30| Kepergian Abadi
Puan
Perkenalkan ini Puan
Yang hendak menyenandungkan
Larik-larik perpisahan di jeda kehidupan
Mengenai kematian yang tak terelakan
Yang berhasil memungut jiwa Tuan
Tuk pergi melaju ke hadapan Tuhan
Tolong biarkan saja Tuan
Biarkan saja Puan ini mendekap rindu
dengan tubuhnya sendiri
Biarkan saja dihantam lara sejeru-jerunya
Hingga menanah, hingga ke ulu hati
Bila sudah lelah, bila sudah usai
Pada larik selanjutnya
Puan tegaskan dengan lantang
Puan mengikhlaskanmu
🌻🌻🌻
Pagi hari, di hari Minggu. Upacara pemakaman Minggu. Sekarang untuk selamanya ia benar-benar hilang, bukan raganya, bukan tubuhnya, tapi jiwa di dalamnya.
Di bawah gundukan tanah, rumah manusia-semestinya. Tubuhnya terbujur kaku. Matanya tertutup rapat. Tenang, helaan napasmu pun tak terdengar.
Hanya suara-suara manusia yang mengisak-isak, berseru menangisi kepergianmu, bahkan semesta pun juga berbela sungkawa. Langitnya menggelap, menandakan sebuah perpisahan, upacara kematian bagi sosok syamsu.
Minggu
Dari tadi saya menyerukan namamu, melirih dengan suara parau, dengan mata yang sembab membengkak sejak semalam. Dengan dada yang bergemuruh, seperti ditabuh oleh tenaga penuh.
Seharusnya tak apa kan?
Seharusnya saya ikhlas kan?
Tapi, kenapa? Kenapa saya tak terima begini? Kenapa rasanya saya ingin menyumpah serapahi semesta? Kenapa rasanya jiwa saya ikut mati juga?
Kenapa?
Apa upacara kematian menyakitkan seperti ini Minggu? Apa upacara kematian hanya perihal menangisi?
Memori bersamamu mengalun terus di kepala saya. Diputar-putar lantas tertampar fakta bahwa kamu telah pergi. Melepaskan rasa sakitmu, melepaskan deritamu, tapi juga senyummu.
Nantinya,
Tak ada lagi senyum manis dari Minggu
Tak ada lagi gombalan kardusnya
Tak ada lagi tawa renyah yang merekah
Tak ada lagi tatapan teduh dari netranya
Sudah hilang
Selamanya.
Minggu bodoh! Kamu bodoh banget! Katanya tidak ingin melihat saya menangisimu? Tapi apa, faktanya kau menguras habis air mata saya, yang mengering lalu basah kembali. Diisi ulang, begitu terus.
Apa maksud ucapanmu waktu itu adalah ini?
Hingga saya bahagia
Dan kamu lalu pergi, hah? Bodoh!
Tolol.
Saya benci kamu Minggu!
"Nak Senin."
Dengan pelan saya mendongak. Menatap Om Ari dengan matanya yang memerah. Pasti ia merasa serupa, kepergian Minggu meninggalkan bekas mendalam di setiap pribadi bahkan Pak Tatok pun sempat menghadiri pemakamannya.
"Terima kasih ya, sudah menemani Minggu di waktu terakhirnya. Terima kasih sudah berada di sisinya, memperlakukan ia dengan baik." Om Ari mati-matian menahan tangisnya, lantas menyerahkan sebuah buku familiar, milik Minggu. "Om temukan buku ini di laci rumah sakit. Saya rasa kamu lebih berhak menjaganya."
Buku itu saya terima, saya peluk dengan punggung bergetar. Naik turun. Satu-satunya peninggalan Minggu. Satu-satunya saksi atas kehadirannya yang mengubah presepsi saya. Satu-satunya pula sejarah hidupnya, yang ditutup rapat-rapat yang siap saya buka walau nanti basah oleh tangis saya.
"Saya janji Om, saya janji akan menjaganya."
🌻🌻🌻
Kepergianmu. Upacara pemakamanmu. Walau pagi sudah menjelang, walau hari sudah berganti. Sosokmu masih terasa mustahil untuk diakui pergi. Kamu terasa masih nyata untuk tetap ada. Dirundung rindu tiba-tiba. Ingin rasanya mengurung diri di kamar, membaca seluruh kenangan yang kau tinggalkan, tapi belum bisa. Tubuh saya harus diseret paksa keluar kamar, menghadiri pensi sekolah. Sendirian.
Lalu sekarang, seperti mayat hidup, saya termangu di ruang musik. Menatap kosong manusia-manusia yang sibuk sana-sini di luaran sana. Sebagian sibuk menata, mengurus, atau memberi intruksi. Sisanya tertawa renyah, tersenyum merekah. Hari ini bagi mereka menyenangkan, bersenang-senang. Hari Senin tak lagi buruk. Ramai, sedang berpesta ria.
Tapi bukan untuk Senin yang ini. Manusia yang dirundung sedih di acara bahagia. Manusia yang tidak menikmati acaranya sama sekali. Ada yang hampa. Ada yang hilang. Rasanya hanya ingin diam saja di ruang kosong, atau memutar waktu meminta di mana diri sudah berhasil mengikhlaskan.
"Senin, ayuk ke luar. Sebentar lagi kita tampil."
Flow mengajak saya bangkit. Ia tersenyum, mengusap punggung saya. "Kamu tahu Senin, kita semua kehilangan Minggu. Kalau bisa pun aku enggak ingin tampil hari ini. Rasanya ada yang kosong menyadari bagian dari kita benar-benar hilang. Enggak bisa kembali lagi."
Saya diam. Tak membalas. Flow dan saya masih melangkah menuju lapangan. Diisi kembali oleh ucapan-ucapan yang ia lontarkan.
"Setiap pertemuan selalu berujung perpisahan, Nin. Kita tahu ucapan itu benar adanya, entah berpisah sekarang atau esoknya. Entah karena takdir atau keterpaksaan. Namun, kita tahu pula, kehadiran mereka adalah perantara dari Tuhan, mengenai pelajaran-pelajaran baru yang nantinya menjadikan kita sekuat-kuatnya." Ia menjeda. Membalikkan tubuh saya menghadapnya lalu mendekap tubuh saya yang seperti mayat hidup di peluknya.
"Perkara mengikhlaskan bukan sekadar melupakan. Nanti kalau pensi sudah usai, kalau ingin menangis menangislah, saya temani. Mari, naik ke atas panggung," ujarnya tersenyum.
Saya mengangguk. Menghela napas penjang. Benar-benar memantapkan hati. Berdiri di tengah lapang, ditatap banyak sorot manusia. Gugup. Benar-benar gugup. Perasaan semula yang sedu ditambah lagi menjadi canggung, aneh.
Demam panggung.
Lalu tiba-tiba ada yang menyeru. Percikan baru.
"Senin! Fighting!"
"Kami di sini untukmu!"
"Semangat!"
"Kamu cantik sekali!"
"Jangan gugup."
"Pasti bisa!"
Mulut saya mengulas senyum mendengar gemuruh yang bagaikan percikan bara tersebut. Lalu saat bibir saya hendak menyenandungkan, sosokmu seperti tengah hadir. Di sudut sana, saya melihatmu tengah tersenyum merekah. Tanpa berbicara, melalui netra, kamu seakan-akan berbicara kepada saya.
Minggu, meski tanpamu. Meski kamu tidak ada di samping saya, menggenggam saya. Terima kasih sudah hadir di antara manusia, walau entah nyata atau sekadar khayalan fana saya saat ini. Barangkali bentuk fatamorgana rasa rindu yang disulap jadi kamu.
Lantas lagunya mulai saya senandungkan. Sorai-Nadin Amizah, yang lucunya seakan-akan menggambarkan kondisi saya saat ini.
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat, cinta mana yang tak jadi satu?
Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Demi Tuhan saya menahan tangis mati-matian. Memori bersamamu dengan kurang ajar muncul di hadapan saya. Diputar seperti layar bioskop, dilambatkan selambat-lambatnya. Suaramu benar-benar nyata, seperti tengah ada di sebelah saya.
Senyummu, punggungmu. Raut mukamu.
Bisakah saya menyanyikan lagu ini hingga akhir? Bisakah kaki saya menyangga dengan kokoh? Tanpa terjatuh. Tanpa terperosok lebih jeru, walau bayangmu tak henti-hentinya melaju terus menerus.
Awan dan alam saling bersentuh
Mencipta hangat, Kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat, hati mana yang tak akan jatuh
Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu
Selesai, Minggu. Selesai.
Meski akhir kisah kita seperti Sorai, bukan layaknya Sampai Jadi Debu. Meski sekadar satu dari sekian simpangan yang kau lalui untuk menuju akhir keabadian.
Selamat Tinggal.
Sampai jumpa. Di tempat berkumpul.
Pada baris ini, saya ikhlaskan kepergianmu.
🌻🌻🌻
Astaga, sudah ending saja :)
Terima kasih ya, sudah mengikuti Senin sampai sejauh ini. Tenang, memang sudah ending, tapi minggu depan akan ada epilog dan satu chapter penutup(?)
Aduh, aku bingung mau bicara apa lagi. Ah, intinya terima kasih, sungguh, karena sudah mempersilahkan Senin untuk mengisi hari-harimu. Maaf, kalau aku tak bisa membawakan dengan baik.
Ya sudah, selamat malam, ya. Sampai jumpa di bagian berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro