Siklus hidupmu sama
Berulang kali begitu saja
Monoton apa adanya
Dalam hiruk piruk Ibu Kota
Pagimu itu penuh semangat
Siangnya mulai suntuk
Malamnya ya sambat
Ngopi sambil sebat
🌻🌻🌻
Sepeda saya mulai memasuki perkarangan rumah. Pelan-pelan saya standarkan, sembari menengok kanan kiri. Ini sudah pukul sepuluh, sekiranya ibuk harusnya sedang tidur. Saya mulai mengendap masuk, ruang tamu tampak benar-benar gelap dan dingin, tapi sinar rembulan diam-diam masuk melalui celah-celah kecil.
Bertepatan dengan tangan saya yang mendorong pintu kamar, saya dibuat terlonjak dengan deheman dari perempuan di ujung kasur.
"Senin? Habis dari mana? Kerja kelompok lagi?"
Ah, ternyata belum. Tampaknya perlu berbohong lebih lama lagi.
"Iya, tapi tugasnya belum selesai."
Saya menyusul Ibuk duduk, mengamati beliau yang wajahnya tertepa sinar rembulan dari jendela. Rautnya yang gusar terganti dengan seulas senyum. Diusapnya rambut saya dengan lembut.
"Ya sudah, sekarang istirahat. Pasti lelah."
"Ah, enggak, Buk. Tugasnya harus selesai besok, malam ini mau Senin selesaikan."
"Begitu? Tak perlu memaksakan diri, sebisa kamu saja. Kalau lapar, tadi Ibuk beli telur, ada mie juga."
Saya mengangguk, sebelum beranjak mengganti pakaian rumah serta membersihkan muka saya. Pantat saya sudah duduk di lantai beralaskan karpet tipis. Berbekal segelas kopi hitam saya mulai membaca satu persatu kata yang tertera pada halaman lks.
Baru satu nomor, saya tak paham sama sekali maksudnya. Mata saya juga sudah beberapa kali mengerjab menahan kantuk. Tidak, saya tak boleh begini. Walau pertemanan saya toxic, tapi saya tak boleh membuang pelajaran saya. Pelan-pelan saya memahami soal itu, beberapa lama-lama ada yang saya mengerti.
Tak susah, mungkin, sedikit.
Hingga pukul dua dini hari, saya terlelap. Di atas karpet dengan kopi yang masih utuh tanpa diseduh setegak pun. Dingin, seperti hati yang membelenggu.
🌻🌻🌻
Suara Ibuk membangunkan saya dari tidur yang agaknya sebentar. Tirai jendela suah dibuka lebar-lebar, menampilkan wajah Ibuk yang terpapar sinar syamsu. Ia mengulas senyum, dengan tangannya yang mengusap lembut kepala saya.
"Eh, jam berapa ini, Buk?" tanya saya spontan.
"Sudah setengah tujuh, dari tadi Ibuk sudah membangunkan kamu, tapi kamunya tidak kunjung bangun. Lalu buku-bukumu sudah Ibuk masukkan tas, besok-besok kerjakan sebisanya. Tidur juga di kasur," tutur Ibuk.
Saya segera bangkit, melirik jam, dan perkataan Ibu benar. Pukul setengah tujuh, bisa saja saya mandi secepat kilat, sekadar gosok gigi cuci muka, lalu pergi ke halte dan naik bus lima belas menit. Tapi, menunggu bus tidak pernah sebentar, sekiranya sepuluh menit paling cepat selama hidup saya.
Sial! Terlambat!
Tanpa membalas tuturan Ibuk, saya dengan gusar segera berlari ke kamar mandi. Membasuk badan secepat kilat, gosok gigi, cuci muka, dan langsung memakai seragam tak lupa lensa kontak. Ibuk melihat saya dan hendak menegur, tapi saya tetap sibuk sendirinya. Hingga sesaat memakai tali sepatu, suara ke luar dari mulutnya.
"Tidak makan dulu?"
Saya menggeleng. Mengecup tangannya. "Tidak, Buk. Nanti terlambat. Senin berangkat ya."
Saya segera bergegas, meninggalkan Ibuk dengan raut cemas di pagi hari nan cerah. Kaki saya berlari ke arah halte, kiranya lima menit dari rumah. Di setiap derap langkah yang melaju tanpa jeda, bersama sepatu yang dijahit berulang kali supaya tak cepat jebol, beberapa kali ibuk-ibuk menanyai saya atau sekadar menegur. Saya hanya membalas sekadarnya, tanpa berhenti berjalan.
Yah, setidaknya itu mungkin cukup. Supaya saya tak dikata sombong lagi ketika diajak bertutur, dan dilaporkan ke Ibuk-membuat Ibuk malu saja. Bukan, sebenarnya saya bukan sombong. Hanya saja, saya kadang bingung ketika ditanya ini itu, atau diajak ngobrol ngalor-ngidul. Yang saya bisa lakukan hanya diam atau terkekeh pelan, setelah itu pamit pulang ke rumah-mengundurkan diri dari obrolan basi. Saya tak suka, tak pernah suka ditanyai hal pribadi, kecuali bila saya yang menceritakan terlebih dahulu.
Kreek ....
Saya berhenti berlari, tepat di dekat halte setelah pikiran saya dipecahkan dengan bunyi tersebut. Benar, rok cokelat saya yang ngepres sobek di bagian bawahnya, untungnya tak sampai ke paha. Gawat, bisa-bisa dipanggil ke ruang BK. Agaknya hari ini benar-benar suram, padahal matahari terik setengah mati.
Tangan saya memegang pagar di halte, menatap sekeliling dengan gusar tak terelakkan. Halte penuh, ramai sekali. Ada Ibuk-ibuk dengan belanjaannya, anak kecil yang mengemut permen merah muda, Bapak-bapak dengan kaos oblong perut membuncit, atau nenek tua dengan dagangan di tangannya.
Orang-orang setiap saat tetap saja sibuk, pergi ke utara, ke barat, lalu ke selatan, hingga menyusuri wilayah timur. Apalagi namanya kalau bukan mengejar waktu, padahal kakinya juga ringkih. Toh, waktu juga tak pernah merasa iba, siap tidak siap juga kena hujaman bertubi.
Padahal ya, hidup juga begitu-begitu saja. Dengan kegiatan masing-masing dalam siklus peristiwa yang sama setiap harinya. Pekerjaan-pekerjaan monoton, membosankan, tapi tak bisa begitu saja dielakkan.
Pagi-pagi penuh semangat, siang mulai suntuk, malam sambat sambil sebat.
Haha, lucunya.
Bus akhirnya datang juga. Berbekal dorong-mendorong, saya pun akhirnya berhasil masuk, walau ujung-ujungnya harus berdiri dengan diampit kanan-kiri depan-belakang manusia. Saya yang tak luput dari khawatir sedari tadi, malah makin dibuat khawatir dan gusar karena arloji hitam di tangan saya-yang saya beli dengan uang sendiri-menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
Tanpa sadar, dahi saya mulai menguncurkan keringat dingin. Entah takut telat dan dimarahi guru, efek belum sarapan-sedangkan saya punya maag- atau bunyi klakson yang terus menderu menorobos jalanan Ibu kota yang selalu ramai.
Kegusaran saya terjeda sejenak sesaat bus sudah berhenti pada halte tujuan. Saya pun turun segera dengan diliputi perasaan khawatir karena sudah pukul tujuh lebih lima belas menit. Pikiran saya semakin kacau mendapati beberapa guru yang berdiri di depan pagar-siap menghardik murid yang bengal. Dengan langkah berat, perut mulai terlilit, saya memberanikan diri mendekat ke arah mereka, dan tentunya langsung kena semprot.
"Lha ini, jam segini kok baru berangkat! Kamu tahu telat beberapa menit?"
Saya menunduk, mencicit memohon ampun, "Maaf, Bu. Saya tadi telat bangun, lalu nunggu busnya lama."
Guru dengan bedak tebal, serta bibir penuh gincu-merah menyala-itu masih menatap saya dengan sebal. Matanya sekilas membaca name tag di dada saya. Seakan sadar sesuatu, ia menunjuk-nunjuk saya.
"Ooh, kamu itu Senin, anak didiknya Pak Faiz? Yang se-geng sama mereka itu?! Owalah, enggak heran, temanmu kayak gitu, pastinya kamu enggak benar! Apalagi rokmu! Sobek, kayak cabe! Alasan pasti kamu itu, pakai sok-sok an telat segala. Pasti habis nongkrong 'kan? Buktinya temanmu itu belum pada masuk! Dasar, ibukmu pasti enggak becus didik anak!"
Deg.
Saya mendongak, menatap langsung matanya dengan isyarat yang tak tergambarkan. Demi apa pun, saya akui saya salah-telat berangkat sekolah-berhak dimarahi dan dicerca karena rok sobek. Tapi apa-apaan itu mulutnya, tak beretika sama sekali. Apa katanya tadi? Ibuk saya tak becus mendidik saya? Cih! Lalu, apa dirinya itu? Seorang pengajar yang harusnya dicontoh, tapi sikapnya buruk rupa sekali?!
Sebelum saya semakin memuncak dengan mulut siap mengeluarkan kata-kata pembalasan, seorang guru lain mulai datang menghampiri. Ia menjadi penengah di antara kami yang mulai tersulut emosi.
"Sudah, Bu. Tenang, tenang. Enggak baik." Ia menatap saya, rautnya walau tegas tapi terlihat tenang ketimbang guru bergincu itu. "Kamu, karena telat. Seperti biasa dan seperti yang tertera di peraturan, lebih baik segera ke lapangan bersama yang lain. Sepuluh menit, jika sudah kembali ke kelas."
Saya mengangguk paham, dengan segelintir emosi yang masih ada. Kaki saya berjalan ke arah lapangan, lilitan perut yang tadi sempat hilang karena emosi sekarang kembali terasa lebih sakit. Saya menaruh tas di pinggir lapangan. Ikut bergabung pada segelincir orang-sekiranya lima-yang tengah hormat kepada Sang Saka.
Panas.
Matahari semakin terik seiring detik melaju. Lima menit suah berlalu, rekan-rekan yang tadi berdiri di sini juga sudah bubar. Hukuman mereka sudah selesai, tinggal saya sendiri dengan pori-pori membesar mengeluarkan keringat dari penjuru badan.
Perut saya untuk ke sekian kalinya terasa menyiksa. Hingga tak lama, tanpa kekuatan dan tanpa ancang-ancang siap atau tidak. Hitam datang dan mengajak saya membaur bersama teman-temannya, dengan lelap yang paling menyenangkan.
Gedubrak ....
🌻🌻🌻
Wahahaha, bjjr, paling banyak oy kata-katanya :v
Awokwokwok
Yang chap laen 900-an, ini 1000+ 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro