Disarankan mengubah latar menjadi hitam. Disarankan pula menyalakan Clair de lune by Debussy (di spot*** ada), gunakan earphone ya.
______________
Puan pinjamkan pelukan
Untuk Tuan yang tak berdaya
Untuk terakhir kali
Sebagai upacara kepergian
Selamat tinggal
🌻🌻🌻
Hari ini, barangkali kesempatan terakhir saya melihat Minggu. Menatap wajahnya dengan dalam, sepuas-puasnya. Sebab esok, dia sudah pergi, melandas terbang ke langit. Meninggalkan saya sendiri tanpa cahaya mentari-lagi.
Kalau kalian tanya tentang seribu burung bangau, itu tidak jadi sama sekali. Tidak ada seribu, tidak sampai delapan ratus, tidak sampai tujuh ratus. Malah kini tercecer di kamar saya, dengan sayanya sendiri termenung, sejak pagi hanya termenung membolak balikan amplop yang belum saya buka. Sebab takut akan isinya.
Sering dikecewakan takdir, kerap kali membuat manusia takut akan sesuatu. Padahal belum pasti seperti pikiran sendiri.
"Nin, makan yuk, sarapan." Ibuk datang dari ambang pintu, menyalakan saklar lampu.
"Tidak selera."
Seperti kata orang, banyak pikiran membuatmu tak selera makan. Sudah kenyang oleh pikiran sendiri yang hambar.
"Ibuk masak ayam lho, ayuk makan. Kamu boleh sedih, tapi jangan sampai kamu lupa diri kamu sendiri. Katanya nanti mau pergi ke rumah sakit? Makan dulu, kalau tidak Ibuk tidak mengizinkan."
Saya mendengus, menatap Ibuk. "Ibuk ...."
Ibuk menggeleng. "Makan dulu, sedikit saja tidak apa."
Akhirnya saya pasrah oleh bujuk rayu Ibuk. Suapan nasi benar-benar meluncur ke lambung saya. Rasanya enak, tapi kalau hatimu berantakan, rasanya malah tak karuan.
Tidak percaya?
Coba saja
Jangan, deh
Tidak baik.
🌻🌻🌻
Om Ari mengabari kalau Minggu sudah sadar, ia berhasil melewati masa kritisnya. Tentu saja rencana saya yang niatnya sore nanti langsung diubah. Selepas makan saya langsung pergi ke rumah sakit, berpamitan dengan Ibu, menata hati serapi-rapinya supaya terlihat baik-baik saja.
Saya berpas-pasan dengan Om Ari yang ke luar dari ruangan. Beliau tersenyum penuh arti. "Om tinggal dulu, terima kasih sudah mau datang."
Saya mengangguk. Menghela napas, kemudian melangkah mantap masuk ke dalam ruangan yang kemudian saya umbarkan senyum, walau belum apa-apa pun dada saya seperti diremuk-remuk sekadar menatap wajahnya.
Minggu
Apa kabar?
Ah pasti tidak baik-baik saja, ya?
Ada banyak sekali yang ingin saya tanyakan, tapi melihatmu seperti ini membuat segala pertanyaan yang menumpuk di kepala langsung menghilang. Dibungkam senyum merekah di wajahmu yang sayu, laksamana bunga matahari yang kian hari kian mengering dilahap sang waktu.
"Senin."
Suaranya melemah, air mata saya terjun bebas tanpa saya sadari. Ngilu.
Buru-buru saya mengusapnya. Jangan menangis Senin! Jangan menangis! Jangan buat Minggu tambah khawatir, mari bersikap biasa saja. Umbar senyum-terus.
"Hai, Minggu," balas saya dengan tersenyum, sembari mendekat ke arahnya.
Minggu tak berubah, sosoknya masih sama, ia mengulas senyum, walau tubuh kering kerontangnya hanya bisa berbaring dengan kepala penuh kesakitan yang menggebu. Melilit. Apa kepalanya tengah berdenyut kesakitan? Apa ia sedang menahan? Apa ia sedang membentengi dirinya supaya tak mengaduh?
"Kamu sudah makan? Mau saya kupaskan buah?" tanya saya memutus pertanyaan di otak saya sendiri.
Minggu menggeleng. Dia hanya tersenyum lagi, lagi, dan lagi. Demi apa pun ingin saya lakban saja senyumannya.
"Acara sekolah esok lusa, ya?" Dia tiba-tiba bertanya.
Saya mengangguk. "Iya. Kenapa?"
"Maaf, ya, bila nanti tidak bisa menemani padahal saya yang berjanji. Nanti, tetap percaya diri ya, jangan gugup. Senin pasti bisa, meski saya enggak ada," ucapnya lirih.
Tanpa kamu, ya?
Apa bisa?
Membayangkannya saja sulit sekali.
"Iya. Emm, Minggu-" Ucapan saya menggantung.
"Kenapa?"
"Senin mau bertanya, Minggu yang membuat surat ini untuk Senin, ya?" tanya saya sembari mengeluarkan sebuah amplop yang kemarin Bintang berikan.
Minggu tampak terkejut, lalu tersenyum lega. "Iya, tapi kenapa bisa ada di kamu? Surat itu ... bukannya hilang?"
"Bintang yang berikan, terselip di hadiah yang kamu kasih."
"Untunglah. Sudah kamu baca?"
Saya menggeleng. Lalu mengeluarkan sebuah kertas dari saku. Biar adil, semalam saya buat surat juga untuk Minggu. Sebenarnya akan saya titipkan ke Om Ari untuk diberikannya nanti, tapi nyatanya ia sudah siuman lebih dulu. Sekalian saja saya berikan, anggap saja balasan suratnya barangkali pula ucapan perpisahan.
"Biar adil, saya juga buat. Untuk kamu," ucap saya menyodorkan.
Minggu menerimanya, tersenyum. "Ah, lucu sekali." Ia menatap saya. "Boleh dibaca sekarang?"
"Haha, boleh, tapi haha, saya malu. Suratmu saya baca saat kamu sudah selesai ya, haha."
Meski malu saya izinkan Minggu membaca surat dari saya. Dia membukanya perlahan, jantung saya memburu. Seperti memberikan surat cinta pada pujaan hati. Netranya bergerak liar, pada kalimat-kalimat yang saya tulis-begini:
Untuk Minggu.
Minggu, banyak sekali yang ingin saya sampaikan untukmu. Banyak hal yang ingin saya katakan langsung, tapi saya tak kuasa, jadi saya tulis saja, haha anggap saja balasan suratmu meski belum saya baca.
Minggu, pertama-tama biarkan dulu saya mengatakan terima kasih. Terima kasih sudah hadir menjadi syamsu bagi hidup saya, terima kasih sudah mengajak saya melihat duniamu yang seru, terima kasih sudah menerima saya apa adanya tanpa menuntut lebih. Meski saya ini seburuk-buruknya manusia yang kamu temui di muka bumi.
Dulu, saya anggap pertemanan itu tidak ada. Hanya tentang eksitensi semata yang penuh topeng-topeng kemunafikan. Namun, Minggu, sosokmu yang berbeda mengubah segalanya lewat pertemuan mengesalkan. Haha, lelaki modus! Yang bisa-bisanya membuat gadis bodoh ini mempunyai teman untuk pertama kali di hidupnya dan pertama kali membuatnya jatuh cinta meski berakhir tak satu, meski Tuhan itu satu.
Minggu, setelah lama mengenalmu, saya sadar ketimbang lelaki modus kamu ini lebih ke arah naif, sedikit sok kuat padahal kalau kamu butuh sandaran saya ada. Saya bisa meminjamkan pundak dan pelukan tanpa harga sewa, untukmu, tentunya.
Selain itu pula, apa kamu sudah lupa Minggu? Omonganmu sendiri? Perihal keluarga, bukan sekadar sedarah. Bukan sekadar dalam naungan atap yang sama. Anak-anak panti, anggota Band, Ibuk, Om Ari, Pak Tatok, dan orang-orang yang kau beri cahaya, mereka juga keluargamu Minggu. Kamu, kapan pun butuh, kami ada. Kami selalu menggenggam tanganmu, dengan erat. Tangan kami selalu terjulur untuk membantumu, jangan malu untuk meminta tolong.
Maka dari itu, lekaslah sembuh Minggu. Nanti di Singapura jangan lupa untuk mengabari tentang kondisimu. Semoga pengobatan di sana bisa menyembuhkanmu. Saya selalu mendoakan, semuanya juga mendoakan yang terbaik.
Kami sayang kamu
Penuh cinta
Senin
Dari netra saya, Minggu tertangkap jelas meneteskan air matanya-pertama kali saya melihatnya-yang ia hapus kemudian. Ia menatap saya, tersenyum merekah memamerkan gigi putihnya yang membuat hati saya mencelos, terenyuh.
"Terima kasih Senin, terima kasih." Air matanya kembali terjatuh. "Boleh untuk terakhir kali saya meminjam pelukanmu?"
Saya mengangguk. "Boleh, Minggu."
Tubuh saya mendekapnya. Derasnya air mata yang terjatuh dari matanya terasa nyata di pundak saya. Biarkan, biarkan ia menangis sederas-derasnya, menumpahkan segala emosi yang sejak dulu menumpuk, tertimbun di dalam ruangan gelap miliknya. Biarkan tenang. Biarkan menangis, untuk mental yang pernah terkikis. Untuk segala kekecewaan akan benang-benang merah kehidupan. Menangislah, saya ada.
"Terima kasih, Senin. Terima kasih."
"Terima kasih sudah menulis surat setulus ini."
"Terima kasih sudah hadir di antara manusia yang ada."
"Terima kasih tak menghakimi saya bahwa saya lemah."
"Maaf, saya malah menangis."
Saya menggeleng. Mengusap-usap punggungnya. Mengatakan tidak apa-apa. Tak apa-apa menunjukkan sisinya yang lemah. Tak apa-apa menangis. Tak apa-apa. Sungguh.
"Kamu tidak lemah Minggu."
"Kamu kuat."
"Terima kasih sudah berjalan sejauh ini."
"Terima kasih sudah hadir menyinari."
"Menangislah, kamu berhak."
"Terima kasih, Nin. Maaf selama ini bila saya pernah menyakitimu. Maaf membuatmu jatuh cinta. Maafkan saya atas kesakitan yang saya berikan."
"Enggak Minggu, enggak." Saya menggeleng. "Kehadiranmu membuat saya bahagia. Lekaslah sembuh, kita naik bianglala lagi, kita makan es krim lagi. Kita, kita kunjungi tempat-tempat yang ingin kamu datangi."
Di pundak saya airnya terus melaju dengan keheningan yang syahdu. Tubuhnya bergetar tak karuan. Hingga tak lama kemudian ia tenang, deru napasnya beraturan, tapi lambat laun tak terdengar. Hilang bersamaan punggungnya yang terdiam. Bergeming. Seketika saya sadar bahwa syamsunya telah terbenam, dimakam malam di ufuk barat.
Minggu telah pergi
Minggu telah mati
"Minggu?"
"Kamu kok diam?"
"Jawab Minggu! Jangan membisu!"
"Kamu enggak lagi bercanda kan? Enggak lucu lho."
"Minggu?"
Sekarang tangis saya yang tumpah ruah. Mengalir deras di pundak lelaki yang kini benar-benar kompong, tak terisi. Dia sudah tertidur lelap, selamanya. Tak akan ada sakit lagi yang teremban. Tak ada derita lagi yang tertimbun di punggungnya. Jiwanya sudah tenang, terbang bebas di atas sana.
"Selamat tidur syamsu."
Selamat tidur.
🌻🌻🌻
Nangis enggak?
Maaf ya kalau kurang feelnya :)
Ini terakhir? Emm, masih ada beberapa lagi (?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro