Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Siap tidak Siap

Wahai nahkoda yang sedang singgah
Yang berhasil membuat nona pantai sembuh
Bolehkan ia menggantikan peranmu
Seperti kamu pada ia saat dulu

🌻🌻🌻


Beberapa hari saya lalui seperti biasa. Sekolah, kerja part time-Kamis hingga Minggu-lalu tidur atau menugas hingga larut malam. Seperti itu, dalam siklus yang sama, tapi saya menikmatinya. Oh, tambahkan satu kegiatan lagi, belakangan kami-anggota band-gencar untuk semakin giat latihan, sebab tak lama pula pentas sekolah akan dilaksanakan.

Mata saya menjelajah buku-buku milik Pak Tato, hujan diluaran sana sepertinya hobi sekali membuat saya terkurung dengan Minggu. Lelaki itu tak ada yang berubah, senyumnya semakin candu untuk dinikmati, tapi untuk kesekian kali saya dibuat khawatir akan keadannya yang belakangan kurang baik seperti saat ini.

Sekian kali, dalam beberapa hari. Dipergoki mengernyit kesakitan. Ada apa?

"Minggu, kamu tidak papa? Ada apa? Belakangan saya sering melihatmu seperti ini," tanya saya, menutup novel yang sejak tadi saya baca.

Ia menggeleng, mengambil gelas kopinya. "Tidak apa-apa. Belakangan saya kurang tidur apalagi kita habis kejuhanan kan. Kepala saya hanya sedikit sakit, bukan hal besar."

Aslinya saya tak percaya sama sekali omongannya itu, walau bisa saja memang seperti itu. Tangan saya mengambil alih gelas kopinya, menukarkannya dengan teh milik saya.

"Hah ... makanya Minggu, jangan kebanyakan minum kopi. Tidak baik untuk jam tidur. Minum teh saya saja, lalu pulang nanti jangan lupa minum obat," cerocos saya seperti emak-emak yang memarahi anaknya.

Minggu tampak sedikit terkejut sebelum tangannya menepuk kecil kepala saya. "Saya tidak apa-apa Senin. Terima kasih, kamu teman yang baik."

Saya tersenyum kecut, hati saya sedikit sakit, tapi bukan berarti saya bisa menyuarakannya. Saya menghela napas, meletakkan novel karya Pramoedya itu di atas meja.

"Minggu. Saya tidak tahu kamu ada masalah apa, tapi kata orang pelukan bisa membuat hatimu tenang. Kalau kamu butuh, kalau boleh, saya bisa memelukmu. Haha, maksudnya sebagai teman baik kok."

Sialan, bilang apa kamu Senin? Bagaimana bila Minggu malah risih? Menganggap kamu cewek murahan yang suka menebar pelukan?

Tapi tidak, Minggu bukan orang seperti itu. Dia malah berbicara hal sebaliknya.

"Boleh saya minta sekarang? Pelukannya?"

Sontak saja saya mengangguk. Minggu merengkuh tubuh saya. Aroma parfumnya langsung menyerbak ke penciuman, masih sama, tak berubah sejak pertama kali bertemu. Baunya tidar menyegrak, tidak mencolok, cenderung menenangkan seperti kepribadiannya. Saya tersenyum, menaruh kepala saya di pundaknya, sesekali pula tangan saya mengelus punggungnya. Saya tidak tahu, hanya perasaan saya atau bagaimana, tapi punggung Minggu yang kokoh dengan bahu lebar terasa tak ada isi-daging.

"Terima kasih, Senin."

"Kenapa?"

"Meminjamkan pelukanmu tanpa harga sewa."

Saya terkekeh. Dia aneh-aneh saja. Sejak kapan pelukan ada harga sewa? Bukannya di mana-mana pelukan itu gratis, bahkan dengan orang asing sekali pun.

"Sama-sama, Minggu."

🌻🌻🌻

Hari ini Rabu, pelajaran terakhir Seni Budaya. Melukis. Seharusnya begitu, tapi Ibu Sayana tidak datang. Guru super duper baik itu mempersilahkan pulang sebelum bel berbunyi tentu saja dengan syarat tugas dua puluh soal harus selesai dan dikumpulkan di ketua kelas.

Saya menghela napas. Selesai juga soal-soal ini. Sejujurnya ketimbang praktek saya lebih suka mengerjakan teori seperti ini. Melukis, sedikit, bukan malahan sangat susah. Menyebalkan. Apalagi bila harus memakai cat air, astaga, harus menunggu kering dulu supaya tiap layer tidak saling mencampur!

"Senin, kamu mau ke mana? Pulang? Sudah selesai?" Tari bertanya dari dua bangku belakang saya.

Saya mengangguk kecil. Belakangan, sejak tugas kelompok dan mereka yang pergi selepas pernyataan cinta itu, saya sedikit lebih dekat dengan Tari. Ia rupanya benar-benar menyenangkan, tak jarang pulang kami pergi ke kantin bersama  walau penuh pandangan aneh dari seisi kelas atau orang asing lainnya.

"Iya, tapi saya tidak pulang ada perkumpulan dulu."

"Mau aku temani? Pasti ruang musik sedang sepi."

"Tidak usah. Saya tidak apa-apa, kok."

Mendengar tanggapan saya Tari hanya tersenyum menyemangati. Langkah saya bergerak perlahan ke ruang musik selepas mengumpulkan tugas di ketua kelas.

Pintu berwarna cokelat di hadapan saya terbuka perlahan. Ruangan ini cukup luas, beberapa kursi tertata rapi, bagian kirinya banyak alat musik, jangan lupakan pula rak buku kecil-bisa dibaca siapa saja-yang sebagian buku novelnya milik Flow dan komiknya milik Lion dan Angkasa.

Saya tersenyum kecil, mengambil sebuah buku berjudul Hujan Bulan Juni, ya saya hampir lupa yang satu-satunya ini milik Minggu. Ah, ternyata dia juga penikmat sajak-sajak puisi sederhana milik Pak Sapardi. Pantas saja, ia mampu membuat saya jatuh cinta dengan sederhana, seperti puisi-puisi SDD.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

"Nin, lu kesambet? Senyam senyum sendiri."

Celutukan dari ambang pintu itu membuat saya terkejut. Bukan Minggu-lelaki itu belum saya lihat batang hidungnya sejak pagi bahkan di tempat kucing biasanya sekali pun-melainkan Angkasa, lelaki yang tiba-tiba saja melemparkan tasnya ke sembarang arah dan duduk tak jauh dari saya.

"Enggak. Diketuk dulu napa, kaget saya." Saya mencibir.

Dengan wajah datarnya ia tersenyum miring. "Ngapain anjir diketuk, gua pikir kagak ada orang. Btw, lu cabut? Gila, balik rutinitas lagi."

Ya, ya, sepertinya saya lupa bercerita. Belakangan pula sering latihan bersama, saya baru sadar dengan wajah datarnya dan kadang sedikit sarkas, Angkasa ini ternyata tipe-tipe cerewet. Suka sekali bertanya, atau keseringan menyuarakan hal yang tidak jelas.

"Ck, enggak, ya!" Saya menghela napas. "Kak Angkasa juga kenapa ke sini? Masih jam pelajaran juga."

"Yee, gara-gara elu anjir. Teman gua bacot bener ngomongin elu yang nolak Erick, padahal udah sekitar seminggu lebih."

"Gara-gara, Minggu, ya, Nin? Uhuk."

Walau omongannya itu benar sama sekali, tak ada yang salah, tapi tetap saja saya kesal. Ah, andai saja kalau buku ini bukan milik Minggu, kalau ini hanya buku biasa, mungkin sudah melayang dari tadi mengenai mulutnya itu!

"Enggak jelas. Kita cuma, teman baik! Toh, saya emang enggak suka sama Kak Erick," tegas saya. "Terus Kak Angkasa to the point aja deh. Ribet."

Lelaki itu menyunggingkan senyum miring. "Oke, deh. Lu tahu kan hari ini Minggu enggak berangkat."

Saya mengernyitkan dahi sekejab, pantas saja tak tampak batang hidungnya. Namun, Angkasa, lelaki itu malah tertawa hambar seolah-olah mengejek saya akan ketidak tahuan ini.

"Ck, ceweknya aja enggak tahu."

"Heh!" Saya berseru kesal. "Bukannya enggak tahu, ya, orang Minggu enggak ngabarin. Tapi kok Kakak tahu? Padahal gedung kelas tiga sama dua agak jauh."

Senyuman yang dilontarkan lelaki itu membuat saya mendadak merasa aneh. Hati saya tiba-tiba merasa gelisah tak tentu. Omongannya setelah itu malah membuat saya kian bingung. Kenapa ketidak hadiran Minggu membuat tanda tanya besar seperti ini? Apalagi yang sedang direncanakan oleh ajudan-ajudan Tuhan? Semesta sekarang sedang mengelola naskah seperti apa? Jangan aneh-aneh! Jangan kebanyakan tanda tanya! Hidup bukan perihal tanya jawab seperti soal ulangan.

"Minggu enggak cerita sama elu?"

Saya menggeleng kecil. Minggu cerita apa? Dia saja malah sering mendengarkan.

Angkasa berdecak kecil. Ia menatap sekeliling, entah sekadar melihat bahwa kami benar-benar berdua atau entahlah.

"Kenapa sih Kak?"

"Enggak papa. Tapi ini kedua kali gua peringatin, elu bakal sakit-"

"Maksudnya tentang perbedaan kita? Kalau itu mah, saya sudah tahu, makanya sejak tadi saya bilang saya sama Minggu hanya teman baik."

Omongan saya sepertinya salah besar, buktinya ia menghela napas, menipuk jidatnya yang seharusnya saya yang melakukan itu.

"Itu? Bukan, Senin. Greget deh gua. Dia beneran belum cerita? Sama sekali?"

"Ish, cerita apa? Sakit-sakit apa maksudnya? Enggak usah ngaco deh, Kak! Saya mau lanjut baca buku aja. Bikin pus-"

"Nanti gua mau ke rumah Minggu, jenguk dia. Lu mau ikut? Sebenarnya ini bukan hal yang harus gua campuri, tapi gua enggak mau ada yang ... pokoknya gitu lah." Dia menjeda menatap ke saya dengan netranya  berwarna hitam legam. "Tapi butuh kesiapan besar. Kalau enggak siap, enggak usah ikut-"

"Ikut."

"Ke mana?"

"Ck, jangan mulai deh Kak!"

"Hehe, biar enggak tegang. Dari tadi kita serius banget dah."

"Kalau gitu, boleh saya bertanya."

"Satu pertanyaan goceng."

"Ish! Ya udah enggak jadi."

Angkasa terkekeh kecil. "Ya udah, apa? Entar gua dimarahin Minggu bikin ceweknya ngambek."

"Kesiapan besar, untuk apa?"

Tiba-tiba hening. Mendadak serius. Omongannya setelah itu bagaikan bara yang ditiup angin, memicu, bukan api, tapi perasaan gelisah yang semakin menjadi-jadi. Sebenarnya kenapa?

"Untuk kejadian setelah ini, yang enggak pernah ada di naluri lu."

Deg.

🌻🌻🌻

Ya Gusti

Maaf kan aku baru up malem-malem Selasa gini :( sejujurnya draft ini sampai beberapa draft ke depan udah selesai dari beberapa hari yang lalu. Tapi aku baca lagi ada yang salah-sekian kali-jadi aku benerin-lagi.

Belum lagi kemarin, bikin roti, sampai siang, eh habis itu malah ngebo 😭

Jam tidurku siang jadi malam, malam jadi siang😭😂


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro