Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24| Hingga Bahagia

Jangan pergi
Tetaplah di sisi
Barangkali hingga senja
Berdua di beranda
Walau tak bisa
Tetaplah ada
Sembuh berdua
Tumbuh bersama

🌻🌻🌻

Seharian tak sekolah, bolos barangkali. Malas menghadapi omongan mereka, malas menunjukkan kebenaran yang ada. Toh mereka hanya ingin mendengar apa yang ingin didengar, untuk kepuasan batin dengan membunuh mental orang lain.

Seharusnya saya tengah berada di belakang, di depan wastafel mencuci piring dan gelas-gelas sisa kopi dari pembeli dengan pikiran campur aduk, gelisah, muram, serta kelam.

Iya, seharusnya, tapi tidak berjalan seperti itu. Saya kini tengah duduk di depan lelaki paruh baya yang saya temui di rumah sakit kala itu. Sekiranya kalau saya tak salah ingat namanya Ari. Ayah Minggu, kah?Saya membalas sapaan beliau dengan kikuk. Rasanya cukup gugup.

"Santa saja Senin." Beloau tersenyum menanggapi sembari menyeruput kopinya.

"Hehe, iya Om."

"Nama kamu Senin, kan?" Saya mengangguk. "Sebelumnya perkenalkan dulu nama saya Om Ari. Om juga minta maaf, pasti kamu bingung ya mengapa Om tahu nama kamu?"

Saya mengangguk lagi. Betul sekali. Gerangan mengapa ia ke sini dan memanggil saya untuk bertemu pun juga membingungkan. "Betul Om. Apakah Minggu yang menceritakan?"

Om Ari mengangguk. "Iya, Minggu yang bercerita walau sedikit. Ia bilang dia bertemu seseorang yang cantik, seperti bunga. Ketika Om tanya siapa namanya, dia bilang Senin sambil tersenyum. Kalau diingat-ingat lucu juga, kisah asmara waktu muda, haha Om jadi teringat kisah cinta Om."

Pipi saya mendadak memerah, antara malu, tapi juga senang Minggu menceritakan saya kepada keluarga. "Haha, Minggu banyak mengada-ngada Om, saya enggak secantik bunga. Kalau boleh tahu Om ini Ayahnya, ya?"

Raut muka beliau berubah, sedikit megang, tapi kembali seperti semula. Apa perkataan saya yang salah.

"Bukan, Ayah Minggu adalah saudara kembar saya, beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu. Jadinya saya yang menjadi wali Minggu."

Keterkejutan menyelimuti saya. Perihal mengapa rumah Minggu kosong mungkin karena ini, tapi ke mana Ibuknya? Mendadak hati saya gelisah, barangkali tampak jelas di mata Om Ari yang sepertinya sadar.

"Minggu belum cerita ke kamu, ya?" Saya menggeleng pelan. "Hah ... ternuata dia masih sama, menutupinya sendiri. Padahal Om kira ia sudah menceritakan semuanya ke kamu, kalian tampak dekat."

"Kalau begitu bisahkah Om ceritakan semuanya ke Senin? Tentang Minggu, tolong .... Selama ini ia sudah membantu saya, setidaknya untuk sekali ini saja Senin membantunya," pinta saya memelas.

Mimik beliau tampak sedu, matanya nanar. Sebesar apa kelammu Minggu? Seluas apa? Apa lebih luas dari samudra? Biar saya telusuri malam ini, hingga jeru, sampai tahu. Lalu membantumu, membasuh tubuhmu yang layi.

"Minggu sejak dulu anak yang malang, ia kerap kali mendapat siksaan dari Ibunya. Sejak kecil ia dituntut menjadi dokter mengikuti jejak Ayahnya, tapi ia sendiri lebih suka menghitung bukan menghafal. Tiap kali Ayahnya pulang hanya ada pertikaian yang terjadi, selalu.

Hingga suatu saat, ketika mereka pergi mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Ayah Minggu meninggal di tempat, begitupula Ibunya. Sejak saat itu emosi yang dipendam akhirnya meluap juga, dia trauma, psikisnya terguncang. Tidak hanya sampai situ, tak berapa lama dokter mendiagnosa ia mengidap meningitis akibat cidera otak dari kecelakaan itu. Kalau saja Om tak menemuinya malam itu yang tergeletak pingsan, mungkin tak ada cerita tentangnya.:

Sesak, dada saya sesak. Air di pelupuk mata saya berhasil meloloskan diri. Ceritamu teramat menyayat Minggu dan kau bisa-bisanya masih tersenyum seolah-olah punggungmu itu tidak ada beban.

"Om, bagaimana, bagaimana Minggu menjalini hari-harinya selama ini? Itu pasti berat kan, dia ... kuat sekali."

"Kamu benar, tapi sejak ada kamu hidup Minggu tak terasa berat. Om sampai lupa tujuan ke sini, Om ingin menyampaikan rasa terima kasih. Terima kasih sudah mewarnai harinya yang gelap, yang membuatnya masih bertahan hingga sekarang. Terima kasih sudah menemaninya dengan ikhlas, dengan tulus."

Suara saya parau, mengisak karena ucapan beliau. Saya melirih, meminta, "Bisakah Om membawa saya bertemu Minggu? Saya ingin melihat kondisinya."

"Apa kamu tidak bertemu Minggu hari ini? Tadi dia kabur dari rumah sakit, pergi ke sekolah. Pulang-pulang dibawa Angkasa, tubuhnya drop kembali."

Saya tentu terkejut, untuk apa ia pergi? Atau jangan-jangan ....

Bodoh! Minggu bodoh!

"Saya tidak berangkat sekolah hari ini, ada sedikit masalah."

Om Ari tersenyum. "Ya sudah, ayok Om antarkan bertemu Minggu. Tenang saja, nanti Om izinkan ke bosmu. Kalau mau, Om juga bisa membeli cafe ini, haha."

Tunggu, ya Minggu. Ommu yang baik hati ini akan menghantarkan saya menemuimu. Semoga kamu sudah sehat-sehat saja, selalu.

🌻🌻🌻

"Bodoh! Kamu bodoh sekali! Mengapa tadi harus pergi ke sekolah? Untuk apa? Mencari saya?" Mulut saya mencerocos dengan tangan mengupas apel yang dudah di cuci.

Minggu agaknya menegang mendengar omongan saya saat ini. Biarkan saja ia sadar, mengapa harus pergi ke sekolah padahal ia sedang sakit. "Angkasa memberitahu, katanya kemarin kamu betengkar dengan mereka. Makanya saya pergi ke sekolah, tapi kamu tidak ada."

"Saya bolos, malas mendengarkan omongan mereka," balas saya sekenanya.

"Pasti sakit, ya? Maaf kemarin tidak ada di sebelahmu. Maaf karena tubuh saya yang ringkih saya tidak bisa memelukmu. Maaf saya malah terbaring di rumah sakit sedangkan kamu mendengar hinaan itu bertubi-tubi." Ia berkata lirih. Netranya tampak sedu, seolah-olah ini semua salahnya.

Tangan saya meletakkan apel yang belum selesai dikupas itu dan pisau ke atas meja. Mata saya menatap Minggu dengan sedu. "Kamu sendiri bagaimana? Luka-luka milikmu yang menganga yang kau diamkan hingga menanah. Saya tahu semuanya, Minggu. Berhentilah baik-baik saja mulai sekarang! Saya benci!"

Pelupuk mata saya kembali menggenang air, menatap senyuman yang ia balaskan padahal tubuhnya pucat pasi. Senyuman sehangat mentari itu terasa menyakitkan tak lebih dari pencitraan yang ia kenakan.

"Saya sudah baik-baik saja, tak perlu dikhawatirkan-"

"Bohong! Kamu tidak pernah baik-baik saja Minggu. Kamu tahu seberapa khawatirnya saya menemuimu saat itu, menemuimu tergeletak begitu saja. Menatap tubuhmu terbujur kaku seolah-olah tak bernyawa. Kamu tahu berapa takutnya diri saya"

Air mata saya terjatuh bersamaan rentetan kalimat setelahnya yang saya lontarkan. "Saya ini kamu anggap apa?"

"Apa saya tak berarti di hidupmu?"

"Apa hanya kamu yang pantas mendengarkan cerita saya?"

"Saya ini di matamu itu apa Minggu?"

Saya jatuh, di pelukannya. Di tubuhnya, di bajunya yang basah akan air mata saya barangkali. Mengisak sejadi-jadinya apalagi mendengar segala omongannya setelah itu yang membuat saya semakin ingin memukulnya, tetapi sadar bahwa tubuhnya itu terlali rapuh, mudah roboh seperti bangunan tanpa penyangga.

"Maaf, maaf sudah membuatmu khawatir."

"Maaf, karena penyakit ini kamu melihat tubuh saya yang ringkih."

"Maaf, kemarin saya tidak ada di sebelahmu, menenangkanmu dari omongan mereka."

"Maaf, semuanya salah saya."

"Berhentilah menangis, itu sama sekali tidak cocok untukmu. Maaf."

Air mata saya mengalir kian deras. "Berhentilah berkata maaf! Kenapa kamu tidak pernah cerita? Tentang segalanya, termasuk masa-masa kelammu. Mengapa saya harus tahu dari orang lain? Mengapa kamu yang menyembuhkan luka saya seolah-olah menjadi syamsu? Padahal lukamu sendiri menganga lebar."

"Senin, sejak mengenalmu, luka-luka saya sembuh sendiri. Saya rasa saya sudah menemukan alasan untuk hidup, untuk bertahan sampai sekarang. Oleh karenanya saya tak ingin kamu tahu, biar saya saja yang memendam, biar saya saja yang menanggung, karena saya benci ketika melihatmu menangisi diri saya."

Demi isi jagat raya, bisa-bisanya makhluk di hadapan saya berkata seperti itu. Ke mana otaknya? Apa sisi egoisnya tidak bisa ditinggikan sedikit? Mengapa tidak mementingkan dirinya dulu? Mengapa harus selalu orang lain yang ia pikirkan? Padahal ia ....

Yang terluka,

Yang mentalnya sempat terguncang,

Yang tubuhnya ringih, digerogoti penyakit.

"Saya membencimu, sungguh! Berhentilah untuk menjadi syamsu bagi saya, biar saya tukar peran denganmu." Pelukan itu terlepas, tangan Minggu terulur mengapus air mata di pipi saya.

Ia menggeleng, tersenyum manis, senyuman yang saya rindukan tapi kini terasa muak melihatnya. "Tidak, sejak dulu kamu sudah menjadi matahari untuk saya. Lihatlah, dokter bilang hidup saya tak lama, tapi saya bisa hidup hingga kini. Karenamu, karena sosokmu. Terima kasih, Senin."

"Untuk apa berterima kasih? Sosokmu sendiri yang sudah kuat bertahan selama ini." Saya tersenyum, menahan tangannya untuk tetap di pipi saya."Kamu bilang saya alasanmu untuk hidup, kan? Kalau begitu bertahanlah selamanya, di sisi saya hingga senja, di beranda berdua. Setiap waktu saya berdoa supaya Tuhan menyembuhkanmu, katamu Tuhan akan mendengar doa saya bukan. Jadi cepatlah sembuh, saya mencintaimu."

Hening. Dia tak menjawab, masih menyunggingkan senyum, tapi tidak dengan hati saya yang bergulat dengan perasaan tak tentu.

"Kamu tidak akan pergi kan Minggu? Kamu akan ada di sebelah saya kan? Jawab, bukan hanya diam!" Suara saya parau sedikit keras, menatapnya dalam. Menuntut jawaban pasti, bukan hanya kediaman dengan senyum yang tersungging.

"Sampai kamu bahagia. Esok di sekolah segalanya juga akan baik-baik saja. Jangan menangis, lagi."

Dan jawabanmu tidak cukup meredakan gejolak di dalam dada.

🌻🌻🌻

Bagaimana? Apakah pelupuk matamu penuh dengan air yang menggenang?

Wowow, tanganku gatel buat nulis xixixi padahal masih ujian. Sampai bertemu di chap selanjutnya :>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro