Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7| Hujan, katanya cerah

Hujan berlabuh
Pada Jumat pukul satu
Katamu semesta sedang sedu
Tanpa tahu malu

Kata saya tidak begitu
Mereka itu sedang berlibur
Sesekali ke muka bumi
Walau berulang tersakiti

🌻🌻🌻


Hari ini cerah,

Katanya.

Tapi, tiba-tiba saja hujan. Deras, deras sekali. Di dekapan saya ada kucing-kucing yang bernasib malang dengan mulutnya yang mengeong. Sialnya, akibat kesiangannya saya tadi, saya lupa membawa makanan untuk mereka, dan terpaksa melihat mereka kelaparan di jam istirahat ini tanpa memberi makan.

Mau ke kantin pun, saya juga sukar. Saya lupa membawa uang, dan di tas saya hanya ada selembar dua ribu yang cukup membeli sebuah roti, serta selembar seribu untuk ongkos pulang.

Saya menghela napas. Menunduk lesuh, sembari memeluk kaki saya yang beberapa bagiannya terciprat air hujan. Dingin.

"Kalau dingin jangan di sini atuh Neng."

Sosok itu sudah duduk di sebelah saya, rambutnya terurai basah dengan tangan membawa makanan kucing. Ya, siapa lagi kalau bukan Minggu.

"Kamu kenapa ke sini, lagi?" tanya saya.

"Buat beri makan kucing. Sini, meong, sini ...."

Ia menuangkan makanan tersebut pada wadah berwarna merah, mendekatkannya pada ketiga kucing tersebut. Bibirnya tanpa sadar mengulas senyum, tertangkap dengan jelas di mata saya.

"Iya tahu atuh Eneng, Abang itu ganteng, tidak sombong, rajin, suka menabung. Jangan dilihatin terus, Abang malu, ih," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari kucing.

Spontan saya berdehem sembari mengalihkan pandangan. Apa-apaan dia itu semesta? Kenapa bisa pede sekali dirinya itu? Mentang-mentang punya senyum sehangat mentari? Ah, sial. Menyebalkan dia itu, apalagi setelahnya ia terkekeh kecil. Entah apa yang lucu.

"Senin, kamu itu lucu sekali. Senin, kan namamu?" tanyanya berhenti terkekeh.

"Tahu dari mana?" kataku sambil spontan menutup dada-tempat name tag berada.

"Tadi waktu mengantar kamu ke UKS, tidak sengaja bertemu dengan ketua kelasmu di depan ruang BK. Dia menyebutmu Senin."

"Kamu paksa dia?"

"Buat apa?"

"Beritahu nama saya?"

"Dia tidak sengaja menyeplos kan itu, Senin."

"Ooh."

Setelahnya kami diam, tak ada pembicaraan. Segalanya mendadak bisu, kecuali semesta yang semakin deras menangis dengan langitnya yang makin kelabu tanpa diminta. Hingga mulutnya tiba-tiba menghentikan kebisuan ini.

"Hujannya deras."

"Saya tahu," kata saya acuh tak acuh.

"Kamu tidak penasaran, kenapa hujan selalu turun padahal sudah tahu akan selaku tersakiti oleh tanah?"

Saya mengerutkan dahi. Kenapa pembicaraan ini mendadak puitis sekali. "Entah. Mungkin hujan mau main ke bumi, capek berada dalam awan-zona nyamannya."

Ia terkekeh. "Kenapa hujan perlu ke luar dari zona nyaman? Capek lebih baik dari pada jatuh dan tersakiti berkali-kali."

Saya menggeleng. "Tidak, zona nyaman siklusnya selalu sama, tapi rasanya selalu melelahkan. Sedangkan main-main ke bumi menyenangkan, bisa terjun bebas walau selalu tersakiti berulang kali. Datangnya memang dingin, tapi menenangkan. Belum lagi kalau pelangi muncul, cantik sekali kan?"

Ia tersenyum mendengarkan perkataan saya, yang seperkian detik kembuat saya tertegun sendiri. Tunggu-tunggu.

"Kalau pemikiranmu begitu, kenapa jarang yang mau menjadi hujan? Malah bersembunyi di balik awan-di zona nyaman."

Deg.

Benar.

Kenapa sedari tadi saya tak sadar ia memancing saya mengungkapkan hal yang berkebalikan 180 derajat atas apa yang saya perbuat. Sialan. Sosoknya benar-benar tak tertebak, manipulatif, dengan tampangnya yang selalu tersenyum.

Saya membalasnya dengan tersenyum miring. "Kamu menyindir saya?"

Dia menggeleng. "Tidak. Untuk apa? Kamu merasa?"

"Semestinya," kata saya.

Ia tersenyum, berulang kali tapi tak pernah sekali pun membosankan.

"Nanti ikut saya, pulang sekolah mau?"

Saya membelakkan mata, sksd dia?

"Untuk? Kita baru kenal, berhentilah berusaha mendekati saya," kata saya bangkit dari duduk.

Ia ikut bangkit. "Maka dari itu, Senin. Nanti saya tunggu di parkiran."

Lalu pergi menyelonong begitu saja sebelum saya menolak tawarannya itu. Hei hujan, maunya dia itu seperti apa, sih? Tak ada minat mengganggu, tapi berusaha mendekat-menghilangkan sekat. Awas saja jika rencananya itu macam-macam!

🌻🌻🌻

Pukul empat lebih seperempat. Di sudut kelas hanya tinggal saya sendiri. Menatap ke luar, menyaksikan keheningan sedari tadi. Sekolah saya memang begini, begitu bel pulang semuanya bergegas ke luar. Meninggalkan rumah kedua dengan hati gembira tiada tara.

Saya menghela napas, bangkit dari kursi. Sepatutnya Minggu sudah pulang-sama seperti yang lainnya-meninggalkan saya, atau semoga saja ia lupa. Begitu, harapan sederhana saya di hari Jumat.

Namun, baru sama depan pintu, sosoknya sudah ada. Duduk di bangku panjang, dengan telinganya tersumpal earphone. Saya hendak tak acuh dan pergi begitu saja, tapi suaranya menghentikan segalanya.

Ia tersenyum, melepas earphone hitam itu dan memasukkannya asal dalam saku.

"Senin," panggilnya.

"Apa? Kamu tidak pulang?"

Ia tersenyum. "Tidak. Saya menunggumu."

"Sedari tadi?"

"Sejak bel. Kamu tidak berniat pergi-"

"Sepatutnya begitu, tapi rupanya kamu di sini. Memang mau ke mana?" tanya saya mulai jengah.

Ia tak menjawab. Malahan berjalan di depan saya begitu saja menuju ke parkiran. Saya mendengus, mengekori di belakangnya bagaikan anak ayam mengikuti induknya. Omong-omong, bahu Minggu yang dibalut hodie abu-abu tidak terlalu lebar. Tas hitamnya pun diselempangkan begitu saja. Ah, saya penasaran, di bahunya itu bebannya sebanyak apa. Bisa-bisanya selalu tersenyum.

"Awas, Senin, ada air."

"Hah?"

Saya tersadar, untung saja saya menghindar dari kubangan air tersebut. Bisa-bisa sepatu saya beserta dalamannya basah semua.

Minggu lalu menoleh, ia berjalan di samping saya. Memasukkan tangannya ke dalam hodie, dengan pandangannya kembali lurus ke depan.

"Tapi Minggu, saya tak bisa lama-lama."

"Tak apa, lagi pula memang hanya sebentar."

"Kita mau ke mana?" Saya bertanya kembali.

Jawabannya sama.

Dia hanya diam dengan seulas senyum, sembari menyerahkan sebuah helm kepada saya sesampainya di depan motor-kepunyaannya. Saya curiga, apa ini memang sudah direncana, ya? Tak mungkin kan ia membawa dua helm setiap hari, padahal dia selalu berangkat sendiri? Aneh.

Tanpa basa-basi, ia naik ke motornya. Saya mengikuti, tak bisa duduk mengangkang, saya duduknya miring, memegang bagian belakang dengan sekuat tenaga supaya tak jatuh. Untung motor minggu bukan sport, bisa-bisa rok saya tambah sobek.

🌻🌻🌻

Hai Gusy, hahaha, maaf baru malem malem up :v

Asli, aku beneran rupa kalau hari ini hari Senin, soalnya udah dari Jumat libur ditambah ini libur sampai dua minggu karena covid-19.

Walaupun libur tugas tetap bejibun :v mana guru fisika bilang gini lagi "Jangan takut sepi, nanti saya temani dengan soal fisika yang asik 👍👍" :vv

Astagfirullah, sabar aku :< mana minggu lalu 3 tugas belum selesai lagi. Hahaha (miningis di pijikin TT)

Selalu jaga kesehatan ya guys, jangan capek cuci tangan. Kesehatanmu berarti ❤❤

Sampai jumpa lagi 🦆🦆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro