernah dia alami.

Lelaki yang dipanggil Dewa itu bangun dari ranjang dan berjalan lurus ke arah pintu, mengabaikan tangis pilu sang gadis di belakang.

Seperti yang sudah-sudah, nanti dirinya akan menghilang beberapa hari dan kembali dengan sebait permohonan maaf, menjanjikan hal yang sama tak akan terjadi lagi, khilaf katanya.

Namun nyatanya hal itu terus menjadi kebiasaan yang berulang. Khilaf yang berkali-kali.

Sungguh sebuah siklus yang membuat jiwa dan raga Ayla tak sanggup lagi menahan deritanya.

Kali ini gadis itu benar-benar lelah. Mungkin lebih baik hidupnya berakhir saja. Terlintas sesal di pikirannya, mungkin seharusnya tadi malam dia menenggelamkan saja tubuhnya pada rendaman air di bathtub, menghilangkan nyawanya sendiri.

Karena hal yang belakangan ia sadari adalah percuma masih bernyawa, jika hidup seperti orang mati.

***


Gimana? Gimana? Tarik napas dulu, yuk.

Jangan lupa vote dan komen ya, thank you beautiful soul.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro